tirto.id - Gilang Endi Saputra meninggal dunia dalam pendidikan dan latihan dasar Resimen Mahasiswa (Diklatsar Menwa) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada 23 Oktober 2021. Dari hasil autopsi yang dirilis Sabtu (30/10/2021), polisi menyatakan penyebab kematian mahasiswa Program Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) tersebut mati lemas akibat kekerasan tumpul.
Polres Kota Surakarta pun telah menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP). Polisi juga telah memeriksa 26 saksi yang terdiri dari dosen, peserta dan pelatih dalam Diklatsar Menwa UNS yang digelar sejak Sabtu (23/10) hingga Minggu (24/10).
Meski hingga sekarang, polisi belum menginformasikan tersangka dalam kasus ini.
Kematian Gilang juga memicu kemunculan petisi “Bubarkan Resimen Mahasiswa UNS” di platform change.org. Tujuan petisi agar mengakhiri dugaan budaya kekerasan yang selama ini langgeng di Menwa UNS. Per 29 Oktober 2021, petisi daring tersebut telah ditandatangi 14.567 orang.
Pengamat pendidikan, Doni Koesoema menilai kehadiran Menwa di kampus mesti dievaluasi dan bila perlu dibubarkan. Sebab sudah tidak lagi relevan dengan kehidupan kampus.
Pada mulanya Menwa dibentuk Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai pendukung komponen pertahan sipil. Menwa mendapatkan pelatihan ala militer. Menwa pernah menjadi sukarelawan militer saat Operasi Trikora.
Pada zaman orde baru, Menwa menjadi spionase rezim untuk mengontrol kehidupan kampus. “Sebaiknya ditata ulang. Bisa dibubarkan dan diganti nama baru sesuai dengan undang-undang terkait bela negara,” ujar Doni kepada reporter Tirto, Jumat (29/10/2021).
Doni juga merekomendasikan agar pemerintah mentransformasikan Menwa sebagai Komponen Cadangan atau Komcad, sebagaimana yang dimandatkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
“Tugasnya bukan di internal kampus, tapi untuk menjaga negara dari intervensi asing. Atau dalam keadaan perang. Sehingga jalur komando jelas,” ujar Doni.
Doni menambahkan, “Nadiem [Makarim] harus cepat bereskan ini agar kekerasan di kampus dalam kegiatan Menwa tidak terjadi lagi.”
Dalam Pasal 37 ayat 2 UU 23/2019 memungkinkan mahasiswa mendaftarkan diri sebagai anggota komponen cadangan dan menjalani pelatihan dasar kemiliteran, tanpa kehilangan status sebagai peserta didik.
Apabila mahasiswa tersebut diterima sebagai komponen cadangan, ia akan menjalani masa aktif tanpa kehilangan status sebagai peserta didik; sebagimana termaktub dalam Pasal 45 ayat 2. Dan selama menjadi anggota komponen cadangan, sesuai Pasal 46, mereka akan diberlakukan hukum militer.
Sebaliknya, Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar tegas meminta keefektifan Menwa di lingkungan kampus dievaluasi pemerintah. Ia memandang selama ini Menwa seolah perwujudan militer di kampus.
Setelah itu, menurutnya, Menwa perlu dibubarkan. Dan tidak diberikan kesempatan mengikuti komponen cadangan. Ia khawatir, apabila Menwa menjadi komcad akan menjadi tameng pemerintah dalam menyikapi propaganda anti-separatisme dan anti-komunisme; dan berujung pada konflik horizontal.
“Bubarkan dan tidak perlu diarahkan ke komcad,” kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Jumat (29/10/2021).
Terlebih lagi, menurut Rivanlee, aturan komponen cadangan masih ambigu. KontraS bersama masyarakat sipil sedang mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi.
KontraS bersama Imparsial, Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM menjadi pemohon dalam uji materiil UU PSDN. Mereka menguji Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Menurut para pemohon, masalah substansial pasal-pasal tersebut ialah: definisi mengenai ancaman keamanan pertahanan negara, penetapan komcad yang menyasar sumber daya alam dan sarana prasaranan di samping warga negara, aturan mengenai sanksi pidana, dan penggunaan hukum militer pada anggota komponen cadangan yang merupakan masyarakat sipil.
“Kewenangannya justru berpotensi dimanfaatkan untuk hal yang luas dan memungkinkan lepas kontrol pengawasannya karena regulasi yang ambigu,” tukas Rivanlee.
Usulan pembubaran Menwa UNS juga diutakan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Menurut politikus yang akrab disapa Bamsoet itu, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim perlu mempertimbangkan solusi pembubaran tersebut, terlebih jika ditemukan uunsur pelanggaran dan kelalaian dari Menwa UNS.
“Dengan pertimbangan untuk memberikan sanksi tegas hingga sanksi pembubaran organisasi Menwa UNS,” ujar Waketum Partai Golkar tersebut.
Menwa Diklaim Masih Relevan
Kepala Staf Komando Nasional (Konas) Resimen Mahasiswa (Menwa), M Arwani Denny menilai kehadiran Menwa masih relevan. Sebagai komponen pendukung yang termaktub dalam Pasal 20 UU PSDN, Pendidikan Menwa disesuaikan agar tidak terlalu militeristik. Dan Menwa diperuntukan sebagai relawan dalam penanganan kebencanaan di Indonesia.
“Silakan baca UU PSDN. Pasal 20 disebutkan, komponen pendukung terdiri dari kepolisian, warga terlatih, tenaga ahli, dan masyarakat. Yang dimaksud warga terlatih purnawirawan TNI-Polri, anggota Menwa, dan Satpol PP. Saat ini saya kira Menwa masih relevan,” ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (29/10/2021).
Perihal insiden yang terjadi di Menwa UNS, Denny mengakui kegiatan tersebut di luar pengawasan Sub-Menwa Jawa Tengah ataupun Solo Raya. Sebagai upaya pemulihan, ia berjanji akan meningkatkan pembinaan dan pengawasan.
“Usulan mengevaluasi hingga membubarkan Menwa, bagi kami ini aspirasi dan hak anak bangsa. Kami tidak ada masalah,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Nizam tak mau bersikap gegabah. Mereka akan melakukan evaluasi dan pendalaman kasus terlebih dahulu. Sebab menurutnya pengambilan keputusan mesti melalui berbagi pertimbangan.
Kemendikbudristek terus berkoordinasi dengan pihak Rektorat UNS untuk mendapatkan informasi jelas terkait insiden Menwa UNS tersebut.
“Apa langkah ke depan, harus kita evaluasi dan dalami dulu. Positif dan negatifnya, manfaat dan madharatnya, kelebihan dan kekurangannya. Sebelum kita melangkah apakah dibubarkan, ditransformasikan, atau malah ditingkatkan. Tentunya perbaikan terus menerus harus dilakukan,” ujar Nizam kepada reporter Tirto, Jumat (29/10/2021).
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz