tirto.id - Isu reshuffle kabinet atau perombakan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju kembali mengemuka. Kali ini, dorongan reshuffle terungkap dalam hasil survei Poltracking Institute yang dirilis beberapa waktu lalu.
Dalam survei nasional periode 3-10 Oktober 2021, Poltracking melibatkan 1.220 responden dengan metode multistage random sampling dan margin error +/- 2,8% pada tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil survei tersebut, Poltracking mencatat tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin adalah 67,4%.
Secara kuantitatif, salah satu hal yang menjelaskan angka kepuasan tersebut adalah bidang politik dan stabilitas nasional (64,1%) yang mendapatkan kepuasan tertinggi, diikuti sosial budaya (60,5%) dan kesehatan (60,0%). Namun demikian, kepuasan pada bidang penegakan hukum (52,8%) adalah yang terendah.
Sementara itu, dalam penanganan COVID-19, tingkat kepuasan penanganan pandemi ada di angka 65,4%. Dalam temuan tersebut juga merekam bahwa ada hampir 60 persen warga ingin agar Jokowi me-reshuffle kabinetnya.
“Hasil survei ini temuannya mayoritas hampir 60 persen yaitu persisnya 59,3 persen setuju dan sangat setuju agar Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet, mengganti beberapa menteri tentu dengan beberapa catatan yang menjadi penilaian publik atas kinerja pemerintah di berbagai bidang tadi,” kata Direktur Eksekutif Poltracking Institute Hanta Yudha dalam Youtube Poltracking, Selasa (26/10/2021).
Saat ditanya lebih jauh tentang reshuffle, Hanta mengaku bahwa survei hanya berupaya menangkap aspirasi publik tentang kinerja pemerintah Jokowi-Maruf Amin. Menurut dia, ada tiga evaluasi yang dilaukan presiden dalam reshuffle kabinet yaitu evaluasi teknokratik, politik, dan publik.
“Evaluasi teknokratik dan politik ada di ranah presiden, sedangkan Poltracking Indonesia evaluasi secara publik. Sehingga temuan satu dengan temuan yang lain adalah gambaran publik saat ini yang saling berkaitan,” kata Hanta kepada reporter Tirto, Rabu (27/10/2021).
Hanta menuturkan, survei Poltracking tidak merekam spesifik ke kementerian yang disorot untuk diganti. Mereka hanya merekam secara umum penilaian publik terhadap kinerja pemerintahan saja. Survei juga tidak mengarah kepada kandidat pengganti nama menteri yang hendak di-reshuffle.
“Karena survei ini merekam secara umum, kami tidak masuk ke ranah nama-nama menteri yang layak direshuffle,” kata Hanta.
Desakan reshuffle memang cukup kuat dalam sejumlah isu beberapa minggu terakhir. Sebut saja nama Menteri Sosial Tri Rismaharini. Mantan Wali Kota Surabaya itu dikritik publik karena lebih banyak marah-marah dalam menyelesaikan masalah sosial di Indonesia. Nama Risma sempat diisukan diganti berdasarkan pandangan sejumlah pihak.
Selain Risma, adapula nama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Yaqut mendapat sorotan karena mengatakan Kementerian Agama merupakan hadiah untuk NU. Pernyataan ini lantas memantik respons publik agar Jokowi menggantinya.
Jauh sebelum dua nama itu disorot, Jokowi memang disebut akan me-reshuffle kabinet. Hal ini diduga kuat berkaitan dengan kehadiran Partai Amanat Nasional (PAN) yang merapat ke pemerintah. Hal tersebut terungkap ketika PAN ikut hadir dalam pertemuan Koalisi Indonesia Maju plus Partai Gerindra di Istana Negara pada 25 Agustus 2021.
Namun Menteri Kominfo sekaligus Sekjen Partai Nasdem Jhonny G. Plate memastikan pertemuan hanya silaturahmi saja. “Topiknya bukan topik reshuffle kabinet. Topiknya bukan membahas pelebaran koalisi atau penambahan anggota kabinet,” kata Plate usai pertemuan kala itu.
Di sisi lain Istana Negara, lewat Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman kala itu mengatakan Jokowi belum berniat reshuffle kabinet. Presiden Jokowi justru mendorong agar kabinet bekerja lebih baik.
“Tidak ada informasi mengenai hal tersebut. Apakah reshuffle akan dilakukan atau tidak dilakukan dengan alasan A, B sampai Z itu tidak ada sama sekali sampai hari ini,” kata Fadjroel yang saat itu masih menjabat sebagai Staf Khusus Bidang Komunikasi Presiden Jokowi, Selasa (28/9/2021).
Perombakan Kabinet Bukan Karena Desakan Publik
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Rahardjo Jati pesimistis reshuffle terjadi karena faktor dorongan publik. Kalau pun ada reshuffle, Wasisto lebih yakin lebih ke faktor mengakomodir kepentingan parpol koalisi maupun relawan.
“Yang kita lihat respons publik terhadap reshuffle karena masalah yang mengemuka seperti penegakan hukum dan penanganan dampak ekonomi, namun saya pikir presiden punya kalkulasi lain soal dua isu itu,” kata Wasisto kepada reporter Tirto.
Wasisto memandang, kalkulasi yang lebih diperhatikan Jokowi lebih pada komposisi partai koalisi, profesional, maupun relawan dalam posisi tertentu maupun juga legasi politik yang ingin ditampilkan oleh Jokowi dengan menunjuk figur tertentu daripada desakan publik.
Saat ini, Wasisto melihat Jokowi belum pada posisi ingin merombak kabinet. Ia beralasan, pemerintah lebih mengedepankan percepatan penyelesaian infrastruktur maupun pemulihan dampak ekonomi. Jika survei menunjukkan capaian makro pemerintah tercapai, maka reshuffle akan minim terjadi.
Hal tersebut juga berlaku dengan kabar-kabar lain, termasuk isu masuknya PAN dalam pemerintahan maupun kritik pada kinerja menteri yang bermasalah, kata Wasisto.
“Saya kira belum karena tipikal Presiden Jokowi yang tidak terlalu mempedulikan masalah-masalah tersebut karena biasanya indikasinya reshuffle itu juga muncul karena ada satu isu yang mengerucut, jadi isu payung yang berdampak sistemik di internal elite maupun masyarakat,” kata Wasisto.
Hal senada diungkapkan dosen politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah. Ia pesimistis reshuffle akan dilakukan berbasis penilaian masyarakat. Ia beralasan, tidak sedikit menteri Jokowi yang dikritik publik seperti Menkumham Yasonna H. Laoly, Menaker Ida Fauziyah hingga Menkominfo Jhonny G Plate. Namun, mereka tidak diganti karena punya dukungan dari parpol.
“Mereka tetap bertahan, dan mahfum karena Jokowi tidak mungkin mengganti anggota koalisi, terutama dari partai dominan,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Kamis (28/10/2021).
Dedi pun menilai Risma dan Yaqut juga tidak akan di-reshuffle dengan mendengarkan keinginan publik. Reshuffle justru akan lebih kepada faktor politis, salah satunya adalah dengan masuknya PAN ke dalam pemerintahan. Bagi Dedi, persentase reshuffle tinggi demi mengakomodir kehadiran PAN dan menggeser kelompok non-politik.
Dedi lantas mengaitkan dengan hasil temuan Indonesia Public Opinion (IPO), lembaga di mana Dedi menjabat sebagai direktur eksekutif, soal kandidat yang layak diganti. Berkaca pada hasil survei pada 1.200 responden dengan rentang waktu 2-10 Agustus 2021, IPO menangkap bahwa nama seperti Menko PMK Muhadjir Effendy dan Mendikbud Nadiem Makarim yang dinilai layak diganti.
Dedi pun meyakini, reshuffle akan terjadi, tetapi belum bisa memastikan kapan waktunya. Ia menduga, reshuffle dilakukan sebelum penghujung tahun bila pandemi membaik. Dugaan lain adalah Jokowi me-reshuffle menunggu hingga akhir tahun meski kebiasaan itu jarang dilakukan. Namun ia yakin reshuffle pasti terjadi demi kepentingan politik.
“Tentu, reshuffle akan selalu cenderung faktor politis. Bukan mendasar pada kinerja,” kata Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz