Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Polemik Syarat Naik Pesawat Wajib PCR: Beratkan Warga, Ditolak DPR

Epidemiolog menilai PCR memang ideal, tapi pemerintah harus memilih strategi yang selain efektif, sensitif serta tidak memberatkan warga.

Polemik Syarat Naik Pesawat Wajib PCR: Beratkan Warga, Ditolak DPR
Seorang penumpang pesawat menggunakan baju hazmat berjalan di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (5/7/2021). ANTARA FOTO/Fauzan/pras.

tirto.id - Kewajiban tes COVID-19 dengan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) bagi penumpang pesawat udara dinilai memberatkan masyarakat. Para pengusaha dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga meminta agar aturan tersebut dievaluasi.

Kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat yang hendak ke daerah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 dan 4 berlaku mulai 24 Oktober 2021. Aturan itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dengan Transportasi Udara Pada Masa Pandemi COVID-19.

Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati saat jumpa pers virtual, Kamis (21/10/2021) mengatakan transportasi udara menunjukkan peningkatan 10-12 persen seiring kondisi pandemi di Indonesia mulai melandai. Dengan adanya peningkatan mobilitas tersebut, maka dilakukan pengetatan syarat perjalanan.

“Dengan tidak adanya pembatasan kapasitas, namun dilakukan pengetatan dalam syarat perjalanan dengan PCR, ini sebenarnya salah satu cara kami untuk melihat apakah pola ini bisa tetap kita lakukan untuk tetap menjaga agar mobilitas masyarakat itu aman dan sehat, tidak menimbulkan lonjakan-lonjakan kasus seperti kejadian-kejadian Nataru sebelumnya," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Juru Bicara Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan pemberlakuan wajib tes PCR ini dilakukan sebagai bagian dari uji coba pelonggaran demi pemulihan ekonomi di tengah kondisi kasus COVID-19 yang terkendali.

Selain itu, kata Wiku, “PCR dinilai sebagai metode tes gold standard dan lebih sensitif dari metode antigen” sehingga diharapkan mampu menapis dan menekan kasus COVID-19.

Wiku menekankan kebijakan wajib tes PCR ini hanya diberlakukan untuk moda transportasi udara. Sedangkan transportasi lainnya tetap dapat menggunakan syarat tes antigen.

Epidemiolog asal Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan meskipun tes PCR dinilai sebagai metode tes yang ideal, namun menurutnya pemerintah tetap harus mempertimbangkan metode mana yang paling efektif dan efisien.

“PCR memang ideal, tapi harus memilih strategi yang selain efektif, sensitif dan juga cost efektif. Artinya tidak memberatkan masyarakat dan menjamin kesinambungan kebijakan itu sendiri,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Jumat (22/10/2021).

Dicky mengatakan penting untuk menjamin keberlangsungan suatu kebijakan dan konsistensi di tengah situasi Indonesia yang masih berstatus mengalami penularan COVID-19 tingkat komunitas. Skrining perjalanan menurutnya adalah salah satu yang mestinya dilakukan dengan konsisten.

“Dan skrining bukan hanya di pesawat, tapi di semua aspek. Maka pilihlah strategi yang tidak memberatkan semua pihak,” kata Dicky.

Menurut Dicky syarat perjalanan di dalam negeri dengan menggunakan tes antigen sudah memadai. Ditambah lagi sudah dengan syarat vaksinasi dan dilihat berdasarkan level PPKM dari dan ke daerah tujuan perjalanan.

Sementara itu, pengamat penerbangan Alvin Lie berpendapat dengan situasi COVID-19 yang melandai, harusnya diberikan kelonggaran sebagai apresiasi kepada masyarakat yang selama ini sudah banyak berkorban.

“Tapi ini malah diharuskan tes PCR padahal selain mahal itu butuh waktu lama, enam jam baru keluar,” kata Alvin, Jumat (22/10/2021). Meskipun pesawat sudah diizinkan mengisi kapasitas penumpang 100 persen, maka menurutnya jadi makin sulit karena ada syarat wajib PCR.

Selain itu, menurut Alvin kebijakan wajib PCR ini juga aneh sebab hanya diberlakukan bagi penumpang transportasi udara, sementara transportasi darat dan laut tidak diwajibkan. Padahal pengawasan transportasi darat dan laut juga tak begitu ketat.

“Harus ada desakan publik bahwa peraturan ini tidak logis,” ujar Alvin.

Merepotkan & Tak Relevan pada Situasi Sekarang

Penolakan terhadap aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat ini juga disuarakan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh. Menurunya kebijakan tersebut akan memberatkan masyarakat, baik dari sisi biaya, tenaga, maupun waktu karena tidak semua daerah memiliki alat pemeriksaan dengan metode PCR.

“Saya nyatakan menolak keputusan pemerintah yang mewajibkan penumpang pesawat domestik harus PCR dulu walaupun sudah dua kali vaksin,” jelas dia kepada Tirto melalui keterangan tertulis, Kamis (21/10/2021).

Selain itu, perempuan yang akrab disapa Ninik ini menilai kebijakan tersebut akan berimbas pada menurunnya minat masyarakat dan akan berdampak sistemik bagi tumbuh kembang perekonomian.

“Kalau tetap ditetapkan saya kira itu akan sangat merepotkan, terlihat Jakarta sentris juga ya, dan membuat susah masyarakat baik dari sisi biayanya, tenaganya, juga waktunya, karena tidak semua daerah punya alat pemeriksaan PCR,” kata Ninik.

Ketua DPR RI Puan Maharani juga mempertanyakan soal kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat. Saat ini kasus sudah membaik malah diwajibkan PCR, padahal saat kasus tinggi tes antigen saja boleh jadi syarat penumpang transportasi udara.

“Kenapa dulu ketika COVID-19 belum selandai sekarang, justru tes antigen dibolehkan sebagai syarat penerbangan. Kalau sekarang harus PCR karena hati-hati, apakah berarti waktu antigen dibolehkan, kita sedang tidak atau kurang hati-hati? Pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat seperti ini harus dijelaskan terang benderang oleh pemerintah," ujar politikus PDIP ini dalam keterangan tertulis, Jumat (22/10/2021).

Kebijakan Tes PCR Berpengaruh ke Sektor Bisnis

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan syarat wajib tes PCR bagi penumpang pesawat ini juga akan turut berpengaruh terhadap industri perhotelan. Masyarakat yang telah pemesanan hotel setelah adanya syarat wajib PCR penumpang pesawat jadi berpotensi membatalkan perjalanan dan kunjungan mereka.

Menurut maulana harga tes PCR sangat memberatkan. Sebab yang paling murah saat ini berkisar Rp425.000 dengan hasil keluar 1X24 jam, sedangkan yang hasilnya bisa keluar dalam waktu 6 jam harganya bisa mencapai Rp900.000.

“Ini sangat memberatkan harganya saja bisa lebih mahal dari harga tiket pesawat,” kata Maulana kepada reporter Tirto, Jumat (22/10/2021).

Oleh karena itu, ia berharap jika memang tes PCR diterapkan sebagai syarat wajib, maka harganya harus bisa ditekan sampai harus mudah dijangkau oleh masyarakat. Sehingga tidak menjadi hambatan masyarakat dalam melakukan perjalanan.

“Kuartal pertama 2022 akan memasuki low season, makanya di kuartal 4 2021 itu jangan sampai ada hambatan lagi untuk mereka melakukan kegiatan dan perjalanan. Ini sudah 1,5 tahun lebih, industri sudah sangat sulit,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang (Kadin) Bidang Perhubungan sekaligus Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA Denon Prawiraatmadja menilai syarat wajib PCR itu tak relevan dengan situasi saat ini.

“Yang menurut saya yang enggak relevan itu kalau lihat dari darurat PPKM 3-4 begitu Jakarta ini level PPKM nya ini 2 kok justru malah lebih ketat lagi [penumpang pesawat harus PCR] ini bingung. Kan vaksinasi itu sebagai strategi supaya ekonomi bangkit ya, tapi ini malah diperketat jadinya gimana,” terang dia.

Denon berharap agar kebijakan wajib PCR untuk masyarakat yang sudah vaksin 2 kali dievaluasi. Kebijakan yang sebelumnya sudah cukup ketat untuk menyaring penumpang.

“Mohon dievaluasi lagi,” kata dia.

Baca juga artikel terkait SYARAT PERJALANAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz