Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Polemik Aturan Kampanye di Lembaga Pendidikan & Rumah Ibadah

Perludem menilai pernyataan Ketua KPU yang membolehkan kampanye di kampus dan pesantren tidak sesuai dengan UU Pemilu.

Polemik Aturan Kampanye di Lembaga Pendidikan & Rumah Ibadah
Ilustrasi parpol. ANTARA/Mohammad Ayudha

tirto.id - Pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari terkait kandidat legislatif, kepala daerah hingga calon presiden boleh kampanye di lembaga pendidikan dan tempat ibadah menuai polemik. Hasyim berdalih, yang tidak diperbolehkan adalah menggunakan sarana dan prasarana kampus, pesantren dan tempat ibadah, tapi tidak ada larangan kampanye.

“Ingat ada catatannya, jadi Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 Pasal 280 ayat 1 huruf h yaitu larangan, pelaksana peserta dan tim kampanye untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, tempat pendidikan, sehingga yang dilarang itu fasilitasnya, bukan kampanyenya,” kata Hasyim di Gedung KPU RI, Senin (25/7/2022).

Dengan kata lain, partai politik atau kandidat yang maju pada Pemilu 2024 harus menyiapkan alat kampanye mereka sendiri. Mereka tidak diperkenankan memakai alat atau fasilitas di tempat pendidikan maupun tempat ibadah. Kampanye pun boleh dilakukan oleh individu atau lewat anggota tim kampanye.

“Penjelasannya disebutkan dalam pasal ini harus atas undangan dari tempat penyelenggara, semisal itu di kampus harus dari undangan rektor, atau pimpinan lembaga," jelasnya.

Selain itu, Hasyim meminta lembaga pendidikan bersikap adil kepada setiap kandidat, sehingga keterbukaan sangat dijunjung dalam prinsip ini. Semua kandidat memiliki hak yang sama untuk berkampanye.

“Kalau capres ada dua, ya diberikan kesempatan untuk semua. Kalau capresnya ada tiga, ya diberikan kesempatan untuk ketiganya, bahkan kalau partainya ada 16, berikan kesempatan kepada mereka semua. Perkara kesempatannya mau diambil atau tidak, itu terserah kepada setiap calon,” kata dia.

Akan tetapi, Hasyim menegaskan, kewenangan pembolehan kampanye atau tidak ada pada instansi pendidikan maupun tempat ibadah. Ia menilai ketentuan kampanye dan protokol juga diserahkan kepada instansi tersebut.

Sebaliknya, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Bawaslu, Puadi mengingatkan, kampanye di tempat ibadah dan lembaga pendidikan tidak diperbolehkan. Namun, aturan ini berlaku bila sudah ada penetapan peserta pemilu oleh KPU.

“Larangan kampanye di tempat ibadah dan tempat pendidikan mulai berlaku setelah ada penetapan peserta pemilu oleh KPU," kata Puadi dalam rilis tertulis.

Ia beralasan, kegiatan politik yang bisa ditindak hanya saat kampanye dengan status penetapan dari KPU. “Bagaimana misal jika ada seseorang atau partai politik melakukan kegiatan politik di kampus atau di masjid sebelum ada penetapan peserta? Maka secara hukum kegiatan politik tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kampanye pemilu,” kata dia.

Puadi menyampaikan bahwa apa yang diungkapkan berdasarkan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 tentang Pemilu, terdapat larangan melakukan kegiatan kampanye di tempat ibadah atau tempat pendidikan.

“Jika larangan itu dilanggar, maka terdapat ancaman pidana paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 24 juta," terangnya.

Puadi mengatakan bahwa penetapan peserta partai politik berlangsung pada 14 Desember 2022, sementara peserta pemilu legislatif dan eksekutif pada 23 November 2023. Hal itu sesuai Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2022.

Ia pun mengingatkan bahwa tidak semua tindakan pelanggaran kampanye ditangani Bawaslu. Sebagai contoh, dosen berstatus aparatur sipil negara akan ditindak Komisi Aparatur Sipil Negara, bukan Bawaslu.

Respons Parpol

Sejumlah parpol pun merespons polemik kampanye di lembaga pendidikan dan rumah ibadah secara beragam. Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi misal, sepakat dengan pandangan KPU. Ia menilai kampanye di tempat ibadah dan pendidikan bisa dilakukan.

“Pasal tersebut melarang bagi pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan, tetapi tidak melarang berkampanye," kata Viva dalam rilis tertulis.

Viva mengingatkan kampanye di kampus dan lembaga diikuti sejumlah syarat. Pertama, setiap kampus dan lembaga pendidikan yang mengundang peserta pemilu harus membuat pakta integritas untuk bertindak adil dan jujur, menjunjung tinggi muruah universitas sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan moralitas akademi, objektif dan inklusif.

Kedua, kata Viva, tujuan peserta pemilu berkampanye di kampus atau lembaga pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi publik agar menjadi pemilih cerdas, tidak skeptis dan golput.

Ia berharap pembolehan kampanye di kampus membuat para peserta memegang erat janji dan komitmen kampanye. Viva juga menilai pelaksanaan kampanye di kampus jadi wadah kritik dan masukan sehingga bisa amanah saat dilantik.

Di sisi lain, kata dia, PAN mulai menganalisa aturan tersebut agar ada evaluasi dan perubahan dalam pandangan demokrasi.

“PAN saat ini sedang mengkaji bahan dan materi kampanye di kampus atau lembaga pendidikan untuk mendekatkan diri dengan basis konstituen dan agar pelembagaan demokrasi semakin berkualitas dengan terwujudnya pemilu yang berintegritas,” kata Viva.

Sementara itu, Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto menyampaikan akan mengikuti setiap aturan yang ditetapkan oleh KPU. Sehingga bila kampanye di kampus diizinkan, maka mereka akan mengikuti.

“PDIP, kita ini sebagai peserta pemilu sehingga kami tunduk pada regulasi yang ditetapkan oleh KPU. Karena selama ini kampus netral, sama seperti TNI dan Polri tidak boleh kampanye, sama juga seperti tempat ibadah. Kami hormati, tapi prinsipnya ikut KPU," kata Hasto.

Kampanye di Lembaga Pendidikan & Rumah Ibadah Tak Boleh?

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhani menegaskan, pandangan boleh kampanye di institusi pendidikan maupun tempat ibadah justru melanggar aturan. Sebab, kata dia, UU Pemilu sudah jelas-jelas mengatur larangan tersebut.

“Menurut saya di tempat ibadah jelas tidak boleh dan ketentuannya saat ini di UU Pemilu juga melarang itu. Larangan kampanye di lembaga pendidikan juga masih sama, dilarang UU Pemilu,” kata Fadli saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/7/2022).

Fadli beranggapan, konsep kampanye kampus bisa menjadi perbincangan yang layak didiskusikan. Ia beralasan, isu tersebut akan membuka ruang perdebatan ide dan program politik secara rasional dan ilmiah. “Tapi problemnya untuk [Pemilu] 2024 itu ngga bisa, karena UU Pemilu melarang kampanye di lembaga pendidikan,” tegas Fadli.

Fadli mengingatkan ada pelanggaran UU Pemilu bila KPU tetap menafsirkan boleh kampanye di lembaga pendidikan, termasuk pesantren dan tempat ibadah. “Ya itu ranah tafsir ya. Sepanjang masih lisan, belum jadi kebijakan. Kalau KPU serius, tuangkan saja di dalam Peraturan KPU soal kampanye,” kata Fadli.

Namun, ia menyarankan agar KPU tetap patuh aturan dengan melarang kampanye dalam kampus. Kalau mau membolehkan itu, maka pemerintah dan DPR perlu merevisi UU Pemilu.

“Tapi kalau ada ruang untuk merevisi UU Pemilu, gagasan kampanye di kampus boleh saja dimasukkan. Tapi tanpa revisi UU Pemilu, itu akan jadi masalah pertentangan regulasi nanti," kata Fadli.

Peneliti KoDe Inisiatif, Ihsan Maulana menilai wacana pembolehan kampanye di lembaga pendidikan maupun di temat ibadah memang menjadi polemik. Jika merujuk pada Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, menyebutkan bahwa larangan kampanye salah satunya dilakukan dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Sanksi yang diberikan bahkan bisa sampai pada diskualifikasi calon.

“Larangan kampanye ini cukup dilematis ya, satu sisi kampus sebagai ruang akademik seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kampanye sebagai sarana pendidikan politik seperti melakukan debat terbuka untuk calon memaparkan visi, misi dan program kerja. Namun di sisi lain, aturan Pasal 280 ayat (1) huruf h sudah secara jelas diatur,” kata Ihsan kepada Tirto.

Jika memang aturan kampanye di kampus akan dilakukan, Ihsan menilai, maka Pasal 280 ayat (1) huruf h harus direvisi. Sebab, kampanye di kampus sudah pasti menggunakan fasilitas pendidikan yang dilarang, walaupun esensi larangan ini sebetulnya untuk mendorong netralitas kampus.

Namun, kampus juga mestinya bisa menjadi ruang pendidikan politik melalui debat terbuka soal visi, misi dan program kerja calon. “Jika kampanye tidak perbolehkan, apa untuk acara debat untuk pasangan calon boleh diadakan di lingkungan kampus? Debat pasangan calon merupakan bagian dari kampanye yang memang dilarang di Pasal 280 ayat (1) huruf h,” kata Ihsan.

Ia menambahkan, “Artinya perlu ada regulasi dan mekanisme yang jelas bagaimana kampanye di kampus tidak menggunakan fasilitas pendidikan. Jangan sampai, ini membuka ruang permasalahan baru dan bisa berdampak pada meningkatnya pelanggaran kampanye jika tidak disiapkan secara baik di regulasi dan mekanisme teknis.”

Terkait perbedaan pandangan, Ihsan menilai, KPU dan Bawaslu perlu merumuskan bersama bagaimana forum akademik tetap dapat berpartisipasi dalam menyukseskan debat publik. Ia pun menilai situasi pendidikan akan sama dengan tempat ibadah karena satu kesatuan.

Ihsan mendorong agar KPU merumuskan aturan kampanye di tempat pendidikan maupun ibadah. Namun sebaiknya tidak dilakukan jika memicu masalah.

“Idealnya jika akan diperbolehkan, maka regulasi peraturan KPU-nya harus diatur dan menyebutkan bahwa itu boleh dilakukan. Pengaturannya harus jelas, khususnya soal batasan tidak menggunakan fasilitas pendidikan atau tempat ibadah," kata Ihsan.

Namun jika sulit, kata dia, maka sekalian saja dilarang agar tidak menimbulkan perdebatan di ruang publik dan sesama penyelenggara.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz