tirto.id - Pinjaman online atau pinjol ilegal memang meresahkan masyarakat. Bahkan korban yang tidak kuat dengan tekanan debt collector bisa melakukan tindakan nekat, seperti yang dialami WPS (38), warga Wonogiri, Jawa Tengah. Ia diduga bunuh diri pada 3 Oktober 2021 karena terus diteror debt collector.
Kasus serupa dialami OS (36 tahun), warga Tulungagung, Jawa Timur pada Juni 2021. Polres Tulungagung menyimpulkan penyebab kematian OS adalah murni bunuh diri karena depresi tagihan pinjaman online yang diduga mencapai belasan juta rupiah.
Kasus WPS dan OS hanya fenomena gunung es korban pinjol ilegal. LBH Jakarta pada Desember 2018 menerima laporan 1.330 korban kasus fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online untuk diserahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ribuan data korban tersebut berasal dari hasil Pos Pengaduan Pinjaman Online yang dibuka oleh LBH Jakarta.
Sayangnya, meski sudah ribuan orang menjadi korban dan Kementerian Kominfo melakukan pemblokiran, tapi korban pinjol tetap berjatuhan. Keresahan inilah yang membuat Presiden Joko Widodo geram dan segera memerintahkan agar pinjol ilegal segera diberantas.
“Fenomena sharing economy semakin marak, dari ekonomi berbasis peer to peer hingga bisnis to bisnis. Tetapi pada saat yang sama saya juga memperoleh informasi banyak penipuan dan tindak pidana keuangan telah terjadi,” kata Jokowi saat menjadi keynote speech OJK Virtual Innovation Day dari Istana Negara, Jakarta, 11 Oktober 2021.
Jokowi menambahkan, “Saya mendengar masyarakat bawah yang tertipu dan terjerat bunga tinggi oleh pinjaman online yang ditekan dengan berbagai cara untuk mengembalikan pinjamannya. Oleh karenanya perkembangan yang cepat ini harus dijaga, harus dikawal, dan sekaligus difasilitasi untuk tumbuh secara sehat untuk perekonomian masyarakat kita.”
Perintah Jokowi itu segera ditindaklanjuti berbagai pihak mulai OJK, Polri hingga Kementerian Kominfo. Salah satunya melakukan moratorium penerbitan izin usaha baru untuk perusahaan pembiayaan peer to peer lending alias pinjam online.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menjelaskan, saat ini pihaknya sudah mencatat ada 107 pinjol yang terdaftar.
“Seluruh pelaku pinjol harus masuk dalam asosiasi yang kita sebut asosiasi fintech. Dalam asosiasi ini digarap bagaimana membina para pelaku bisa lebih efektif, memberi pinjaman murah, cepat, dan tidak menimbulkan cara penagihan yang melanggar kaidah dan melanggar etika,” kata Wimboh usai ratas, Jumat, 15 Oktober 2021.
Adapun untuk melindungi masyarakat dari pinjol ilegal, Kementerian Kominfo sudah menutup 4.000-an aplikasi pinjol ilegal. Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate mengatakan telah ada lebih dari 68 juta rakyat yang mengambil bagian atau memiliki akun di dalam aktivitas kegiatan financial technology.
“Kominfo sejak 2018 sampai dengan 15 Oktober 2021 telah menutup 4.874 akun pinjol. Tahun 2021 saja yang telah ditutup 1.856 yang tersebar di website, Google, Play Store, Youtube, Facebook dan Instagram serta di file sharing. Kami akan mengambil langkah-langkah tegas dan tanpa kompromi untuk membersihkan ruang digital dari praktik-praktik pinjol ilegal atau pinjaman online tidak terdaftar yang dampaknya begitu serius,” kata Plate.
Sementara Polri melakukan penggerebekan beberapa perusahaan pinjol ilegal di sejumlah daerah, mulai dari Jakarta, Tangerang hingga DI Yogyakarta.
Polda Metro Jaya missal mengamankan dua kantor yang merupakan perusahaan pinjol di sebuah ruko di Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang dan Cengkareng Jakarta Barat, Rabu (13/10/2021). Berdasarkan keterangan terbaru, perusahaan tersebut mengoperasikan sebanyak 10 aplikasi pinjam ilegal.
Kemudian Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat menetapkan seorang tersangka terkait kasus pinjaman online ilegal yang terungkap beroperasi di Yogyakarta pada Sabtu (16/10/2021).
Namun, apakah langkah-langkah tersebut cukup untuk mengatasi pinjol yang menjamur di Indonesia?
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai, langkah pemerintah itu hanya baru bisa mengatasi masalah pinjol di permukaan saja. Ada masalah mendasar yang menjadi biang keladi mengapa pinjol ilegal menjamur.
Masalah utamanya adalah masih tingginya kebutuhan masyarakat akan sumber pendanaan yang mudah dan cepat didapat, kata Bhima.
“Kemudian kenapa bisa menjamur, karena permintaan di masyarakat untuk pinjaman pribadi personal ini tinggi banget. Masa pandemi menyuburkan itu. Tapi sebelum pandemi itu memang sudah tinggi permintaanya,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Senin (18/10/2021).
Sayangnya, kata Bhima, kebutuhan itu belum bisa diakomodir oleh perbankan formal. Atau bisa dikatakan, inilah “bolong” pertama dalam sistem keuangan di Indonesia yang membuat pinjol ilegal menjamur.
“Karena rata-rata yang melakukan pinjaman online ini adalah mereka yang tidak memenuhi syarat untuk mengambil pinjaman di perbankan atau lembaga keuangan resmi. Jadi mereka gampang untuk jadi korbannya,” kata dia.
Bolong kedua, kata Bhima, belum mampunya pemerintah mengakomodir mereka yang kehilangan penghasilan karena menjadi korban PHK selama pandemi. Hilangnya penghasilan membuat mereka kehilangan kemampuan membayar kewajiban di bank yang pada akhirnya mendorong mereka terjerumus ke pinjol dan pinjol ilegal.
“Sebagian juga ada yang sebelumnya sudah berutang di bank, tapi mereka gak mampu secara pendapatan, penghasilan sehingga mereka menggunakan pinjaman online ilegal itu untuk membayar cicilan ke lembaga keuangan resmi. Karena kondisi keuangannya sedang terdesak,” papar dia.
Bolong ketiga adalah kelemahan dalam sistem penindakan terhadap penyedia jasa pinjol ilegal. Selama ini penindakan yang dilakukan banyak hanya berupa pemblokiran situs. Selain itu, ada juga kelemahan dalam evaluasi terhadap kegiatan usaha atas izin pendirian PT yang sudah diterbitkan lembaga terkait.
“Yang kelewat ini harus ada kritik juga soal perizinan berusaha yang dipermudah ini. Dengan adanya OSS juga, itu gimana melakukan evaluasi terhadap jasa yang dilakukan pada PT atau usaha yang dilakukan setelah dia mendapat izin usaha menjadi PT. Nah, di sini yang kemudian agak blank. Nah, belum tentu dengan PT usahanya sesuai dengan apa yang didaftarkan pemerintah,” jelas dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan, ada sejumlah langkah perbaikan mendesak untuk segera dilakukan pemerintah.
“Mekanisme pemberantasan pinjol ini, kan, kalau ada yang mengadu. Menurut saya cybercrime ini harus ada divisi khusus yang melakukan ini. Kalau gak ada keluhan itu mereka cari, kan, itu sudah mudah banget, kemudian kalau ada keluhan bukan lagi ke OJK, tapi langsung Bareskrim sehingga langsung ditindak. Kemudian harus ada pemantauan dari operasional pinjol legal juga, kan, bisa ditelusuri kalau ada angka yang gak wajar misal nasabahnya berapa, pinjaman berapa, kasih bunga berapa. Kan keliatan dari transaksi,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (18/10/2021).
Selain itu, kata dia, perlu ada pemantauan dan pengamanan yang lebih ketat demi melindungi masyarakat dari jerat pinjol. Kondisi yang pandemi yang membuat pemasukan tidak menentu membuat banyak masyarakat lengah dalam mengatasi permasalahan keuangan.
“Kadang ketika kebutuhan mendesak orang gak mikir rasional lagi bahwa ini pasti ada jebakan. Jebakan dari sisi administrasi, jebakan dari sisi penagihan, kemudian jebakan dari sisi bunga. Nah ini yang saya kira itu yang sering kali terlupa. Maka perlu pemerintah di sini yang harus jaga,” kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz