tirto.id - Pemerintah telah menyerahkan draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke Komisi III DPR. Sayangnya, meski draf RKUHP sudah bisa diakses publik, tapi legislatif dan eksekutif hanya membatasi pembahasan pada 14 pasal yang dianggap krusial.
“Kesimpulan dalam rapat antara Komisi III dan pemerintah bahwa RKUHP telah kami serahkan kepada DPR. Kedua, Komisi III dalam hal ini fraksi-fraksi akan melihat hasil naskah yang telah disempurnakan oleh pemerintah. Ketiga, pemerintah dan DPR akan melihat pasal-pasal khususnya isu krusial khususnya yang menjadi kontroversi,” kata Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej usai menyerahkan draf.
Draf RKUHP terbaru per 4 Juli 2022 masih memuat pasal penghinaan presiden yang memuat polemik. Poin ini masuk dalam daftar 14 poin yang akan dibahas di DPR. Hal ini diatur dalam beberapa pasal di Bab 2 RKUHP, yakni Pasal 217, Pasal 218, dan Pasal 219.
Sementara Pasal 220 menyatakan bahwa penerapan Pasal 218 dan 219 hanya dituntut berdasarkan aduan dan dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.
Selain itu, RKUHP menjelaskan soal definisi frasa 'untuk kepentingan umum' yaitu melindungi kepentingan publik yang diungkapkan lewat hak berekspresi atau berdemokrasi dengan contoh kritik. Pemerintah juga mendefinisikan kritik yaitu penyampaian pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk kebijakan tersebut.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menilai, pendefinisian penghinaan presiden dalam pasal-pasal tersebut, terutama Pasal 218 menandakan pembuat undang-undang tidak memahami kritik dan suara rakyat. Ia mengingatkan kritik tidak serta-merta harus dengan saran atau perbaikan.
“Kritik itu tidak mempersyaratkan adanya saran atau perbaikan. Dia kadang hanya mengecam. Kecaman kemudian dalam seni bahkan misalnya, bisa jadi dia sangat bersifat abstrak, mural, hanya sebuah gambar, menganalogikan dengan sesuatu. Itu kritik dan tidak perlu kemudian ada perbaikan, kemudian ada referensi dan lain-lain," kata Isnur kepada reporter Tirto.
Isnur mengingatkan publik bisa mengomentari banyak hal, entah baik atau buruk. Mantan Kadiv Advokasi YLBHI ini juga mengingatkan, kritik bisa saja kecaman maupun penilaian. Apabila pemerintah membuat definisi, Isnur menilai, pemerintah mempersempit makna, mengecilkan ruang partisipasi publik dalam berbagai bentuk.
Apabila harus dengan saran dan diikuti referensi, Isnur sebut, hal tersebut adalah tulisan ilmiah berbentuk skripsi, thesis maupun disertasi. “Jadi pemerintah mungkin akan bilang yang selamat dari pemenjaraan adalah hanya orang-orang yang menggunakan cara-cara akademik, cara-cara penulisan ilmiah untuk melakukan kiritik. Selebihnya akan dipenjara semua," kata Isnur.
“Jadi ini sebenarnya ciri atau gambaran dari watak otoritarian, ciri atau gambaran dari antidemokrasi, ciri atau watak dari pemerintah atau pembuat undang-undang yang otoriter,” tegas Isnur.
Isnur menilai situasi ini akan mengganggu kebebasan berekspresi dan melanggar konstitusi. Warga takut berekspresi karena mudahnya upaya untuk memidanakan rakyat dan potensi kriminalisasi pada kelompok kritis. Hal itu juga mengarah kepada jurnalis yang kerap mengkritik kebijakan publik.
Oleh karena itu, Isnur menyarankan agar pemerintah menghapus pasal penghinaan presiden demi kepentingan bangsa. “Ini [pasal penghinaan presiden] jelas sangat mengancam demokrasi kita, dan sangat tidak sesuai konteks demokrasi serta konstitusi yang kita miliki sekarang. Jadi hapus pasal-pasalnya dan hilangkan pasal-pasal yang berbahaya seperti ini," kata Isnur.
Sementara itu, peneliti Elsam Parasurama Pamungkas menilai, pasal penghinaan presiden terutama Pasal 218 adalah pasal kolonial. Ia beralasan, pasal ini berangkat dari nuansa "Koning of der Koningin” atau penghinaan pada raja, bukan untuk kepala pemerintahan.
“Pemerintah keliru jika membandingkan diri dengan sistem monarki, sebab bagi Indonesia tidaklah relevan,” kata Parasurama saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (9/7/2022).
Ia mengingatkan, keberadaan Pasal 218 menandakan ada perbedaan hukum antara presiden/wakil presiden dengan warga negara. Hal itu, kata Parasurama, bertentangan dengan konstitusi. “Pun penghinaan ini dilihat sebagai mala in se, semestinya tidak membedakan objeknya presiden atau bukan. Sehingga lebih baik pasal ini dihapus saja,” kata Parasurama.
Parasurama menuturkan, pasal-pasal penghinaan baik terhadap presiden maupun kekuasaan umum akan mengancam kebebasan berekspresi kendatipun terdapat pengetatan di sana sini. Ia juga mengingatkan bahwa karakter pasal penghinaan presiden sangat subjektif.
Menurut dia, penjelasan definisi kritik dalam RKUHP justru tidak menyelesaikan persoalan. Ia beralasan tafsir atas pengertian kritik dalam perumusan maupun pelaksanaannya nanti akan bergantung pada perspektif negara. “Maka yang lebih penting justru menghapus pasal tersebut," kata Parasurama.
Jika pemerintah memaksa pasal tersebut tetap ada, maka Parasurama menyarankan pemerintah mengatur sesuai Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang dipegang PBB.
“Pemerintah harus mempertimbangkan Pasal 19 ICCPR untuk tidak melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah termasuk untuk ekspresi kritis terhadap presiden dan lembaga negara," kata Parasurama.
Penjelasan Kemenkumham
Anggota Tim Sosialisasi RKUHP Kemenkumham, Albert Aries mengatakan, pemerintah memasukkan definisi kritik dalam Pasal 218 KUHP sebagai upaya pembeda perbuatan yang dinyatakan kritik dan perbuatan merendahkan atau merusak nama baik dan harga diri presiden dan wakil presiden.
“Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kritik yang ditujukan terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden adalah tidak dapat dipidana dengan Pasal 218 RKUHP ini," kata Aries kepada reporter Tirto, Jumat (8/7/2022).
Aires menambahkan, frasa “sedapat mungkin memberikan solusi” dalam penjelasan tersebut bukan berarti kritik tanpa solusi dapat dipidana dengan Pasal 218 RKUHP. Ia beralasan, rumusan penjelasan pasal tersebut tidak bisa memperluas atau mempersempit unsur pokok (bestandeel) dari Pasal 218 RKUHP, yaitu “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden.”
“Dengan adanya alasan penghapus pidana khusus dalam Pasal 218 ayat 2 yaitu bukan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden jika dilakukan untuk membela diri atau kepentingan umum adalah bukti bahwa Pasal 218 RKUHP ini demokratis dan tidak otoriter," kata Aries.
Aries juga menegaskan Pasal 218 RKUHP berbeda dengan Pasal 134 KUHP dan membawa semangat dekolonialisasi dan semangat demokratisasi. Ia beralasan, Pasal 218 di RKUHP terbaru ini pengaturannya dibuat sebagai jenis delik aduan (klacht delicten). Dengan kata lain, hanya presiden yang punya legal standing untuk mengadu, sehingga simpatisan atau pihak ketiga manapun juga tidak bisa melaporkan adanya penghinaan terhadap presiden ke polisi.
Selain itu, ancaman saksi pidananya di bawah 5 tahun sehingga tidak dapat dilakukan penahanan, serta sanksinya tidak harus penjara, tapi bisa didenda, kata Aries.
Di saat yang sama, pemerintah juga sudah menyinkronkan ketentuan pasal tersebut dengan ketentuan ICCPR yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 28 J ayat 2. Ia mengingatkan bahwa petikan Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 menyatakan setiap orang tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
“Sederhananya, perlindungan hukum pidana atas harkat dan martabat presiden memang dilakukan untuk membedakan diri presiden dengan warga negara biasa, karena sebenarnya dengan atau tanpa adanya pasal ini presiden tetap bisa mengadu dengan pasal penghinaan biasa, bedanya dalam pasal 218 RKUHP sanksi pidananya diperberat untuk membedakan perlakuannya sebagaimana pengaturan pasal-pasal lainnya," kata Aries.
Aries juga merespons soal penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga umum yang ramai dibicarakan sesuai Pasal 240 RKUHP. Ia sebut, Pasal 240 RKUHP mengubah Pasal 154 KUHP yang tadinya delik abstrak menjadi delik konkret. Dengan demikian, semangat kolonial Pasal 154 KUHP berubah. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa semangat dekolonialisasi dalam RKUHP sangat jelas.
“Pasal 240 RKUHP justru mengubah Pasal 154 KUHP yang bersifat “delik abstrak” menjadi “delik konkret”, sehingga delik abstrak yang tadinya berpotensi menimbulkan keadaan bahaya terhadap ketertiban umum dirumuskan menjadi delik yang sudah harus terjadi akibatnya, baru dapat dipidana menurut pasal 240 RKUHP ini," kata Aries.
“Selain itu, ciri pasal kolonial biasanya selalu berbentuk ‘delik biasa’ (semua orang bisa melaporkan), sedangkan dalam Pasal 218 RKUHP tentang penyerangan harkat dan martabat diri presiden terhadap presiden atau Pasal 351 RKUHP tentang penghinaan terhadap lembaga umum jenisnya ‘delik aduan’ (hanya pengadu sebagai orang yang dirugikan langsung yang berhak membuat pengaduan)," tegas Aries.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz