tirto.id - Lembaga Indikator Politik Indonesia merilis survei terbaru terkait elektabilitas figur potensial capres di Pilpres 2024 pada Minggu (9/1/2022). Pada simulasi 19 nama, Prabowo Subianto berada di posisi teratas. Urutan kedua ditempati Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Anies Baswedan.
Elektabilitas Prabowo berada di angka 24,1 persen, Ganjar (20,8 persen) dan Anies (15,1 persen). Di bawahnya ada Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY 6,8 persen, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil 5,5 persen, Sandiaga Salahuddin Uno 3,9 persen, dan Tri Rismaharini 3,2 persen. Sementara nama calon potensial lain masih berada di bawah 2 persen.
Namun demikian, berdasarkan survei yang sama, siapapun kandidat Capres 2024, baik Prabowo, Ganjar, atau Anies; elektabilitas mereka—meski mereka kerap merajai survei—bergantung kepada pendampingnya. Para kandidat capres memiliki waktu kurang lebih 2 tahun untuk menentukan pasangan.
“Calon-calon presiden membutuhkan pendamping yang bisa menambah atau menaikkan elektablitas mereka,” ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam pemaparan hasil survei Pemulihan Ekonomi Pasca COVID-19, Pandemic Fatigue dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu 2024 di Jakarta, Minggu (9/1/2022).
Burhan menambahkan, “Siapa di posisi calon wakil sangat menentukan.”
Posisi Cawapres Sangat Penting
Pengamat politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi menilai, posisi cawapres sangat penting dalam kancah pertarungan Pilpres. Ia bukan sekadar untuk melengkapi posisi capres. Terlebih lagi jika kandidat cawapres memiliki basis pendukung yang konkret.
“Dalam kontestasi Pemilu tahun 2024 mendatang, cawapres dan capres sebenarnya memiliki posisi yang hampir sama,” kata Asrinaldi saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (11/1/2022).
Basis massa pendukung akan menjadi indikator penentu dari terbentuknya pasangan capres dan cawapres. Keduanya akan saling mengisi satu sama lain, untuk mengukur asas perolehan suara elektoral, kata dia.
“Dapat dikatakan posisi cawapres jelas akan meningkatkan elektabilitas capres,” kata Asrinaldi.
Dalam konteks politik di Indonesia, selama ini posisi cawapres hanya dipersepsikan untuk mendongkrak elektabilitas capres semata. Peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati menilai, cawapres hanya sarana komplementer politik.
“Merujuk pada saling tukar menukar kepentingan politik, terlebih lagi bila capresnya itu bukan sosok populer di segmen kelompok pemilih tertentu sehingga diangkatlah cawapres dari segmen tersebut,” ujar Wasisto kepada reporter Tirto, Selasa (11/1/2022).
Keadaan seperti ini membuat bursa cawapres menjadi tak semenarik bursa capres. Sebab fungsi cawapres secara simbolik hanya menjalankan tugas fungsi residu dari presiden, kata Wasisto.
Meski demikian, posisi cawapres tetap penting. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, cawapres masih menjadi alat katrol suara yang signifikan terutama untuk Pilpres 2024.
“Karena tidak ada inkumben maka sumbangan suara cawapres pada pemenangan sangat signifikan,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Terkait cawapres ini, Indikator Politik Indonesia melakukan simulasi dengan melibatkan 2020 responden dengan sampel basis sebanyak 1220 orang di 34 provinsi, serta penambahan 800 responden di Jawa Timur. Muncul nama Anies Baswedan sebagai figur paling pantas sebagai cawapres, dengan perolehan 9,4 persen. Secara berurutan ada Sandiaga Uno (8,7 persen); Ganjar Pranowo (8,4 persen); Agus Harimurti Yudhoyono (4,6 persen); Ridwan Kamil (4,5 persen); Prabowo Subianto (3,5 persen); Erick Thorir (3,1 persen); Airlangga Hartatro (2,9 persen); Tri Rismaharini (2,1 persen); Puan Maharani (1,9 persen); dst.
Bahkan dalam simulai 30 nama cawapres, nama Anies masih paling teratas dan dianggap publik pantas menjadi cawapres dengan 14,7 persen. Secara berurutan ada Sandiaga Uno 12,4 persen; Ganjar Pranowo 10,4 persen; Ridwan Kamil 7,3 persen; Agus Harimurti Yudhoyono 7,0 persen; Prabowo Subianto 5,3 persen; Erick Thorir 4,3 persen; Airlangga Hartarto 4,0 persen; Tri Rismaharini 3,0 persen; Khofifah Indar Parawansa 2,7 persen; dst.
Namun dalam simulai 12 nama cawapres (tidak menyertakan nama Anies, Prabowo, dan Ganjar), nama Sandiaga Uno tertinggi dengan 25,0 persen; Ridwan Kamil 15,3 persen; Agus Harimurto Yudhoyono 12,0 persen; Erick Thorir 7,9 persen; Airlangga 7,3 persen; Khofifah 6,3 persen; Puan Maharani 2,9 persen; Mahfud MD 2,1 persen; Bambang Soesatyo 0,8 persen; Muhaimin Iskandar 0,6 persen; dst.
Faktor Politik Identitas
Iklim politik di Indonesia yang tak lepas dari pengaruh politik identitas, terlebih setelah menguat dalam Pilpres 2019, menjadi sebab kuat cawapres hanya sebagai alat dongkrak suara bagi capres.
Adakalanya setiap kandidat capres tidak mampu mendulang suara bagus di setiap wilayah. Tentu strategi terbaik agar tidak kalah, dengan menggandeng cawapres yang merepresentasikan wilayah tersebut. Itu cara paling logis, kata Wasisto.
“Hal itu juga bagian dari upaya mereduksi margin perolehan suara dari rival,” kata Wasisto menambahkan.
Sayangnya iklim politik di Indonesia untuk Pilpres 2024 terprediksi belum berubah dengan Pilpres 2019. Terlebih lagi penyelenggaraan pilpres akan berkelindan dengan Pilkada 2024, kata Asrinaldi. Tokoh-tokoh lokal juga akan ikut menyemarakkan kompetisi elektoral tersebut.
“Dalam konteks pilkada serentak ini tentu isu-isu politik identitas akan menonjol menyertai pilpres mendatang,” ujar Asrinaldi.
Meski bursa cawapres masih berada dalam bayang politik identitas, kata Mardani, tatap saja kualitas seseorang menjadi cawapres akan menjadi faktor lain untuk menentukan kemenangan.
“Cawapres akan lebih dilihat dari kualitas dan integritasnya. Berintegritas. Berani mendobrak banyak budaya dan aturan main yang membuat Indonesia tidak maju,” ujar Mardani.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz