tirto.id - Sukarno menginjakkan bangku kuliah waktu umurnya hampir 20 tahun. Dia termasuk satu dari sebelas mahasiswa pribumi di sekolah tinggi teknik yang kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Kami belajar keras di sekolah. Pekerjaan rumah banyak sekali. Kuliah-kuliah yang diberikan enam hari dalam seminggu, ditambah ujian tertulis setiap triwulan selama sebulan penuh, benar-benar melelahkan,” aku Sukarno dalam autobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007: 63), yang disusun Cindy Adams.
Kuliah itu dilalui Sukarno dengan cukup baik. Saat itu, lima tahun masa studi bukan waktu yang lama.
“Tanggal 25 Mei 1926 aku diwisuda dengan gelar Ingenieur (insinyur). Ijazahku dalam jurusan teknik menyebutkan, aku merupakan spesialis dalam pekerjaan jalan raya dan pengairan” (hlm. 81).
Sukarno mengaku, salah satu dosennya pernah menawarinya jabatan asisten dosen. Sukarno juga sempat terlibat pengerjaan rumah bupati bersama Departemen Pekerjaan Umum. Namun, itu pertama dan terakhir kalinya ia bekerja untuk pemerintah kolonial. Dia lebih suka mengajar di Ksatrian Institut yang didirikan Danudirja Setiabudi alias Douwes Dekker.
Gelar Doktor dari Bekas Almamater
Setelah mendapat gelar insinyur, Sukarno tak pernah melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Hidupnya lebih banyak diisi dengan pergerakan nasional dan pembuangan sebelum 1945. Hampir empat puluh tahun setelah lulus kuliah, pada 13 September 1962, Sukarno mendapat gelar doktor dari bekas almamaternya. Bukan doktor yang kuliah lima tahun dan bikin disertasi, tapi, doktor honoris causa dalam Ilmu Teknik.
“Presiden Sukarno memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari ayahku di ITB,” aku Toeti Heraty dalam Pencarian Belum Selesai: Fragmen Otobiografi Toeti Heraty (2003:66).
Ayah Toeti adalah Ir. Roosseno, yang dikenal sebagai Bapak Beton Indonesia dan pernah jadi menteri Pekerjaan Umum era Sukarno. Roosseno adalah kawan lama Sukarno dan bersama-sama pernah satu kantor di sebuah biro teknik. Pemberian gelar doktor kehormatan di bidang teknik ini dikaitkan pula dengan pembangunan Tugu Monas dan Masjid Istiqlal.
“Jika saya rumuskan jasa-jasa saudara dipandang dari sudut keteknikan, maka saya datang pada beberapa kesimpulan: 1. Saudara sebagai insinyur arsitek telah berjasa dalam begessteren dan menjiwai Korps Insinyur Indonesia untuk berlomba-lomba turut dalam pembangunan negara. 2. Saudara sebagai insinyur arsitek telah berjasa dalam mempelopori dan memimpin realisasi proyek-proyek vital dengan melakukan evaluasi tepat. 3. Saudara sebagai insinyur arsitek telah berjasa dalam perencanaan dan pelaksanaan Tugu Nasional yang sedang dibangun di Lapangan Merdeka di Ibukota. Tugu mana menjadi lambang kemerdekaan kita, yang mengandung pula stempel kepribadian Saudara, akhirnya. 4. Saudara sebagai insinyur arsitek menghidupkan suasana keteknikan modern, dalam mana para teknisi, terutama para insinyur mendapat kesempatan menambah pengetahuan dan pengalamannya dalam persoalan teknis yang baru. Berdasarkan antara lain keempat alasan tadi, maka Rapat Senat Insititut Teknologi Bandung pada 27 Januari 1962 memutuskan memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Teknik kepada Saudara,” kata Roosseno dalam pidato penganugerahan gelar doktor seperti dikutip Roosseno: Jembatan dan Menjembatani (2008: 27-28).
Insinyur Teknik yang Menggondol Banyak Gelar Doktor
ITB tentu bukan satu-satunya kampus yang memberikan Sukarno gelar doktor kehormatan. Sebelumnya, beberapa kampus luar negeri dan dalam negeri juga menganugerahi gelar serupa. Doktor kehormatan dalam ilmu teknik diperolehnya dari Berlin University, Jerman Barat pada 23 Juni 1956 dan dari Budapest University, Hongaria pada 17 April 1960.
Gelar doktor kehormatan yang didapat Sukarno tidak hanya dari bidang teknik. Ia juga memperolehnya untuk bidang hukum, politik, ushuluddin, kemasyarakatan, dan sejarah.
Bidang hukum paling banyak, karena Sukarno dikaitkan dengan Pancasila. Setidaknya gelar doktor kehormatan untuk itu diperoleh dari Far Eastern University, Manila, Filipina (30 Januari 1951); Universitas Gadjah Mada, Indonesia (19 September 1951); Columbia University, Amerika Serikat (24 Mei 1956); Michigan University, Amerika Serikat (27 Mei 1956); McGill University, Kanada (8 Juni 1956); Lomonosov University, Uni Soviet (11 September 1956); Beograd University, Yugoslavia (13 September 1956); Kariova University, Cekoslowakia (23 September 1959); Istanbul University, Turki (27 April 1959); Warsaw University, Polandia (30 April 1959); Brasil University, Brazil (20 Mei 1959); Royal Khmer University, Kamboja (14 Januari 1964); University of the Philippines, Filipina (2 Agustus 1964). Itulah 14 dari 26 gelar doktor kehormatan yang pernah diterimanya.
“Karena itu saya bisa menceritakan bahwa ada perbedaan-perbedaan caranya menganugerahkan gelar doctor honoris causa itu […] Saya sudah mengalami Gadjah Mada, mengalami ITB, mengalami Universitas Indonesia, dan mengalami Universitas Hasanuddin, empat Universitas,” kata Sukarno dengan bangga.
Lepas dari empat kampus negeri itu, dari dalam negeri, kampus swasta milik Muhammadiyah di Jakarta juga pernah menganugerahinya gelar doktor honoris causa untuk bidang ilmu tauhid.
“Tanggal 3 Agustus 1965 jam 10.00 pagi Universitas Muhammadiyah Jakarta memberikan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu Tauhid kepada Presiden Sukarno. Promotornya Dr. Ny. Baroroh Baried, tempat upacara di istana Negara,” tulis Abdul Karim dalam Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, Sahabat Karib Bung Karno (1982: 179). Pemberian gelar itu hampir dua bulan menjelang peristiwa G30S.
“Dari tadi Saudara-saudara melihat saya ini kepanasan. Maklum hawa Jakarta sudah panas, saya hadir di sini dengan memakai jubah kedokteran. Saya bukan saja kepanasan, Saudara-saudara, saya merasa kepanasan sampai, kata orang Jawa, gobyos. Karena kali ini buat pertama kali saya dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa Falsafah Ilmu Tauhid oleh seorang promotor wanita,” tutur Sukarno dalam pidato pengukuhannya yang berjudul "Tauhid Adalah Jiwaku", seperti dimuat dalam Ilmu dan Perjuangan: Kumpulan Pidato Ketika Menerima Gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Dalam Negeri (1984: 99).
Beberapa saat setelah Sukarno dilengserkan, menurut Tamar Jaya dalam Soekarno-Hatta: Persamaan dan Perbedaannya (1981: 183), gelar doktor kehormatan dari Universitas Muhammadiyah Jakarta itu dicabut.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan