Menuju konten utama

Masalah di Balik Santunan Korban Tewas Kebakaran Lapas Tangerang

Wakil Ketua LPSK Meneger sebut kebakaran di Lapas Tengerang menyadarkan adanya kekosongan hukum dalam pemenuhan hak korban.

Masalah di Balik Santunan Korban Tewas Kebakaran Lapas Tangerang
Petugas membawa kantong jenazah korban kebakaran Lapas 1A Tangerang di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta, Rabu (8/9/2021). Sebanyak tujuh ambulans membawa 41 jenazah warga binaan korban kebakaran Blok C2 Lapas Dewasa kelas 1A Tangerang untuk diidentifikasi dengan metode Disaster Victim Indentivication (DVI). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/rwa.

tirto.id - Kebakaran di Lapas Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Rabu (8/9/2021) dini hari memakan korban jiwa. 41 orang meninggal dengan rincian 40 orang meninggal di lokasi dan 1 orang meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, serta 8 orang luka berat.

Kabar terbaru, 3 dari 8 orang yang luka berat juga meninggal dunia, Kamis (9/9/2021). Hingga saat ini, kepolisian tengah menyelidiki kebakaran yang diduga berawal dari korsleting listrik dan kini menewaskan total 44 orang itu.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengucapkan turut berduka cita dan meminta maaf kepada keluarga akibat kejadian kebakaran tersebut. Yasonna pun menjanjikan uang santunan sebesar Rp30 juta bagi para narapidana yang meninggal dalam insiden tersebut.

"Sebagai sebagian perwujudan duka, kami akan memberikan santunan senilai Rp30 juta kepada keluarga dari masing-masing korban yang meninggal dunia dalam musibah ini," kata Yasonna dalam keterangan resmi, Rabu (8/9/2021).

Selain santunan, Yasonna menginstruksikan jajarannya untuk membantu pemulasaran jenazah sampai selesai.

"Khusus untuk warga binaan yang menderita luka, semuanya sudah ditangani di rumah sakit dan kami pastikan untuk mendapat pengobatan sebaik mungkin," ucap Guru Besar Ilmu Kriminologi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tersebut.

Yasonna pun mendatangi RSUD Tangerang, Kamis (9/9/2021). Ia ingin agar para warga binaan yang terluka mendapat perawatan sebaik mungkin akibat insiden kebakaran tersebut.

"Saya pastikan Kementerian Hukum dan HAM lewat tangan-tangan para dokter dan perawat di RSUD Kabupaten Tangerang ini bertanggung jawab menyediakan pengobatan sebaik mungkin," ucap Yasonna.

Yasonna mengaku memahami kegelisahan keluarga korban kebakaran. Ia berharap para keluarga bersabar dan menantikan proses pengobatan hingga bisa dijenguk.

"Luka bakar yang dialami warga binaan kami tentunya membutuhkan perawatan yang intensif. Sebaiknya, mari sama-sama kita doakan agar semua proses pengobatan berjalan dengan lancar dan keluarga bisa segera menjenguk saat sudah diizinkan," kata dia.

Yasonna menyerahkan secara langsung santunan senilai masing-masing Rp30 juta kepada tiga keluarga warga binaan yang meninggal di rumah sakit. Adapun keluarga korban meninggal yang menerima santunan tersebut adalah almarhum warga binaan atas nama Adam Maulana (diterima oleh Dadang/kakak), Thimoty Jaya (diterima oleh Endru Jonathan/kakak), serta Hadiyanto (diterima oleh Dasri/istri).

"Santunan ini jangan dilihat dari besar atau kecilnya, tetapi sebagai wujud empati dan rasa duka mendalam kami atas musibah yang sama-sama tidak kita inginkan ini. Santunan akan diberikan kepada semua keluarga korban yang meninggal dalam musibah ini," ucap Yasonna.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Meneger Nasution meminta agar negara memenuhi hak para warga binaan dan memperlakukan secara manusiawi dan bermartabat. Meneger mengakui negara sudah tepat dengan meminta maaf karena kebakaran menewaskan warga yang berada dalam pengawasan negara.

Akan tetapi, ia melihat masih ada potensi masalah yang muncul dari pemberian santunan tersebut seperti masalah keadilan kepada korban, apalagi korban meninggal.

"Apakah uang santunan yang disebut oleh pemerintah Rp30 juta per orang yang meninggal itu sebanding? Itu dalam konteks keadilan bagi korban tersebut kompensasi maupun restitusi itu pasti tidak seimbang dengan penggantian terhadap kerugian yang dialami oleh korban, apalagi ini korban meninggal dunia," kata Meneger kepada reporter Tirto, Kamis (9/9/2021).

Ia menambahkan, "Tidak sebandinglah kalau itu, tetapi bahwa negara kemudian hadir memberikan keprihatinan, menyapa keluarga dengan memberikan santunan Rp30 juta itu mesti diberi penjelasan bahwa itu tidak kemudian setara dengan menghilangnya nyawa orang."

Meneger mengaku kejadian kebakaran kali ini menyadarkan adanya kekosongan hukum dalam pemenuhan hak korban. Ia mengatakan, pemenuhan hak korban dilakukan oleh dua pendekatan, yakni restitusi dan kompensasi. Restitusi adalah ganti rugi yang dihitung LPSK dan dibayar oleh pelaku.

Sementara itu, kompensasi adalah pembayaran ganti rugi yang dilakukan pemerintah. Namun kompensasi hanya mengakomodir 2 kejahatan, yakni kejahatan HAM berat yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta tindak pidana terorisme sesuai UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Meneger meminta agar pemerintah menjelaskan besaran uang Rp30 juta untuk korban meninggal dan payung hukum yang digunakan untuk pemberian santuna korban. Ia mencontohkan LPSK memberikan kompensasi korban tindak pidana terorisme sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor S-775/MK.02/2020. Korban luka ringan mendapat maksimal Rp75 juta sementara meninggal mendapat santunan Rp250 juta.

Oleh karena itu, Meneger berharap ada aturan spesifik yang berusaha memenuhi hak korban kebakaran Lapas Tangerang, apalagi mereka dipenjara berada di rumah negara. Semua diperlukan untuk memberikan keadilan kepada korban.

Peneliti Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati tidak sepakat pemerintah asal langsung memberikan angka santunan kematian. Menurut Maidina, pemerintah harus memberikan kompensasi sesuai situasi korban.

"Soal itu bukan titik tekannya nominalnya, tapi harus berdasarkan assessment yang berdasar," kata Maidina kepada Tirto, Kamis (9/9/2021).

Maidina menilai variabel asesmen harus meliputi kondisi keluarga dan pihak yang ditinggalkan, kondisi ekonomi keluarga korban hingga besaran tanggungan korban. Selain itu, masa sisa pidana juga harus dihitung sebagai kompensasi.

"Intinya, prosesnya harus berdasar assessment dan ngga boleh sepihak pemerintah, kalau bisa lebih advance lagi berdayakan korban, kasih lawyer atau ada yang bisa bantu korban untuk hitung dan menyuarakan kerugiannya," kata Maidina.

Ahli hukum dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi menilai angka yang diberikan pemerintah jauh dari nilai adil. Ia menganalogikan angka santunan kematian tersebut apakah mencukupi untuk keperluan keluarga korban yang meninggal.

"Jauh. Artinya Rp30 juta itu per orang. Kalau dia punya anak istri apa dia bisa mengganti itu? Kan tidak juga," kata Fachrizal saat dihubungi reporter Tirto.

Fachrizal menekankan, korban kebakaran di Lapas Tangerang adalah warga binaan. Lembaga Pemasyarakatan diberi amanah untuk membina mereka agar kembali ke masyarakat, tetapi justru lalai dalam upaya menjaga mereka selama proses untuk kembali ke masyarakat.

Menurut Fachrizal, pemerintah tidak hanya harus mengusut dan memproses hukum pelaku penyebab kebakaran, tetapi juga harus mengevaluasi pelaksanaan SOP kebakaran, audit lapas di seluruh Indonesia hingga meminta pertanggungjawaban pihak yang lalai dalam penanganan tersebut agar tidak terulang.

Di sisi lain, Fachrizal mengakui bahwa insiden kebakaran Lapas Tangerang membuka masalah tentang perlindungan bagi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Fachrizal sebut Indonesia belum mengatur pertanggungjawaban santunan bagi para warga binaan yang meninggal di lapas sebagai hilir pemidanaan. Akan tetapi, pemerintah sudah mengatur soal kompensasi jika ada kelalaian di level hulu seperti penyelidikan dan penyidikan.

Ia mengacu pada Pasal 9 PP 92 tahun 2015 tentang pelaksanaan KUHAP. Dalam aturan tersebut mengatur ganti rugi luka-luka hingga kematian dengan menggunakan pendekatan praperadilan. Sebagai contoh, seseorang yang menjadi cacat hingga tidak bekerja ketika menjalani proses hukum akibat sikap aparat penegak hukum bisa memperoleh ganti rugi Rp25 juta-Rp300 juta.

Ia mencontohkan kasus dua pengamen korban salah tangkap di Cipulir pada medio 2016. Kala itu, mereka menang gugatan praperadilan dan akhirnya menerima uang Rp36 juta. "Kalau sampai mati, itu minimal 50juta," kata Fachrizal.

Ia menambahkan, maksimal korban bisa memperoleh Rp600 juta. Maka, angka yang diberikan Yasonna belumlah sebanding bila dibandingkan dengan warga yang meninggal akibat proses hukum aparat hukum meski pemasyarakatan adalah bagian sistem peradilan pidana Indonesia.

"Kalau kita bandingkan dengan mekanisme PP 92 2015 praperadilan ini tahap hulu itu segitu. Ini di hilir harusnya minimal sama," kata Fachrizal.

Fachrizal menduga angka Rp30 juta yang dipasang Yasonna adalah kebijakan pribadi menteri. Ia pun khawatir dana yang dikeluarkan bukan dari pos APBN Kemenkumham. Oleh karena itu, Fachrizal sepakat agar perlu ada pengaturan demi memenuhi hak warga binaan pemasyarakatan seperti di lingkup penegak hukum lain.

Baca juga artikel terkait KEBAKARAN LAPAS TANGERANG atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz