Menuju konten utama
Polisi Banting Pendemo

Kapolri Ingin Tampilkan Polisi Humanis, tapi Anak Buahnya Brutal

Insiden polisi banting mahasiswa saat demo bertolak belakang dengan janji Kapolri Sigit yang ingin jadikan Polri sebagai institusi humanis.

Video polisi banting mahasiswa UIN saat demo di depan Kantor Bupati Tangerang, Rabu (13/10)-(screenshot/instagram/merekamtangerang)

tirto.id - “Pak, saya minta maaf atas perbuatan saya.”

Kalimat tersebut adalah satu dari bagian pernyataan NP, anggota Polri yang bertugas di Polres Tangerang kepada FA dan keluarganya di Polres Tangerang. FA pun memaafkan aksi NP terhadapnya.

Aksi minta maaf NP bukan tanpa musabab. Semua berawal ketika FA bersama kawan-kawan mahasiswa berdemo saat perayaan Hari Ulang Tahun ke-389 Kabupaten Tangerang, Rabu (13/10/2021). Kala itu, aksi mahasiswa dibubarkan aparat secara brutal.

Hal tersebut ramai setelah beredar video sekitar 48 detik yang menggambarkan momen salah satu anggota, yakni NP membanting FA yang merupakan salah satu peserta aksi. Dalam video tersebut, FA mengalami kejang-kejang hingga tidak sadarkan diri.

Kepolisian lantas meminta maaf atas insiden kekerasan tersebut. Kapolres Tangerang Kombes Pol Wahyu Sri Bintoro meminta maaf mewakili Polres Tangerang dan Polda Banten.

“Polda Banten meminta maaf, saya sebagai Kapolresta Tangerang minta maaf saudara MFA, 20 tahun mengalami tindakan kekerasan oleh oknum pengamanan aksi unjuk rasa di depan gedung Pemkab Tangerang,” kata Wahyu.

Wahyu mengatakan, polisi langsung membawa FA ke rumah sakit dan mendapatkan penanganan medis. Kepolisian mengklaim pengecekan awal kesehatan FA baik. Kapolda Banten pun sudah bertemu dengan korban dan keluarga. Wahyu mengaku polisi akan menindak tegas anggota pelaku yang membanting FA.

“Bapak Kapolda Banten secara tegas akan menindak personel yang melakukan aksi pengamanan di luar SOP dan berjanji langsung kepada korban dan keluarga korban,” kata Wahyu.

Kejadian tersebut tentu bertolak belakang dengan janji Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang akan menampilkan wajah polri yang tegas, tapi humanis.

“Apa yang menjadi harapan masyarakat terhadap Polri tentunya bagaimana menampilkan Polri yang tegas namun humanis, bagaimana menampilkan Polri yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik, bagaimana kita memberikan pelayanan secara transparan, dan bagaimana kita mampu memberikan penegakan hukum secara berkeadilan. Ini tentunya menjadi tugas kami ke depan,” kata Sigit usai dilantik Jokowi.

Aksi Brutal Aparat saat Amankan Demo

Aksi NP memantik emosi publik. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid menilai tindakan membanting mahasiswa yang berdemo sebagai aksi brutal dan tidak boleh dilakukan aparat.

“Tindakan itu jelas merupakan tindakan kriminal karena dia menggunakan kekuatan dan tindakan kekerasan yang tidak diperlukan (unnecessary use of force and violence)” kata Usman dalam keterangan tertulis, Rabu (13/10/2021).

Usman pun mendesak agar pemerintah memproses anggota polisi yang membanting ke ranah hukum. Ia ingin agar penghukuman dilakukan supaya kasus serupa tidak terulang. Apalagi tindakan kekerasan oleh polisi sering terjadi saat pengamanan demo mahasiswa.

Sebagai catatan, aksi kekerasan Polri memang bukan kali pertama bertindak kasar. KontraS, salah satu lembaga swadaya masyarakat bidang HAM, mencatat 19 dari 29 aksi kekerasan dilakukan polisi untuk membubarkan massa selama PPKM dan PSBB per 26 Juli 2021. Dari 19 kasus, 10 kasus adalah penangkapan sewenang-wenang dan 364 orang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang.

Selain itu, kekerasan yang marak terjadi selama penanganan pandemi ini adalah intimidasi dan pembubaran paksa. Dalam hal intimidasi, polisi seringkali mengancam akan memidanakan warga jika melakukan suatu perbuatan. Sebagai contoh, Polda Bali mengancam akan memenjarakan masyarakat apabila melakukan provokasi PPKM darurat di media sosial pribadi pengunggah.

Angka kekerasan yang dilakukan kepolisian berdasarkan catatan KontraS di luar penanganan COVID pun besar. Data yang KontraS himpun sejak Juni 2020 – Mei 2021 menunjukkan realitas suram, yaitu terdapat 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota polisi terhadap masyarakat sipil.

KontraS juga menemukan berbagai keberulangan pola kekerasan seperti maraknya penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur dan dominasi kekerasan yang terjadi di tingkat Polres.

Berdasarkan data 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, KontraS menemukan mayoritas kasus kekerasan terjadi di tingkat Polres dengan total 399 kasus. Pada tingkatan Polda terdapat 135 kasus dan 117 kasus ditingkatan Polsek.

Karena itu, Usman mengatakan “Negara harus membawa anggota polisi yang melakukan aksi brutal tersebut ke pengadilan untuk diadili agar ada keadilan bagi korban, dan agar menjadi pelajaran bagi polisi lainnya. Jika tidak, maka brutalitas polisi akan berulang.”

Kasus kekerasan di Tangerang, Banten tersebut terjadi hanya dalam selang waktu singkat setelah pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang meminta jajaran Polri agar menjadi polisi humanis.

Hal senada diungkapkan Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani. Ia mendesak Presiden Jokowi turun tangan agar kasus peserta demo yang dianiaya anggota tidak terulang.

“Presiden agar mengevaluasi secara menyeluruh sistem penanganan unjuk rasa oleh kepolisian untuk memastikan tidak ada kekerasan di kemudian hari,” kata Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Kamis (14/10/2021).

Julius juga mendesak Kapolri Sigit mengevaluasi sistem penanganan unjuk rasa secara nasional dan menindak tegas jajaran kepolisian di Banten, mulai dari Polda, Polres, dan keseluruhan tim yang terlibat dalam penanganan aksi di Kabupaten Tangerang.

Julius mengingatkan aksi demonstrasi dilindungi UUD 1945, UU HAM No. 39 Tahun 1999, UU No. 9 Tahun 1998. Polisi pun harus menghormati dan menjaga peserta unjuk rasa sebagaimana diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Di sisi lain, kata dia, polisi tidak sekali ini melakukan pengamanan demo secara brutal. Aksi represif juga terjadi sebelumnya, seperti aksi penolakan UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, perlu ada penyelesaian secara kelembagaan sehingga tidak hanya kapolri, tapi juga presiden, kata Julius.

“Jadi harus dipandang masalah krusial yang bersifat kelembagaan. Sehingga tidak relevan dengan jalur personal seperti permintaan maaf. Harus ada evaluasi menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari sistem pendidikan dan pelatihan anggota Polri sampai pengawasan dan penindakan tegas,” kata Julius.

Kasus Polisi Banting Pendemo Tak Cukup Minta Maaf

Ahli Hukum Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Affandi mendesak agar kepolisian tetap memproses anggota yang membanting mahasiswa. Ia mengatakan, banyak hal yang dilanggar sehingga harus diproses secara hukum.

“Yang pertama jelas ini merupakan delik pidana. Penganiayaan yang menyebabkan luka. Kedua melanggar ICCPR. Ketiga Perkap HAM. Jelas tidak bisa selesai dengan minta maaf,” kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Kamis (14/10/2021).

Dalam jangka dekat, kata dia, pemidanaan pelaku pembanting pedemo penting agar menjadi pelajaran bagi personel lain supaya berhati-hati. Oleh karena itu, sidang disiplin tidak cukup untuk membuat anggota lain tidak berperilaku serupa.

Apalagi, Fachrizal menuturkan, insiden penganiayaan bukan kali pertama. Ia mengingatkan ada mahasiswa yang dipukuli meski ada aksi damai di masa lalu.

Menurut Fachrizal, kasus ini terjadi salah satunya berujung pada masalah transparansi dan akuntabilitas Polri. Ia menerangkan, masalah transparansi dan akuntabilitas Polri sudah menjadi pekerjaan rumah yang masih belum diperbaiki korps Bhayangkara. Ia beralasan, Polri yang bagian sipil seharusnya mengubah kulturnya menjadi kultur sipil daripada masih memegang adat ABRI yang mengedepankan gaya represif Orde Baru.

“Sejak pemisahaan Polri dari ABRI awal reformasi dulu, harusnya kultur polisi sudah berubah sipil. Tidak lagi mempertahankan cara-cara represif ala militer Orde Baru, tapi kenyataannya, nampak jika polisi masih nyaman dengan budaya dan organisasi ala militer," kata Fachrizal.

Fachrizal pun menilai Kapolri Jenderal Listyo Sigit harus memperbaiki korps Bhayangkara, apalagi setelah ramai tagar #percumalaporpolisi. Kepolisian harus mengevaluasi diri, melakukan audit kinerja dan mengimplementasikan perkap HAM 8 tahun 2009.

Di sisi lain, kata dia, pendidikan polisi harusnya didesain lebih sipil dan profesional. “Selama masih mempertahankan mindset militerisme kejadian ini pasti akan terus berulang," kata Fachrizal.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN POLISI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz