Menuju konten utama

KPI Tak Bertaji saat Tayangan TV Menormalisasi Kekerasan Polisi

Peneliti Remotivi sebut KPI sudah punya aturan, kenapa menunggu pelaporan tayangan bermasalah, baru bertindak?

KPI Tak Bertaji saat Tayangan TV Menormalisasi Kekerasan Polisi
Ilustrasi KPI dan penyiaran. Foto/Antara Foto

tirto.id - Tindakan polisi meminta ponsel milik pengendara motor dan memeriksa isinya viral di media sosial. Si pemilik ponsel menolak dengan alasan ia tidak melakukan tindak pidana apa pun dan barang tersebut adalah ranah privasinya.

Namun polisi bersikukuh ingin memeriksa HP itu dengan alasan pemeriksaan identitas melalui ponsel. Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti menyatakan tindakan polisi seperti itu tanpa dasar hukum dan surat perintah, merupakan upaya keliru. “Bahkan di KUHAP, untuk penyitaan barang yang diduga berkaitan dengan kejahatan saja harus dengan izin pengadilan,” ucap dia ketika dihubungi Tirto, Selasa (19/10/2021).

Pemeriksaan juga harus ada surat perintah. Tidak boleh main ambil begitu saja, bahkan harus ada sangkaan terlebih dahulu. Kecuali, lanjut Poengky, tertangkap tangan melakukan kejahatan.

“Kalau bukan tertangkap tangan, ya, tidak boleh. Apalagi jika polisi hanya melakukan razia. Tidak boleh seenaknya melanggar privasi seseorang, itu namanya tindakan arogan dan melanggar hukum.” Kata dia.

Unggahan itu merupakan potongan tayangan program ‘The Police’ milik Trans7. Tayangan ‘dominasi’ kepolisian juga ada di program ‘86 & Custom Protection’ milik Net TV. Bahkan tim Raimas Backbone Polres Metro Jakarta Timur pun memiliki akun Youtube sendiri untuk menayangkan proses patroli dan operasi mereka selama ini.

Akun-akun serupa pun banyak bermunculan di Youtube seperti akun ‘Team Jaguar Restro Depok’ dan akun ‘Laos TTU.’

Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar mengingatkan bahwa perbuatan yang dinilai sebagai kejahatan adalah akses ilegal terhadap orang lain dengan sengaja atau tanpa hak. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 30 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam kasus polisi, penggeledahan adalah upaya paksa dalam rangka melakukan pemeriksaan sesuai Pasal 32 KUHAP. Penggeledahan harus melalui persetujuan ketua pengadilan setempat. Selain itu, penggeledahan adalah bagian dari proses penyidikan sehingga harus ada dugaan tindak pidana yang disidik.

Wahyudi juga mengkritik polisi yang menyamakan identitas dan telepon genggam. Ponsel adalah ranah data pribadi yang harus dilindungi. Tindakan mengakses ponsel bisa dilakukan saat proses penyidikan. Meskipun pemerintah belum mempunyai UU Perlindungan Data Pribadi, tapi Pasal 26 UU ITE menjelaskan kewajiban semua pihak untuk menghormati dan melindungi hak atas privasi seseorang dalam hukum Indonesia.

Maka Elsam mendorong agar polisi menghormati dan melindungi hak atas privasi dalam segala tindak kepolisian, termasuk upaya paksa; serta mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengevaluasi pelaksanaan tayangan kepolisian.

Benarkah KPI Mengawasi Tayangan?

Manajer Penelitian Remotivi Muhamad Heychael berpendapat program-program tersebut seperti menjadi ‘humas kepolisian.’ Dalam konteks tersebut, si humas tak mengedukasi publik melalui tayangan. Rakyat memang butuh aparat untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tapi publik juga mengeluhkan kinerja Polri.

“Alih-alih mendiskusikan (keluhan warga) itu, yang terjadi malah (program) ‘86’ ‘mencuci’ keluhan-keluhan terhadap polisi. Kaitannya dengan pelanggaran standar operasional prosedur, itu sudah lama,” ujar Heychael kepada reporter Tirto, Kamis (21/10/2021).

Contoh simpel pelanggaran prosedur yaitu polisi tak mengenakan masker ketika mengecek warga yang dicurigai, kata dia.

Pada konteks edukasi, lagi-lagi pengedukasian dari polisi tergolong buruk. “Karena ini jadi tayangan kekuasaan aparat ketimbang tayangan keadilan. Kekerasan jadi lebih buruk ketika yang melakukan aparat,” kata Heychael.

Heychael juga mengkritik KPI ihwal hukuman ‘peringatan’ bagi tayangan kepolisian. Dia bilang, tidak ada instrumen hukum soal ‘peringatan’ dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).

KPI harus gamblang menunjukkan tayangan itu melanggar perilaku penyiaran atau tidak, kata dia. Bila KPI tak memiliki parameter soal kekerasan, misalnya, maka ikuti saja sesuai buku teks. Bahkan kalau KPI hanya merespons secara normatif, maka seolah ada permainan politik di balik itu.

“Bila tayangan itu tak independen, itu telah melanggar prinsip dasar Undang-Undang Penyiaran. Kemudian, (polisi juga) berpegang kepada aturan hukum, sesuai standar operasional prosedur,” sambung dia.

Meski baku kejar diperlihatkan dalam tontonan tersebut, kata dia, jangan sampai tayangan itu membingkai ‘polisi selalu benar dan penjahat selalu salah’. Umpama, setelah ditangkap kemudian seseorang diperlakukan tidak manusiawi, apakah itu sesuai aturan hukum? Kalau tidak sesuai prosedur, maka perbuatan itu bisa jadi serangan balik kepada Korps Bhayangkara.

Perihal pengaduan kepada KPI terhadap tayangan kepolisian yang dianggap melanggar aturan, Heychael mengatakan banyak orang yang berasumsi KPI baru kerja bila ada pengaduan publik.

“KPI sudah punya aturan, kenapa menunggu pelaporan tayangan bermasalah? Secara tidak langsung, dia (KPI) sedang menunjukkan dia tidak mengawasi,” kata Haychael.

Respons KPI

Pada 17 Oktober 2018, KPI menerbitkan surat Nomor: 554/K/KPI/31.2/10/2018 untuk Net TV perihal program ‘86’. Surat itu berstatus ‘Peringatan Tertulis’. 5 Februari 2021, KPI kembali melayangkan surat ‘Teguran Tertulis’ bernomor 50/K/KPI/31.2/2/2021 kepada Net TV untuk program serupa.

Pada akun Twitter @86netmedia, program ‘86’ merupakan tayangan realitas yang bekerja sama dengan Polri. Tayang Senin-Jumat, pukul 22. Artinya tayangan ini bersudut pandang penegak hukum, kamera bergerak menggunakan perspektif personel kepolisian.

Mulyo Hadi Purnomo, Wakil Ketua KPI Pusat, berujar dalam standar KPI kekerasan yang ada dalam tayangan kepolisian tersebut masih dalam taraf wajar. Ia menjelaskan parameter ‘kewajaran.’

“Bukan kekerasan fisik (seperti) beradu pukul dalam durasi yang relatif lama dan tidak ditayangkan secara berulang-ulang atau beberapa kali memunculkan peristiwa seperti itu. Tidak ada unsur kesadisan atau kengerian, penembakan terhadap seseorang, menampilkan orang berdarah-darah,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (21/10/2021).

Guna mengantisipasi kemungkinan pelanggaran, terutama munculnya visual anak yang tengah diperiksa dan terkadang adanya nuansa kekerasan sebagai ekspresi ketegasan tindakan polisi, maka KPI menyarankan program-program tersebut ditayangkan pukul 22 hingga pukul 3 pagi.

Mulyo menegaskan pihaknya turut memantau tayangan kepolisian tersebut. “Pengawasan rutin seperti biasanya, dari sistem pengawasan selama ini kami mampu mencermati potensi pelanggaran. Tidak hanya program-program aksi polisi, tapi juga program lain,” ucap dia.

Perihal teguran tertulis kepada program ‘86’, Mulyo menyatakan jika itu terkait pribadi seseorang sebagai objek siaran yang merasa dirugikan, pihaknya belum pernah menerima keberatan yang bersangkutan.

“Tapi hal ini menjadi masukan yang penting untuk disampaikan dan diperhatikan oleh (saluran) televisi yang memiliki program sejenis,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PENYIARAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz