tirto.id - Survei terbaru Bloomberg menyebutkan Sri Lanka berada di tengah krisis ekonomi terburuk yang pernah ada. Negara itu memiliki kemungkinan 85 persen jatuh ke dalam resesi. Sementara Indonesia memiliki probabilitas resesi sebesar 3 persen berada di urutan 14 dari 15 negara Asia yang disurvei.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, situasi di Indonesia jauh lebih aman dibandingkan dengan Sri Lanka. Hal ini bisa dilihat dari berbagai indikator perekonomian yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi yang relatif stabil.
"Itu menggambarkan dari indikator neraca pembayaran kita, APBN, ketahanan dari GDP kita, dan juga dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga kita memiliki policy. Kita relative dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya tiga persen," kata dia di Nusa Dua, Bali ditulis Jumat (15/7/2022).
Posisi PDB Indonesia per 2021 sebesar Rp16.970,8 triliun sedangkan Sri Lanka Rp1,26 triliun. Adapun PDB per kapita pada tahun kemarin untuk Indonesia Rp62,2 juta dibandingkan Sri Lanka Rp56,2 triliun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 3,69 persen sedangkan Sri Lanka 3,70 persen di 2021.
Tingkat inflasi di Indonesia 3,6 persen (yoy) pada Juni 2022 sementara Sri Lanka mencapai 54,6 persen (yoy). Defisit fiskal 2022, Indonesia 4,85 persen (yoy) sedangkan Sri Lanka 8,8 persen (yoy), cadangan devisa Rp1.946,2 triliun milik Indonesia berbanding Sri Lanka Rp27,5 triliun per Mei 2021.
Sementara jumlah utang Indonesia Rp6.908,8 triliun atau 40,71 persen dari PDB sedangkan Sri Lanka mencapai Rp1.327 triliun atau 104,6 persen PDB pada 2021. Untuk jumlah utang luar negerinya tercatat Rp2.075,2 triliun bagi Indonesia dan Rp490 triliun bagi Sri Lanka.
Kemudian depresiasi mata uang terhadap dolar Amerika Serikat (AS) adalah 4,14 persen (ytd) bagi Indonesia dan 44,3 persen (ytd) bagi Sri Lanka. Lalu peringkat utang Sri Lanka adalah selective default dari S&P dan restricted default dari Fitch, sedangkan Indonesia berada di BBB (investment grade).
"Ini tidak berarti kita terlena, kita tetap waspada namun pesannya adalah kita tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan kita, dan apakah itu fiscal policy, moneter policy di OJK di financial sektor dan juga regulasi yang lain untuk memonitor itu terutama regulasi eksposur dari korporasi Indonesia," pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang