Menuju konten utama

Kontroversi Polisi Paksa Periksa HP Warga: Langgar Privasi & Etika

Elsam mengkritik polisi yang menyamakan identitas dan telepon genggam. Isi HP adalah data pribadi yang harus dilindungi.

Kontroversi Polisi Paksa Periksa HP Warga: Langgar Privasi & Etika
Aipda Monang Parlindungan Ambarita. (FOTO/Instagram/raimas.ambarita)

tirto.id - “Jangan kau bilang privasi, di mana undang-undangnya? Adu data sama saya.”

Ujaran tersebut merupakan salah satu pernyataan polisi ketika menggeledah warga di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Dalam video yang kemudian diunggah ulang oleh akun xnact dengan menyoalkan langkah polisi yang bisa menggeledah HP dan privasi.

Direktur Eksekutif Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu pun mengritik dengan bahasa senada. Lewat akun Twitter @Erasmus70, ia menilai polisi yang menggeledah tidak paham hukum.

Polisinya gak paham KUHAP udah itu aja lah. Makin mau debat, makin kelihatan gak paham. 😅" tulis Erasmus.

Erasmus menerangkan, membuka HP untuk mencari bukti harus melalui mekanisme KUHAP sebagaimana diatur dalam UU ITE. Polisi perlu dasar hukum selayaknya penyitaan dan penggeledahan. Ia pun minta publik untuk tidak sembarangan memberikan akses kepada polisi, bahkan mendorong publik melapor ke Propam.

“Kalau Anda disamperin polisi, tanya dasar pidana ataupun izinnya apa, pun kalau tertangkap tangan, maka harus ada perbuatan pidananya, tanya apa kejahatannya. Kalau gak bisa jawab, jangan kasih akses. Tak ada pidana menolak APH kepo, langsung lapor Propam kalau perlu,” kata Erasmus.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar. Ia mengingatkan bahwa perbuatan yang dinilai sebagai kejahatan adalah akses ilegal terhadap orang lain dengan sengaja atau tanpa hak. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 30 UU ITE.

Dalam kasus polisi, penggeledahan adalah upaya paksa dalam rangka melakukan pemeriksaan sesuai Pasal 32 KUHAP. Penggeledahan harus melalui persetujuan ketua pengadilan setempat. Selain itu, penggeledahan adalah bagian dari proses penyidikan sehingga harus ada dugaan tindak pidana yang disidik.

“Penggeledahan menjadi salah satu upaya paksa terhadap tersangka, dalam rangka pencarian alat bukti. Oleh karena itu tindakan polisi menggeledah secara paksa seseorang di tengah jalan, dan bukan bagian dari proses penyidikan, dapat dikatakan sebagai tindakan sewenang-wenang terhadap privasi seseorang,” kata Wahyudi, Selasa (19/10/2021).

Di sisi lain, Elsam juga mengkritik langkah polisi yang menyamakan identitas dan telepon genggam. Ia mengingatkan, telpon genggam adalah data pribadi yang harus dilindungi. Tindakan membuka telepon genggam baru bisa dilakukan saat proses penyidikan.

Meskipun pemerintah dan DPR belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP), tapi Pasal 26 UU ITE menjelaskan kewajiban semua pihak untuk menghormati dan melindungi hak atas privasi seseorang dalam hukum Indonesia.

Oleh karena itu, kata Wahyudi, Elsam mendorong agar polisi menghormati dan melindungi hak atas privasi dalam segala tindak kepolisian, termasuk upaya paksa. Mereka juga mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengevaluasi pelaksanaan tayangan kepolisian. Mereka juga mendorong agar perlindungan data pribadi diatur.

“Kebutuhan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan hak atas privasi dan data pribadi dalam pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), guna memastikan adanya rujukan perlindungan data pribadi yang komprehensif dalam seluruh proses penegakan hukum pidana,” kata Wahyudi.

Polisi Jangan Arogan, Harus Mengayomi

Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti menyatakan tindakan polisi yang menggeledah hingga ke telepon genggam tanpa dasar hukum dan surat perintah, merupakan upaya keliru. “Bahkan di KUHAP, untuk penyitaan barang yang diduga berkaitan dengan kejahatan saja harus dengan izin pengadilan," ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (19/10/2021).

Poengky menegaskan, pemeriksaan harus disertai surat perintah. Tidak boleh main ambil begitu saja, bahkan harus ada sangkaan terlebih dahulu. Kecuali, lanjut Poengky, tertangkap tangan melakukan kejahatan. Penggeledahan tidak bisa dilakukan untuk razia.

“Kalau bukan tertangkap tangan, ya, tidak boleh. Apalagi jika polisi hanya melakukan razia. Tidak boleh seenaknya melanggar privasi seseorang, itu namanya tindakan arogan dan melanggar hukum,” kata dia.

Poengky menyarankan si pemilik ponsel itu melaporkan tindakan polisi yang memaksa mengecek isi ponselnya ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polri agar si personel polisi tersebut bisa diperiksa. Seluruh anggota Polri harus berhati-hati dalam melaksanakan tugas, tetap menjunjung profesionalitas, kata dia.

“Jaga sopan santun dan jangan menunjukkan arogansi. Polisi itu tugasnya melayani, mengayomi, melindungi masyarakat dan menegakkan hukum guna mewujudkan harkamtibmas," sambung dia.

Pemerhati kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai aksi polisi menanyakan identitas hingga menggeledah HP tidak etis. Ia beralasan, polisi tidak berhak meminta perlengkapan seseorang sebelum berstatus tersangka, apalagi dengan menggunakan gaya membentak dan memberikan tatapan tajam.

“Melotot dan membentak itu gaya polisi lama yang belum tersentuh dengan pendekatan humanis dan melayani masyarakat. Sedangkan mentersangkakan seseorangpun harus dengan surat perintah penyelidikan,” kata Bambang saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (19/10/2021).

“Model polisi sok artis seperti itu sudah bukan saatnya lagi ditayangkan. Kapolri harusnya menertibkan pola-pola program humas yang high budget model reality show seperti itu," lanjut Bambang.

Bagi Bambang, aksi polisi tersebut tidak sekadar melanggar etika kepolisian, tetapi juga antitesis semangat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang ingin menunjukkan polisi humanis. Aksi polisi tersebut sudah melanggar etika semangat melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.

Bambang pun menilai wajar bila publik akhirnya mempersepsikan polisi sebaiknya diganti dengan satpam bank karena sikap yang arogan.

“Apakah gaya melotot itu adalah style pelayanan kepolisian? Tentunya tidak. Jadi benar kalau kemudian muncul sindiran polisi sebaiknya diganti satpam BCA saja karena gaya pelayanannya masih gaya polisi jaman Jepang. Padahal polisi Jepang saja sudah tidak seperti itu,” kata Bambang.

Diperiksa Propam

Bidang Propam Polda Metro Jaya akhirnya memeriksa Aipda Monang Parlindungan Ambarita, anggota Banit 51 Unit Dalmas Satuan Sabhara Polda Metro Jaya. Aipda Ambarita biasa memimpin Tim Raimas Backbone Polres Metro Jakarta Timur.

Pemeriksaan dilakukan karena Aipda Ambarita diduga melakukan pelanggaran prosedur saat melakukan penggeledahan telepon seluler (ponsel) seorang pemuda.

“Ada dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan, karena ada ketentuan standar operasional prosedur untuk penggeledahan. Maka kami lakukan pemeriksaan (terhadap Ambarita) di Divisi Propam,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus, di Polda Metro Jaya, Selasa (19/10/2021).

Sementara itu, hingga berita ini dirilis, Mabes Polri belum memberikan tanggapan. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono maupun Karo Penmas Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono belum merespon soal kritik tersebut.

Baca juga artikel terkait PROFESIONALISME POLISI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz