Menuju konten utama
Kabinet Indonesia Maju

Kasus Zulhas & Risiko Jokowi Pilih Politikus jadi Menteri Ekonomi

Penerapan pakta integritas dinilai sebagai solusi tepat agar kasus Zulhas tidak terulang. Para politikus yang jadi pejabat publik harus memahaminya.

Kasus Zulhas & Risiko Jokowi Pilih Politikus jadi Menteri Ekonomi
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menunjukkan minyak goreng saat meninjau bahan pokok dan minyak goreng di Pasar Ciracas, Jakarta, Selasa (5/7/2022).ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.

tirto.id - “Tapi nanti milih Putri ya? Ya.”

Begitulah fragmen ujaran Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan atau Zulhas saat meninjau kegiatan pasar minyak goreng murah yang digelar Partai Amanat Nasional (PAN) di Lampung, Sabtu (9/7/2022). Dalam video yang diunggah akun Instagram @Majeliskopi08 itu, Zulhas, menjual minyak goreng murah dua liter dengan harga Rp10 ribu saja. Kata Putri dalam video tersebut mengarah pada Putri Zulya Savitri, anak Zulhas.

Sontak, PAN langsung mengklarifikasi tentang video yang ramai tersebut. Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Daulay memandang kegiatan Zulhas di Telukbetung Timur, Bandar Lampung sebagai kegiatan internal partai.

“Karena ini adalah kegiatan partai, pengadaan minyak goreng tersebut dilakukan secara swadaya. Artinya, pengurus partai dan caleg PAN yang membelinya kepada distributor. Lalu, dibagikan kepada masyarakat secara gratis,” kata Saleh dalam rilis tertulis yang diterima Tirto, Selasa (12/7/2022).

Saleh menambahkan, “Jangan malah disalah tafsirkan. Saya melihat, di medsos malah ada yang memahaminya dari sudut yang tidak tepat. Tapi kami percaya, bahwa masyarakat luas mengerti betul apa pesan, semangat, dan tujuan kegiatan tersebut dilaksanakan.”

Saleh Daulay menegaskan bahwa kegiatan Zulhas dengan membagikan “Minyakita” dan berkampanye bukan masalah. Ia justru mendorong partai lain untuk membeli Minyakita dan membagikan kepada masyarakat.

Risiko Menteri Ekonomi dari Parpol

Kasus penyalahgunaan jabatan bukan kali pertama dilakukan menteri urusan ekonomi di kabinet Jokowi. Pada 2021, Airlangga Hartarto yang menjabat Menko Perekonomian juga pernah melakukannya. Airlangga selaku Ketua Umum Partai Golkar menggelar vaksinasi dengan membentuk Yellow Clinic Partai Golkar. Airlangga, yang menjadi Ketua Komite Percepatan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) menuturkan Golkar menggelar vaksinasi demi mendorong upaya herd immunity.

Selain Airlangga dan Zulhas, Menteri BUMN, Erick Tohir juga diduga menggunakan kewenangan dalam pengelolaan BUMN untuk kepentingkan “kampanye.” Hal itu terlihat dari berbagai foto maupun pesan yang disampaikan Erick dalam berbagai mesin ATM Bank Himbara maupun di perusahaan pelat merah lainnya.

Peneliti politik dari PRP-BRIN, Wasisto Raharjo Jati memandang, aksi-aksi seperti Zulhas akan berdampak pada Pemilu 2024. Ia khawatir ada ketidakadilan dalam kompetisi pemilu mendatang.

“Tentunya menimbulkan kondisi tidak adil bagi kompetisi pemilu mendatang karena politisi yang memangku jabatan publik lebih diuntungkan karena posisi dan akses sehingga mudah dikenal publik daripada politisi yang belum jadi pejabat,” kata Wasisto saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (13/7/2022).

Wasisto menilai, aksi para pejabat tersebut tidak elok. Ia mengingatkan bahwa pejabat seharusnya bersikap netral dan jauh dari kegiatan bernuansa kepentingan pribadi.

Wasisto menuturkan, alasan para politikus yang menduduki kursi menteri ekonomi berpolitik karena sektor perekonomian kerap berhubungan dengan hajat orang banyak. Sebab, segala kebijakan ekonomi akan berdampak kepada publik dan publik butuh kebijakan itu. Politikus lantas memanfaatkan wewenang tesebut untuk mencari suara.

“Maka di situlah politisi tersebut bisa memanfaatkan faktor ketergantungan struktural itu untuk popularitas,” kata Wasisto.

Karena itu, Wasisto menilai, penerapan pakta integritas adalah solusi agar aksi seperti yang dilakukan Zulhas tidak terulang. Para politikus yang menjadi pejabat publik harus memahaminya.

“Supaya mereka selalu ingat bahwa baju mereka adalah baju pelayan publik,” kata Wasisto.

Sementara itu, pemerhati politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah menilai, langkah Zulhas sebagai aksi yang dilematis. Ia beralasan semua politikus bisa melakukan hal tersebut selama mereka memegang jabatan dan publik hanya bisa mengecam.

“Ini dilematis, satu sisi tidak ada larangan yang dilanggar oleh Zulhas atau Airlangga Hartarto dalam menjalankan aktivitas politiknya, karena dalih sebagai politisi bisa mereka gunakan saat lakukan aksi politik itu," kata Dedi kepada reporter Tirto.

Dedi menambahkan, “Publik hanya dapat mengecam soal etika moral politik semata dan itu pun tidak cukup kuat mengingatkan mereka karena faktanya mereka sedang berkuasa dan punya akses.”

Dedi menilai, tindakan seperti yang dilakukan Zulhas maupun Airlangga merupakan bukti dampak buruk ketua umum parpol jadi menteri strategis, terutama di bidang ekonomi. Akan tetapi, tindakan Zulhas juga tidak serta-merta disalahkan.

“Zulhas belum tentu layak disebut menyalahgunakan kewenangan, jika akses kampanyenya difasilitasi oleh partai, bukan oleh jabatan menteri. Tetapi tindakan Zulhas ini tidak tunggal, sebelumnya sudah ada Airlangga Hartarto, dan semua pejabat publik yang juga ketum parpol akan cenderung seperti itu, karena mereka punya kewajiban konsolidasi politik," tutur Dedi.

Sementara dalam kasus Erick Tohir, Dedi menilai eks Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maruf Amin itu tidak melanggar etika moral. Alasannya, kata Dedi, Erick tidak mewakili afiliasi politik dalam bertindak. Oleh karena itu, wajar jika Erick meminta fotonya dipasang selama itu wilayah kerjanya.

“Tetapi Erick jelas tidak menjalankan visi misi presiden soal efisiensi, menebar fotonya di banyak tempat jelas pemborosan dan tidak miliki relevansi dengan kinerja,” kata Dedi.

Dedi mengatakan, Jokowi sebagai presiden sempat berjanji agar para ketum parpol tidak merangkap jabatan. Akan tetapi, hal tersebut dilanggar Jokowi setelah Golkar masuk. “Dan inilah konsekuensi itu semua, akan lebih baik jika presiden kembali dengan janji itu, meniadakan semua ketum parpol di kementerian," tutur Dedi.

Tak Paham Konflik Kepentingan dan Etika Politik

Dosen Komunikasi Politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo melihat, kegiatan para ketua umum partai yang aktif sebagai menteri di bidang ekonomi sebagai tanda mereka tidak mengerti masalah konflik kepentingan dan tidak paham etika.

“Menurut saya ini bukti bahwa pejabat-pejabat tinggi kita itu tuna etika,” tutur Kunto.

Kunto menilai, aksi para ketum parpol dan politikus bisa mempengaruhi citra presiden. Ia pun menilai Jokowi sudah tepat menegur aksi para menteri yang menggunakan fasilitas untuk kepentingan politik.

“Jadi menurut saya ini sangat bermasalah pada akhrinya karena publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap Pak Jokowi karena pembantu-pembantunya Pak Jokowi seperti itu dan menurut saya Pak Jokowi perlu menegur dengan tegas dan sudah dilakukan kan oleh Pak Jokowi,” kata Kunto.

Kunto pun mengatakan kursi menteri perekonomian memang seksi untuk berupaya meningkatkan elektabilitas. Sebab, isu ekonomi memang menjadi perhatian serta langsung menyasar publik seperti masalah kesulitan pencarian kerja dan kenaikan harga barang.

“Jadi menurut saya itu yang menyebabkan petinggi-petinggi kita, pejabat-pejabat kita di sector ekonomi akhirnya berlomba-lomba untuk memberikan hadiah ke masyarakat karena memang masyarakat membutuhkan itu sehingga mereka berharap itu akan bisa mengambil hati mereka,” kata Kunto.

Akan tetapi, Kunto menilai, publik sudah paham soal politik. Ia yakin, kesadaran masyarakat akan semakin kuat seiring peran serta media, akademisi dan masyarakat sipil dalam mengingatkan kesalahan perilaku pejabat tersebut.

Kunto mengatakan, tindakan Jokowi sudah tepat menegur Zulhas. Akan tetapi, Kunto mendorong agar Jokowi tidak hanya menindak Zulhas, tetapi juga menteri yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan kampanye Pemilu 2024.

“Saya pikir ya terutama menteri-menteri yang kemudian menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan elektoralnya maju ke 2024 juga harus ditegur dengan keras dong, supaya ini tidak menjadi preseden buruk,” kata Kunto.

Kunto menambahkan, “Jangan-jangan nanti kita hanya menonton bagaimana menteri-menteri ini menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi mereka masing-masing. Ini jadi jelek untuk demokrasi kita.”

Baca juga artikel terkait PEJABAT PUBLIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz