tirto.id - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kembali mendapat sorotan publik. Dalam sepekan terakhir, setidaknya ada dua kejadian yang cukup mencolok, yaitu: kasus perundungan pegawai KPI pusat oleh rekan kerjanya serta sikap KPI terkait tampilnya Saipul Jamil dalam siaran televisi.
Dalam kasus Saipul Jamil misal, KPI didesak agar melarang televisi mengundang mantan suami Dewi Perssik itu. Sebab, Saipul terbukti bersalah dalam kasus pencabulan anak. Apalagi, usai bebas dari penjara, ia disambut bak pahlawan dan diundang sebagai bintang tamu di televisi.
Terkait desakan tersebut, KPI hanya mengimbau agar seluruh lembaga penyiaran televisi untuk tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi pembebasan Saipul Jamil dalam isi siaran. Namun, tidak ada pernyataan "melarang."
"Kami berharap seluruh lembaga penyiaran memahami sensitivitas dan etika kepatutan publik terhadap kasus yang telah menimpa yang bersangkutan dan sekaligus tidak membuka kembali trauma yang dialami korban,” kata Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo Senin (6/9/2021).
Terbaru, KPI justru memberikan panggung kepada Saipul Jamil, dengan memperbolehkan bekas narapidana kasus pencabulan bocah itu tampil di televisi khusus untuk program edukasi bahaya predator.
Ketua KPI Pusat Agung Suprio mengatakan lembaganya mengaku tidak melarang Saipul Jamil untuk tampil di publik, tapi hanya membatasi. Saipul Jamil bisa tampil di publik dalam konteks edukasi atau wawancara tentang kejahatan yang dia lakukan.
"Dia [Saipul Jamil] bisa tampil untuk kepentingan edukasi, misal, dia hadir sebagai bahaya predator, kan bisa juga dia ditampilkan seperti itu. Kalau untuk hiburan belum bisa di surat yang kami kirim ke lembaga penyiaran,” kata Agung saat menjadi bintang tamu podcast Deddy Corbuzier, Kamis, (9/9/2021).
Sontak, pernyataan Ketua KPI Pusat tersebut menuai kritik, salah satunya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Mereka mengkritik kebijakan KPI yang masih memperbolehkan Saipul Jamil tampil di televisi untuk mengedukasi kekerasan seksual.
KPAI menilai dengan tampilnya Saipul Jamil di televisi, bukannya untuk mengedukasi, malah akan membuat korban dan anak-anak lainnya trauma berkepanjangan ketika melihat pelaku pelecehan seksual tersebut.
"Ada kekhawatiran dengan tampilnya Saipul Jamil akan membawa trauma korban bangkit kembali dan berkepanjangan," kata Komisioner KPAI Jasra Putra saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (10/9/2021).
Ditambah lagi, kata dia, tampilnya Saipul di ruang publik banyak direspons dengan penolakan oleh sejumlah masyarakat. KPAI mengaku mendapatkan aduan yang luar biasa terkait tampilnya Saipul di televisi.
Selain itu, petisi penolakan Saipul Jamil tampil di televisi dan YouTube telah ditandatangani sebanyak 529.732 orang dan telah disampaikan kepada KPAI per pukul 18.25 WIB, Jum'at (10/9/2021).
Gelombang protes juga muncul di Twitter setelah Ketua KPI memperbolehkan Saipul Jamil tampil di televisi untuk program edukasi. Sebanyak 18,9 ribu tweet dengan gerakan tagar #KetuaKPI menjadi trending di Twitter pada Jumat, 10 September 2021.
"Suara dan pandangan publik yang berpihak kepada korban merupakan alarm positif untuk memperjuangkan perlindungan anak, termasuk juga korban pelecehan seksual," kata Jasra.
Sepanjang Januari-Juni 2021, KPAI mengaku mendapat laporan sebanyak 1.245 kasus klaster perlindungan khusus anak, terutama anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis serta kekerasan seksual.
Atas kebijakan tersebut yang dipenuhi protes, KPAI meminta kepada KPI agar mematuhi Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pada pasal 4 ayat (1) UU 32/2002 berbunyi: "Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial."
Selain itu, menurut ketentuan Pasal 72 (5) Undang-undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, “Peran media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak."
Jika melihat ketentuan yang ada di UU tersebut, kata Jasra, maka isi siaran harus terpilih. "Sehat untuk perkembangan anak serta beorientasi kepentingan terbaik bagi anak," kata dia.
Oleh karena itu, kata Jasra, KPAI mendorong agar KPI memberikan imbauan dan edukasi secara berkelanjutan kepada lembaga penyiaran untuk menjaga muruah dalam menjalankan fungsi edukasi dan hiburan yang sehat.
Lalu melakukan penyesuaian Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dengan prinsip-prinsip perlindungan anak termasuk berorientasi perlindungan terhadap korban, saksi dan pelaku anak.
"Karena pemberitaan terpidana dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak yang berlebihan rentan mengganggu psikologis korban, tidak sesuai dengan etika dan kepatutan penyiaran di ruang publik, serta dampak lainnya," kata dia.
KPAI, kata Jasra, sudah melayangkan surat ke KPI per tanggal 6 September 2021 dengan menyampaikan berbagai regulasi, agenda besar presiden terkait 4 hal perlindungan anak, yakni menurunkan angka kekerasan terhadap anak, menurunkan pekerja anak, menurunkan pernikahan usia anak, dan meningkatkan peran orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak.
"Tentu penayangan Saipul Jamil bertentangan dengan agenda negara yang sedang serius mengerahkan sumber dayanya untuk menyelesaikan empat hal persoalan perlindungan anak yang membutuhkan dukungan para pihak, termasuk media telivisi dan media lainya," kata dia.
Lebih lanjut, kata dia, seharusnya Saipul Jamil juga melihat situasi ini lebih arif dan peduli kepada situasi penanganan fedofilia di Indonesia. "Terutama dengan berpihak kepada para korban dan mengurangi trauma," ujarnya.
Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi meminta KPI tegas apakah mantan narapidana kasus pelecehan seksual Saipul Jamil boleh muncul di televisi atau tidak. Pasalnya sebagai norma, stasiun televisi tidak boleh menampilkan Saipul dalam program apa pun mengingat penolakan masyarakat terhadap pedangdut itu sangat besar.
“KPI harus tegas terhadap figur yang bersangkutan, jangan bingung publik dengan argumentasi yang digeneralisasikan. Soal predikat mantan narapidana, dalam konteks ini berbeda, mengacu pada respons publik,” kata Bobby kepada wartawan, Jumat (10/9/2021).
Politisi Partai Golkar ini berpandangan, berdasarkan norma hukum memang tidak ada aturan yang bisa dijadikan acuan boleh tidaknya seorang terpidana tampil di televisi setelah menjalani hukumannya. Namun, menurutnya KPI harus mendengarkan aspirasi masyarakat yang menolak penampilan Saipul di televisi.
Ia menilai saat ini sulit bagi stasiun televisi untuk berani menayangkan Saipul Jamil karena masyarakat banyak yang menolak.
"Saya kira tidak mungkin sebuah stasiun TV melakukan apa yang diminta KPI, apalagi jika kontennya tentang mendidik masyarakat tentang kejahatan ini. Dengan kata lain, jika masih ada stasiun TV, radio, media penyiaran lain yang masih nekat mencoba menyiarkan hal itu, mereka akan berhadapan langsung dengan publik," ucapnya.
Kemudian Bobby menuturkan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), terdapat aturan mengenai perlindungan orang dan kelompok masyarakat tertentu, terhadap anak, dan larangan konten seksual.
"Ya, kalau yang bersangkutan mendidik tentang kejahatan seksual, apa relevansi pembatasan dalam P3SPS itu," kata dia.
Bobby menyatakan, apabila masih ada stasiun televisi yang menampilkan Saipul Jamil lagi, maka DPR RI akan mengagendakan untuk memanggil KPI.
"Sampai saat ini, sepengetahuan kami belum ada program siaran dengan konten baru mengenai yang bersangkutan [Saipul Jamil]," ucapnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz