tirto.id - Kursi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kosong usai Lili Pintauli Siregar resmi mengundurkan diri sebagai komisioner komisi antirasuh. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 71/P/2022 yang diteken Presiden Joko Widodo.
Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pimpinan KPK yang kosong menjadi wewenang presiden untuk mencari penggantinya. Pasal 33 ayat 1 menyebut, presiden dapat mengajukan calon anggota pengganti pimpinan yang kosong kepada DPR.
“Anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sepanjang masih memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 29,” demikian bunyi Pasal 33 ayat 2 UU 19/2019.
Selain itu, ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 menyatakan pimpinan KPK pengganti akan melanjutkan masa jabatan sisa pimpinan KPK yang kosong.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani meminta pengunduran diri Lili menjadi momentum Jokwi untuk memilih pimpinan berintegitas. Ia menyinggung kasus Lili dan kasus lainnya, yakni pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri yang diduga menerima fasilitas helikopter beberapa waktu lalu.
“KPK juga memiliki catatan integritas pimpinan. Sebut saja Firli dengan gratifikasi helikopter, lalu Lili P Siregar yang namanya terseret dalam kasus Wali Kota Tanjung Balai, sampai bocornya agenda penggeledahan dalam kasus korupsi di Ditjen Pajak," kata Julius dalam keterangan tertulis.
Karena itu, ia berharap, Jokowi bisa memilih pimpinan KPK yang mampu membawa perbaikan kepada lembaga antirasuah. Ia juga meminta DPR melakukan seleksi secara transparan, akuntabel dan mengeliminasi kepentingan politik.
“Presiden Jokowi dan DPR jangan sampai 'kejebur' di lubang yang sama. Calon anggota pengganti yang dipilih harus punya rekam jejak yang jelas di bidang antikorupsi, supaya punya visi dan misi yang jelas saat jadi pimpinan, bukan aji mumpung dan ambil keuntungan dari jabatan,” kata Julius.
Hal senada diungkapkan peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman. Ia mengatakan, kursi kosong yang ditinggalkan Lili Pintauli harus segera diisi. Sebab, kata dia, kursi pimpinan krusial dalam aktivitas keseharian KPK.
“Kenapa itu penting untuk segera? Ya karena memang KPK itu sangat dinamis, setiap hari juga ada kerja-kerja penindakan, misalnya yang itu membutuhkan kehadiran pimpinan KPK secara penuh,” kata Zaenur kepada reporter Tirto, Selasa (12/7/2022).
Zaenur mengatakan, kinerja KPK merupakan kolektif kolegial. Apabila kondisi hanya 4 pimpinan, maka ia khawatir pengambilan keputusan akan terganggu. Di sisi lain, Lili sebagai wakil ketua KPK tentu membidangi isu tertentu di internal KPK.
“LPS ini, kan, menduduki jabatan wakil ketua untuk bidang tertentu. Nah berarti, kan, bidangnya LPS ini sementara kosong. Itu juga menunjukkan sangat pentingnya bagi presiden untuk segera mengirimkan calon pengganti kepada DPR," kata Zaenur.
Meski demikian, Zaenur pesimistis keberadaan pimpinan baru akan membawa perubahan signifikan di KPK. “Kenapa? Karena pertama KPK itu kolektif kolegial. Yang kedua dominasi Ketua KPK Firli Bahuri ini sangat kuat. Ketiga dari sisi waktu juga sisanya sangat sebentar ya, hanya satu setengah tahun gitu ya,” kata Zaenur.
“Jadi ya ini untuk mengisi kekosongan ini, ya hanya menjalankan kewajiban undang-undang dan memang itu butuh agar seperti pengambilan keputusan itu kemudian tidak menjadi deadlock," tutur Zaenur.
Zaenur justru menyarankan agar pemerintah lebih baik merevisi kembali Undang-Undang KPK. Ia beralasan, kondisi KPK memburuk akibat aturan yang ada di UU No. 19 tahun 2019. Ia berharap semangat independensi dalam pemberantasan korupsi dan isu krusial pengembangan KPK bisa kembali hadir di lembaga antirasuah.
Presiden Jokowi pun mengaku akan segera memroses pengganti Lili setelah pengunduran diri dikabulkan per Senin (11/7/2022). “Masih dalam proses untuk pengganti dari Bu Lili Pintauli, masih dalam proses,” kata Jokowi di Subang, Jawa Barat, Selasa (12/7/2022).
“Karena, kan, baru saja surat pemberhentiannya minggu yang lalu sudah saya tandatangani dan ini masih dalam proses untuk penggantiannya," lanjut Jokowi.
Namun Jokowi tidak merinci alasan mundur eks wakil ketua LPSK itu. Mantan Wali Kota Solo ini hanya memastikan bahwa ia akan segera mengirimkan nama pengganti Lili ke DPR. “Kami akan segera mengajukan (pengganti Lili) ke DPR secepatnya," kata Jokowi.
Kasus Gratifikasi Harus Tetap Diusut
Meskipun Lili sudah mundur dan penggantinya sedang diproses, tapi sejumlah pihak masih mendorong agar kasus Lili Pintauli bisa diproses secara hukum.
Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menegaskan bahwa penyelidikan kasus gratifikasi yang dilakukan mantan Komisioner KPK Lili Pintauli harus dilanjutkan. Walaupun Lili saat ini sudah mundur dari jabatannya.
“Kita sepakat pegangan kita adalah konstitusi negara. Kalau konstitusi negara adalah Undang-Undang Dasar 1945, dan negara kita adalah negara hukum. Kalau tindakan melanggar pasal peraturan misalnya pasal korupsi Undang-UndangKkorupsi Nomor 19, itu tindak pidana," kata Bambang Pacul dalam konferensi pers di Gedung DPR RI pada Selasa (12/7/2022).
Pacul menegaskan bahwa kasus Lili mundur tidak berarti kasus yang dilakukan berhenti. Ia mengingatkan ada aturan pidana yang diduga dilanggar sehingga harus diproses secara hukum.
“Mana bisa, teori dasarnya nggak pas bos! Dalam negara hukum tindakan kemudian selesai dengan mengundurkan diri, darimana rumusannya, tolong dong kasih tahu saya!" kata dia mempertanyakan.
Pacul menambahkan, “Tetap hari ini pegangan saya adalah hukum, Pasal 12 tentang gratifikasi. Nanti tinggal dilacak gratifikasinya diterima di awal atau di akhir. Kalau diterima di awal namanya Pasal 12 a, dan kalau diterima di akhir Pasal 12 b.”
Ketua Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Bonyamin Saiman juga mendorong agar kasus Lili tetap diproses secara hukum. Ia mengingatkan bahwa aksi mundur Lili tidak berarti menggugurkan isu pidana dalam kasus dugaan gratifikasi MotoGP.
“Kalau ada dugaan hukum pidana, tidak ada proses batal atau gugur karena hal yang terpisah (dengan pelanggaran etik). Bahwa ini kode etik, ini ruhnya adalah tindak pidana, baik Pasal 36 larangan berkomunikasi dengan pihak yang sedang jadi pasien KPK atau ketentuan suap atau gratifikasi ya itu berdiri sendiri dan bisa diproses hukum," kata Boyamin dalam keterangannya.
Untuk itu, Boyamin mengatakan dugaan gratifikasi tersebut mestinya segera diproses oleh KPK, mengingat lembaga tersebut selama ini bertindak cukup keras terhadap pihak-pihak di luar KPK.
Boyamin juga menegaskan, KPK boleh tidak memproses perkara Lili. Akan tetapi, Kejaksaan Agung dan kepolisian bisa melakukan penyelidikan. “Tapi kan bisa malu kalau yang menangani Kejaksaan Agung ataupun kepolisian," kata Boyamin.
Hal senada diungkapkan Zaenur yang menyatakan kasus Lili seharusnya bisa diproses. “Ini dugaannya sangat kuat gitu ya, apalagi sudah didahului dengan pemeriksaan oleh dewan pengawas gitu, kan. Seharusnya itu ditindaklanjuti oleh KPK, diproses sebagai tindak pidana, dugaan pelanggaran tindak pidana, bukan lagi kasus etik," kata Zaenur.
Akan tetapi, Zaenur pesimistis kasus Lili akan diproses. Hal tersebut terlihat dari kasus Tanjung Balai di masa lalu. Sebagai catatan, Lili pernah kena sidang etik karena berhubungan dengan Wali Kota Tanjung Balai Syahrial, yang notabene pihak berperkara dalam kasus dugaan korupsi.
Namun, kata Zaenur, saat itu Dewas KPK enggan berinisiatif melapor ke polisi, kemudian KPK enggan memproses penyelidikan internal serta kepolisian tidak mau menerima laporan masyarakat sipil atas dugaan gratifikasi.
“Saya juga ragu ya ini akan ditangani meskipun ini seharusnya diproses secara hukum, karena dugaan gratifikasinya itu sangat kuat, bahkan sampai kemudian dewas menyelenggarakan sidang kode etik. Berarti, kan, dewas menemukan bukti-bukti bahwa memang diduga ada penerimaan gratifikasi oleh Lili Pintauli Siregar," kata Zaenur.
Namun, kata Zaenur, “Sekali lagi saya tidak optimis ya bahwa itu bisa diproses baik oleh KPK maupun oleh kepolisian.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz