tirto.id - Kasus kekerasan antar-taruna hingga meninggal dunia terjadi di Semarang. Kali ini, taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang Zidan Muhammad Faza (21) meninggal dunia setelah dipukul seniornya, Caesar Richardo Bintang Samudra Tampubolon (22).
Kasus berawal ketika Zidan berboncengan di motor dengan temannya, Adyatma Eilen Rasyid (20). Saat mereka tiba di pertigaan Jalan Tegalsari Barat Raya, motor yang mereka tumpangi hampir menyerempet motor Samudra.
"Kemudian semuanya berhenti, pelaku menegur dan menasihati korban serta memukul hingga (korban) jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri," kata Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar saat dihubungi Tirto, Selasa (7/9/2021).
Zidan lantas dilarikan ke rumah sakit oleh Rasyid dan Samudra. Namun nyawa Zidan tidak tertolong dan meninggal dunia.
Pihak kepolisian lantas melakukan pengusutan perkara dengan Laporan Polisi Nomor: LP/A/08/IX/Jateng/Restabes Smg/Sek.Cdsr, bertanggal 7 September 2021. Polisi pun memeriksa Samudra sebagai pelaku dan menyangka dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP.
Kementerian Perhubungan pun angkat bicara soal kematian Zidan. Kemenhub menyatakan kekerasan tersebut terjadi di luar lingkungan kampus karena sampai dengan saat ini pembelajaran masih dilakukan secara online. Almarhum Zidan, merupakan taruna tingkat III yang baru saja selesai menjalani Praktik Kerja Lapangan. Kemenhub memastikan tidak mentolerir aksi penganiayaan hingga taruna meninggal.
“Kami tidak mentolerir segala tindak kekerasan dalam bentuk apa pun yang terjadi di lingkungan kampus Kementerian Perhubungan. Selanjutnya kami menyerahkan hal ini kepada pihak Polresta Semarang untuk dapat diproses sesuai ketentuan yang berlaku,” demikian rilis Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Perhubungan, Rabu (8/9/2021).
Kabid Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Z. Haeri mengaku turut berdukacita atas meninggalnya siswa PIP Semarang. Ia menilai, kekerasan yang dialami Zidan sebagai hal yang tidak bisa ditoleransi. Kejadian penganiayaan Zidan seharusnya menjadi pelajaran cerminan masih ada sikap senioritas dan kekerasan meski tidak ditoleransi.
"Ini menjadi bahan evaluasi terhadap lingkungan belajar peserta didik. Bukankah sikap senioritas ditularkan pada mereka yang dulunya adalah junior? Artinya sikap senioritas terus berjalan meski, pendekatan kekerasan sudah tidak diakui dalam dunia pendidikan," kata Iman kepada reporter Tirto, Rabu (8/9/2021).
Iman khawatir kasus penganiayaan akan ditangani berbasis kasus per kasus. Ia menilai, kasus seperti Zidan adalah masalah struktural. Ia mencontohkan kekerasan tidak hanya antar siswa didik, tetapi juga dilakukan guru. Ia mencontohkan kasus kepala Sekolah Dasar (SD) Inpres Ndora Nagekeo, Adelvina Azi (59) yang dianiaya orang tua siswa pada 9 Juni 2021.
Selain itu, Iman melihat ada kecenderungan upaya penyelesaian kekerasan hanya berbasis psikologi antara penyintas dan pelaku. Pemerintah jarang melihat dimensi sosial di sekolah, seperti tradisi, pendekatan dalam pembelajaran, dan sikap-sikap menuju kekerasan lainnya yang justru dibantu oleh infrastruktur sekolah. "Oleh sebab itu perploncoan tidak bisa diterima dalam dunia pendidikan," kata Iman.
"Berkaitan lingkungan belajar, masih jarang dilakukan pendekatan antropologis di dalam sekolah untuk melihat potensi kekerasan di dalam sekolah. Menurut kami ini juga penting. Sebab dengan demikian kita bisa menangkap persoalan struktural dalam dunia pendidikan, mengapa kekerasan masih terus terjadi dalam lingkungan pendidikan," lanjut Iman.
Iman pun meminta pemerintah berhati-hati dalam melakukan survei karakter dan survei lingkungan belajar dalam Asesmen Nasional (AN). Oleh karena itu, Irman khawatir, jika instrumen asesmen tersebut tidak bisa menangkap fenomena potensi kekerasan di dalam sekolah.
Ia mendorong agar pemerintah membuat kebijakan pendidikan berbasis penyelesaian akar persoalan dengan berbasis data.
Irman menyarankan pemerintah terus melarang segala jenis perploncoan dalam jenjang pendidikan dasar, menengah, atas hingga level universitas. Kemudian, seluruh pihak harus dilibatkan dalam segala kegiatan di lingkungan sekolah sehingga mencegah aksi senioritas dan menghentikan aksi gila hormat senior. Terakhir adalah penguatan pengawasan pemda soal aksi perpeloncoan.
"Pengawasan oleh Dindik daerah setempat dan komite sekolah terhadap kegiatan sekolah yang mengarah pada pengembangan sikap senioritas dan penindakan atas pelanggaran yang dilakukan sekolah karena masih melaksanakan kegiatan yang melanggengkan senioritas dan perploncoan," kata Iman.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji memandang kejadian di Semarang sebagai bukti sekolah masih berfokus pada upaya belajar berbasis nilai. Sekolah lupa bahwa mereka juga sebagai lembaga pembentuk karakter siswa.
"Jadi kejadian ini menurut saya tidak hanya mencari siapa pelaku, siapa korban, siapa yang terlibat tetapi harus dikaji secara mendalam kenapa ini sampai terjadi," kata Ubaid kepada reporter Tirto.
Ubaid menilai, kekerasan yang dialami Zidan adalah bukti bahwa sekolah-sekolah kedinasan masih memegang nilai senioritas hingga kubu-kubu. Hal ini memicu terjadinya kekerasan dari insan sekolah. Kekerasan tersebut lantas dibiarkan sekolah hingga akhirnya muncul sekolah dicap buruk.
"Dalam konteks ini sekolah-sekolah kedinasan ini atau sekolah-sekolah sudah penjurusan segala macam berapa kali pernah terjadi sebelum ini. Itu mereka tahu kok (ada kekerasan). Ini yang jadi masalah dibiarkan sehingga ini tidak menjadi ekosistem yang baik di sekolah, tapi justru memperburuk sekolah itu," kata Ubaid.
Ubaid mendorong adanya perbaikan tata kelola sekolah. Sekolah harus bisa partisipatif dan terbuka tidak hanya kepada murid dan orang tua, tetapi juga masyarakat. Ia menilai masyarakat perlu dilibatkan, apalagi ketika menghadapi situasi bermasalah seperti bagaimana proses pengaduan jika ada masalah berkaitan dengan sekolah.
Ia menilai masyarakat acuh dengan sekolah jika sekolah tertutup seperti sulit bertemu kepala sekolah atau komunikasi dengan guru sementara masyarakat tahu ada aksi kekerasan.
"Karena itu kita dorong bagaimana supaya (sekolah) menjadi institusi yang terbuka, inklusif dan partisipatif," kata Ubaid.
Langkah BPSDMP Usai Insiden
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP), A. Arif Priadi mengatakan pihaknya fokus melakukan investigasi internal terkait tindak kekerasan yang melibatkan taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang. Ia mengatakan, tidak mentolerir terjadinya tindak kekerasan di lingkungan kampus.
Meski tindak kekerasan tersebut terjadi di luar lingkungan kampus terhadap taruna yang sedang dalam pembelajaran jarak jauh, tapi pihak kampus akan melakukan investigasi mengenai insiden ini.
"PIP Semarang saya minta fokus dan mengambil langkah-langkah percepatan untuk mengusut insiden ini dan mencegah kejadian serupa terulang kembali," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (8/9/2021).
Ia menambahkan, sebagai langkah preventif PIP Semarang diminta untuk menyelenggarakan kegiatan peningkatan pembinaan karakter sesegera mungkin, secara virtual bagi seluruh civitas akademika. Webinar ini bertujuan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang telah diatur dalam Pedoman Pola Pengasuhan Taruna di lingkungan BPSDMP.
“Bagi para taruna, penting untuk diingatkan kembali, karena hampir 2 tahun ini tidak secara penuh tinggal di dalam asrama karena menjalani Pembelajaran Jarak Jauh. Bagi pengelola kampus juga ditekankan kembali mengenai penerapan standar prosedur pengawasan dan pencegahan tindak kekerasan di lingkungan sekolah secara tegas dan berkelanjutan," kata dia.
Usai kejadian tindak kekerasan yang dilakukan oleh taruna tingkat akhir kepada juniornya itu, Direktur PIP Semarang Capt. M. Rofik menugaskan Wakil Direktur (WADIR) 3 dan Kepala Pusat Pengembangan Karakter Taruna dan Perwira Siswa untuk fokus pada penyelesaian masalah termasuk berkoordinasi dengan pihak keluarga dan pihak kepolisian.
Untuk itu, kata dia, keduanya dinonaktifkan sementara dari jabatannya. Selanjutnya, BPSDM Perhubungan segera menyiapkan langkah-langkah nyata peningkatan pengawasan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz