tirto.id - Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengkritik sejumlah pihak yang masih menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar.
Hal tersebut setelah AZWI mengunjungi pabrik tahu di Tropodo, Sidoarjo, Jawa Tengah yang menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar untuk membuat tahu pada Senin (6/2/2023).
Lalu Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jabon dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Banjarbendo di Sidoarjo yang teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) untuk membuat bahan bakar dari sampah plastik.
Selain itu, AZWI juga mengunjungi pabrik pembuatan biji daur ulang plastik di
Mojokerto, Jawa Timur.
Menurut AZWI, sampah plastik dijadikan bahan bakar dan diolah kembali merupakan solusi palsu dalam menangani sampah di perkotaan.
“Pengolahan sampah secara termal adalah proses pengolahan sampah yang
melibatkan pembakaran bahan yang dapat terbakar yang terkandung dalam sampah
dan/atau menghasilkan energi. Saat ini sampah kita belum terpilah. Siapa yang bisa
menjamin B3, vinyl, PVC, kaca dan aluminium foil ikut dibakar tidak menimbulkan
racun?” kata Anggota AZWI, Hermawan Some di Surabaya, Selasa (7/2/2023).
AZWI merupakan Organisasi yang terdiri dari YPBB, GIDKP, Nexus3 Foundation, PPLH Bali, ECOTON, ICEL, Nol Sampah Surabaya, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi, dan WALHI.
AZWI mengkampanyekan implementasi konsep Zero Waste yang benar dalam rangka
pengarusutamaan melalui berbagai kegiatan, program, dan inisiatif Zero Waste
yang sudah ada untuk diterapkan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, siklus hidup material, dan
ekonomi sirkuler.
Wawan yang merupakan Founder Nol Sampah itu juga menjelaskan, proyek teknologi termal ini sebenarnya sudah banyak yang gagal karena tidak bisa menutupi biaya operasional yang tinggi.
Lalu pada tahun 2019, hasil riset ECOTON dan Nexus 3 Foundation menemukan bahwa sampah plastik meracuni rantai makanan Indonesia.
"Berdasarkan pengamatan mereka, antara 25% - 50% limbah plastik yang diimpor oleh perusahaan daur ulang plastik dan kertas di Indonesia tidak dikelola dengan benar," terangnya.
Zat-zat aditif ini banyak bersifat toksik dan produk-produk dapat melepaskan saat digunakan dan dapat dilepas saat produk dibakar, didaur-ulang, dan
didapat dari produk daur ulang.
“Daur ulang sampah plastik menjadi pelet atau bentuk yang baru justru menimbulkan
masalah yang lebih kompleks. Ketika plastik dilelehkan, dibentuk, dan dipotong
menjadi pelet, ada sisa hasil cacahan tersebut yang disebut mikroplastik," kata Citizen Science Coordinator dari ECOTON, Eka Chlara Budiarti.
Mikroplastik yang tidak kasat mata dapat terhirup maupun terserap ke dalam pori-pori kulit sehingga dapat menumpuk di organ tubuh, bahkan terbawa masuk ke peredaran
darah seperti penelitian sebelumnya yang sudah ditemukan banyak masuk ke dalam
tubuh manusia.
"Selain secara fisik, ada dampak kimiawi yang juga mengancam. Plastik
yang dilelehkan akan merusak struktur polimernya sehingga zat aditif dalam plastik
yang didaur ulang akan mudah terlepas, bahkan bisa membentuk senyawa persisten
yang tentu bahaya jika terserap karena sering terpapar," tuturnya.
AZWI pun telah memberikan rekomendasi tertulis kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait perjanjian global dalam polusi plastik (Global Plastic Treaty).
"Merekomendasikan untuk mendefinisikan dan mengatur terkait transparansi bahan beracun dan berbahaya dalam plastik, mikroplastik, dan nanoplastik serta penghapusan penggunaan bahan beracun dan berbahaya dalam plastik," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri