Menuju konten utama

Kemenkumham Tak Mau Disalahkan soal Lapas Kelebihan Penghuni

Wamenkumham mengatakan masalah kelebihan penghuni di lapas karena sistem peradilan Indonesia yang gemar memidanakan seseorang.

Kemenkumham Tak Mau Disalahkan soal Lapas Kelebihan Penghuni
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (tengah) bersama Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) memberikan keterangan usai mengunjungi lokasi kebakaran Lapas Kelas I Tangerang di Kota Tangerang, Banten, Rabu (8/9/2021). ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.

tirto.id - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tak mau disalahkan dalam kasus kebakaran lembaga pemasyarakatan (lapas) Kelas I Tangerang.

Menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej masalah kelebihan penghuni bukanlah salah kementerian yang dipimpin Yasonna H Laoly itu.

"Sekali lagi saya tegaskan tidak ada kesalahan Kemenkumham soal 'over' kapasitas lapas," kata Wamenkumham Prof. Edward Omar Sharif Hiariej pada diskusi daring dengan tema Memadamkan Kebakaran Lapas: Evaluasi Menyeluruh Kebijakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Selasa (21/9/2021) dilansir dari Antara.

Sebab, kata dia, sistem pemasyarakatan sebagai sub-sistem dari peradilan pidana di Tanah Air menjadi tempat "pembuangan akhir".

Lebih khusus, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang bersinggungan langsung dengan lapas di Tanah Air, tidak bisa menolak seseorang yang telah diputus bersalah oleh pengadilan yang kemudian ditempatkan di suatu lapas.

"Kemenkumham tidak bisa menolak eksekusi dari jaksa. Kami ini tempat pembuangan akhir," kata Eddy.

Kata Eddy lapas mendapatkan imbas langsung dari masalah kelebihan penghuni. Ia menyayangkan hingga kini Kemenkumham tidak pernah dilibatkan dalam proses ajudikasi.

Inti masalah kelebihan kapasitas lapas di Tanah Air ialah mengenai substansi hukum dan sistem peradilan yang gemar memidanakan seseorang.

"Ini yang saya katakan bahwa aparat penegak hukum kita masih berkutat pada hukum pidana zaman 'hammurabi'," ucapnya.

Artinya, hukum pidana dijadikan sebagai sarana balas dendam atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, kata Eddy.

Melihat masalah kelebihan kapasitas lapas saat ini, ia berpandangan membangun lapas atau gedung baru bukan solusi terbaik. Selain tidak efektif, hal itu juga akan memakan biaya besar.

"Untuk membangun satu lapas dengan sistem pengamanan yang standar membutuhkan biaya Rp300 miliar," ujar dia.

Solusinya, ia menyarankan agar mengubah atau merevisi Undang-Undang Tentang Narkotika, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU tentang Lembaga Pemasyarakatan.

Baca juga artikel terkait KEBAKARAN LAPAS TANGERANG

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara
Editor: Bayu Septianto