tirto.id - “Aku punya anjing kecil, kuberi nama Nurdin! Dia senang main korupsi, sambil berlari-lari!”
“Nurdin jancok! Nurdin jancok! Nurdin jancok!”
“Nurdin turun! Revolusi PSSI!”
Nyanyian tersebut bergema saat demonstrasi bertajuk “Revolusi PSSI” di area Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), 23 Februari 2011 silam. Mereka geram karena selama menjabat kurang lebih delapan tahun, Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Nurdin Halid banyak tersangkut skandal korupsi dan prestasi tim senior begitu-begitu saja.
Kasus-kasus yang melibatkan Nurdin yaitu penyelundupan gula impor, korupsi distribusi minyak goreng, dan pelanggaran kepabeanan impor beras dari Vietnam. Dalam kasus gula pada 2004, Nurdin sempat ditahan meski akhirnya divonis bebas. Dalam kasus kepabeanan, Nurdin divonis penjara 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Agustus 2005. Dalam kasus korupsi distribusi minyak goreng Badan Urusan Logistik (Bulog) senilai Rp169 miliar lebih, ia divonis 2 tahun penjara pada 2007.
Meski sejumlah kasus membelit dan hidup dari penjara ke penjara, Nurdin tetap duduk manis sebagai orang nomor satu di federasi sepak bola.
Orang dengan latar belakang inilah yang pada Kamis 11 Februari nanti akan diberi gelar doktor honoris causa (DHC) oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes). Dia akan hadir sebagai “Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia dan Tokoh Industri Olahraga Nasional.”
Dengan latar belakang itu, tak heran penolakan lekas muncul. Bagi Presiden Mahasiswa BEM KM Unnes Wahyu Suryono Pratama, misalnya, pemberian itu hanya “obral gelar kehormatan” yang bermuatan politis. Lewat keterangan tertulis, dia mengatakan Nurdin jelas tak memenuhi kriteria, yaitu “memiliki moral, etika, dan kepribadian yang baik dan berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta mendukung perdamaian dunia.”
Sementara Wakil Koordiantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan Nurdin tak patut mendapatkan gelar karena ia tak pernah berkontribusi atas ilmu pengetahuan atau ikut memberikan sumbangsih dalam mengembangkan sesuatu untuk Unnes maupun Indonesia. Kata Agus, pemberian gelar untuk individu yang tak memberikan kontribusi yang jelas hanya seperti “mendulang air yang akhirnya gemercik ke muka sendiri.”
“Pada akhirnya akan merusak citra universitas itu sendiri. Kan kasihan mahasiswa-mahasiswa dan profesor dan alumnus-alumnus yang ada di kampus itu kalau orang yang tidak punya kontribusi bagi kampus atau kemajuan bangsa kemudian diberikan gelar HC secara cuma-cuma,” kata Agus kepada wartawan Tirto, Senin (8/2/2021) siang. “Apalagi, yang bersangkutan punya citra buruk pernah dipidana korupsi,” tambahnya.
Rektor Unnes Fathur Rokhman menjelaskan Nurdin diberikan gelar tersebut oleh program studi S3 Pendidikan Olahraga karena berjasa dalam bidang keolahragaan Indonesia. “Pertimbangannya sesuai peraturan menteri, akreditasi A prodi pengusul, analisis persyaratan akademik oleh Tim Promotor, Senat Fakultas, dan Senat Unnes,” katanya saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Senin pagi.
Terkait latar belakang Nurdin yang coreng-moreng, Fathur mengatakan: “Persoalan yang terkait politis bukan ranah perguruan tinggi.” Dengan kata lain, Unnes seolah mengabaikan ragam kritik dari banyak pihak. “Aspek karakter dan ketokohan sudah dikaji sebagai bagian dari kajian akademik,” tambahnya.
Wartawan Tirto telah mencoba menghubungi Nurdin lewat sambungan telepon sebanyak tiga kali dan pesan teks WhatsApp. Namun, hingga Senin sore, telepon tidak diangkat dan pesan hanya dibaca centang biru.
Kampus Obral Gelar
Peraturan tentang gelar DHC telah berganti berkali-kali. Pada era Orde Baru, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pedoman Pemberian Gelar Doktor Kehormatan. Setelahnya, ada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 178 Tahun 2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi yang terkait dengan gelar Doktor Kehormatan. Pada 2013, muncul Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan, yang diteken Mohammad Nuh, untuk membatalkan aturan tahun 2001.
Dalam aturan yang terakhir disebut, kampus harus memiliki program doktoral yang bidangnya sama dengan orang yang akan diberikan gelar DHC. Pada Pasal 4, orang yang akan diberi gelar itu harus minimal sarjana, memiliki moral, etika, dan kepribadian yang baik, serta cinta tanah air. Pasal 5 menjelaskan mekanisme pemberian gelar. Salah satunya harus disetujui oleh Direktur Jenderan Pendidikan Tinggi.
Pada 2016, terbit lagi peraturan baru, yaitu Peraturan Menristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, yang diteken oleh Mohamad Nasir. Dalam aturan yang membatalkan aturan 2013 ini, tata cara dan syarat pemberian gelar diserahkan kepada kampus masing-masing. Aturan mengenai persetujuan dari kementerian dihapus. Kementerian hanya berwenang mencabut gelar itu jika terbukti tidak memenuhi syarat.
Dirjen Pendidikan Tinggi Nizam membenarkan skema terbaru yang membuat kampus tak perlu lagi mendapatkan pengesahan dari kementerian tersebut.
Oleh karena merupakan kewenangan kampus, Nizam tak ingin berkomentar banyak soal Nurdin. “Kalau ada aduan dari masyarakat kami follow up dengan pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal,” kata dia, Senin siang. Aduan sejauh ini belum ada.
Setelah skema baru berlaku, beberapa kampus tercatat menganugerahi politikus gelar DHC. Pada 2018 lalu, misalnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mendapat gelar di bidang politik dan pemerintahan dari program studi S3 Ilmu Pemerintahan IPDN Jatinangor yang akreditasinya masih B padahal program studi yang ingin memberikan gelar harus A.
Susi Pudjiastuti juga mendapat gelar di bidang kelautan oleh ITS Surabaya pada 2017 dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mendapat gelar di bidang ilmu sosiologi politik oleh Universitas Airlangga. Keduanya mendapatkan gelar itu pada 2017. Begitu juga dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Februari tahun lalu, giliran Ketua DPR RI Puan Maharani yang mendapat gelar serupa dari Universitas Diponegoro di bidang kebudayaan dan kebijakan pembangunan nasional selama menjabat sebagai Menko PMK 2014-2019.
Sementara Unnes pada November tahun lalu memberikan gelar kepada anggota Dewan Pertimbangan Presiden Lutfi bin Yahya atas kontribusinya dalam bidang komunikasi dakwah dan sejarah kebangsaan. Satu bulan setelahnya, Menko Perekonomian sekaligus Ketua Umum PB Wushu Indonesia Airlangga Hartarto mendapat gelar di bidang yang sama dengan Nurdin: olahraga.
Nama yang disebutkan terakhir dianggap mampu menghasilkan prestasi di bidang olahraga. Dia juga diklaim memiliki dua karya ilmiah yang membahas olahraga dan jadi dasar pemberian gelar: Humanistic Leadership Suitable for Sport Organization: a Literature Review dan Peran Kepemimpinan Humanis dalam Peningkatan Good Governance dalam Organisasi Olahraga: Sebuah Kajian. Dua makalah itu diklaim telah terbit di jurnal internasional dan nasional terakreditasi.
Jika menelusuri Science and Technology Index (SINTA) Indonesia—pencatatan artikel ilmiah di bawah Kementerian Riset dan Teknologi—dan kanal profil di laman Google Cendekia, nama Airlangga, juga Nurdin dan Luthfi, tak pernah tercatat menerbitkan makalah atau karya ilmiah apa pun. Airlangga hanya pernah ikut menulis—bukan penulis tunggal—makalah berjudul A New Method to Empower Organizational Readiness for Change in Indonesia SMEs, namun itu bukan rujukan pemberian penghargaan.
Penasehat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (Kika) Herlambang P. Wiratraman mengatakan kendati pemberian gelar DHC merupakan otonomi kampus, namun mereka harus transparan terhadap kriteria dan lebih berhati-hati. “Obral gelar doktor sangat memengaruhi integritas dan budaya akademik. Ini refleksi bagaimana kampus menghargai dirinya sendiri. Jika tidak, dia [kampus] sedang merobohkan dirinya sendiri,” kata Herlambang saat dihubungi wartawan Tirto, Senin sore.
Herlambang mengatakan orang-orang yang mendapat gelar DHC tak sekadar harus membuktikan kontribusi keilmuan dan keteladanan mereka, tapi melakukan itu dalam ukuran di luar dari kebiasaan (extraordinary). Ia mengambil contoh bagaimana Soekarno dan Nelson Mandela mendapat banyak gelar DHC karena memang kontribusinya atas hak asasi manusia dan pembebasan bangsa begitu kuat.
“Mereka dipenjara bukan karena korupsi, tapi karena memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai universal lainnya,” katanya
Dalam diskusi daring Kekuasaan dan Plagiarisme di Perguruan Tinggi, 4 Februari lalu, ia menduga fenomena pemberian gelar DHC oleh perguruan tinggi kepada para politikus dan pejabat menjadi semacam kegiatan transaksional. Intinya: ada yang diberi, ada yang didapat. “Nulis kagak, berdebat akademik enggak, apalagi ngurus borang. Enggak ada ceritanya ngurus borang pejabat-pejabat itu. Tapi langsung tiba-tiba mendapat gelar kehormatan.”
Penulis: Haris Prabowo & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino