tirto.id - Masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin genap dua tahun pada Rabu, 20 Oktober 2021. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pun mengadakan survei untuk menilai kondisi politik nasional dalam dua tahun kepemimpinan Jokowi.
Dalam survei yang melibatkan 1.220 responden dan dalam rentang waktu 15-21 September 2021, sebanyak 26,8 persen masyarakat menilai kondisi politik nasional baik atau sangat baik. Sementara yang menilai buruk atau sangat buruk 24,4 persen, dan ada 37,1 persen yang menilai sedang saja. Masih ada 11,7 persen yang menjawab tidak tahu.
“Kondisi politik dinilai memburuk dalam dua tahun terakhir,” ujar Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas dalam konferensi pers daring, Selasa (19/10/2021).
Kondisi tersebut berdasarkan tren yang terjadi selama September 2019 hingga September 2021. Terjadi penurunan dari 41 persen menjadi 26,8 persen untuk penilaian kondisi politik baik atau sangat baik. Sementara yang menilai buruk atau sangat buruk naik dari 14,5 persen menjadi 24,4 persen.
Namun penilaian masyarakat terhadap kondisi keamanan dalam dua tahun terakhir relatif stabil. Sebanyak 61,3 persen menilai baik atau sangat baik atau lebih stabil disbanding September 2019 dengan 60,4 persen; sebanyak 11,8 persen menilai buruk atau sangat buruk. Ada 24,2 persen yang menilai kondisi keamanan sedang saja. Dan masih ada 2,7 persen yang tidak memberikan jawaban.
Dari segi penegakan hukum, terjadi penilaian warga sebesar 44,8 persen menyatakan baik atau sangat baik. Dan 24,8 persen menyatakan buruk atau sangat buruk. Ada 27,2 persen yang menilai sedang saja. Yang tidak tahu atau tidak menjawab sebesar 3,1 persen.
Meski begitu, dalam tren selama dua tahun terjadi persepsi publik yang memburuk. Terjadi penurunan, jika pada September 2019 sebesar 15,1 persen yang menilai buruk atau sangat buruk, lantas naik menjadi 24,8 persen pada survei September 2021.
“Persepsi atas kondisi penegakan hukum memburuk di masa Covid-19 ini dan belum kembali pulih ke masa sebelum pandemi,” ujar Abbas.
Dalam segi pemberantasan korupsi, 48,2 persen masyarakat menilai Jokowi bersikap buruk atau sangat buruk. Sementara yang menilai kondisi pemberantasan korupsi sedang saja sebanyak 23,2 persen. Masih ada 3,8 persen yang tidak menjawab atau tidak tahu.
Sementara hanya 24,9 persen masyarakat yang menilai pemberantasan korupsi di Indonesia baik atau sangat baik. Bahkan selama dua tahun terakhir, terjadi tren penurunan.
“Dari April 2019 ke September 2021, yang menilai korupsi di negara kita semakin banyak jumlahnya naik dari 47,6 persen menjadi 49,1 persen, sebaliknya yang menilai korupsi semakin sedikit menurun dari 24,5 persen menjadi 17,1 persen,” ujar Abbas.
Pemberantasan Korupsi Tak Sesuai Janji Pilpres
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemerintahan Jokowi-Maruf Amin tidak bersungguh-sungguh memperbaiki pemberantasan korupsi dalam dua tahun terakhir. ICW menilai mereka justru berbuat sebaliknya; hal yang tak sesuai dengan janji kampanye Jokowi saat Pilpres 2019, menyoal membangun sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya, dan mengedepankan tata kelola pemerintahan yang bersih.
Peneliti ICW Lalola Easter menilai stagnansi pemberantasan korupsi dalam dua tahun masa kepemimpinan Jokowi dapat dilihat dari polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) KPK; mana menjadi babak terusan dari revisi UU KPK yang juga menimbulkan pro-kontra sebelumnya.
Menurut ICW, TWK adalah babak akhir pelemahan pemberantasan korupsi. Jokowi yang diharapkan turun gunung menyelesaikan polemik TWK justru diam hingga sekarang. Hal ini memberi kesan, Jokowi merestui TWK.
“Konsekuensi TWK KPK jelas, berbagai kasus korupsi besar yang sedang ditangani oleh sebagian dari 58 pegawai KPK yang dipecat mandeg, berhenti di aktor lapangan yang telah tertangkap,” ujar Lalola dalam konferensi pers daring, Selasa (19/10/2021).
Bahkan beberapa kasus korupsi terkesan ditindak secara main-maiin, semisal kasus yang melibatkan eks Mensos Juliari Batubara dalam perkara korupsi bantuan sosial Covid-19. Kasus tersebut tidak sampai menguak keterkaitan nama-nama lain yang sempat disebut-sebut dan diduga terlibat seperti dua politikus PDIP Ihsan Yunus dan Herman Hery.
Semangat pemberantasan korupsi semakin memudar ketika wacana remisi untuk koruptor bergejolak. Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, remisi bagi korupsi hanya berlaku untuk dua kategori, yakni justice collaborator dan narapidana yang telah membayar lunas denda dan uang pengganti kerugian negara.
Wacana tersebut menyeruak saat terpidana penyuapan hakim, Otto Cornelis Kaligis, mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 14 huruf (i) UU Pemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun permohonan ditolak hakim dan pembatasan pemberian remisi tidak dihapuskan. Namun dalam pertimbangan hakim menilai pemberian syarat khusus terkait remisi bagi kejahatan korupsi tidak berorientasi pada konsep restorative justice dalam pembaharuan arah pemidanaan.
ICW menilai pertimbangan MK tersebut berbahaya. “Sebab membuka ruang bebas tafsir bilamana hal tersebut dijadikan dasar untuk menghapus kewenangan dalam pengetatan pemberian remisi koruptor dalam PP 99/2012. Hal ini semakin mengkhawatirkan setelah DPR dan Pemerintah telah sepakat untuk memasukkan UU Pemasyarakatan dalam program legislasi nasional tahun 2021,” ujar Lalola.
Selain itu, dalam dua tahun masa pemerintahan Jokowi-Maruf Amin mengalami tata kelola penegakan hukum yang buruk. Hal tersebut tercoreng oleh perkara Djoko Tjandra, yang sempat menjadi buronan, namun bermasalah pada pertengahan Juni 2020.
Djoko Tjandra sebagai buronan ketika itu bisa masuk bebas ke Indonesia setelah bekerja sama dengan aparat penegak hukum; mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pegawai administratif di Jakarta.
Ia juga dibantu oleh Kepala Biro Pengawasan PPNS Polri, Brigjen Prasetijo Utomo dan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dengan menghapus data red notice Djoko Tjandra.
Bagi ICW, hal tersebut menunjukkan integritas Polri perlu dievaluasi dan diperbaiki secara lebih lanjut.
“Kejaksaan Agung juga menjadi pusat skandal Joker. Jaksa Pinangki Sirna Malasari membantu Djoko dengan menawarkan action plan permohonan fatwa dari Kejaksaan Agung ke Mahkamah Agung agar buronan itu tidak bisa dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan,” tukasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz