Menuju konten utama
12 November 1960

Si Jenius yang Jadi Bumiputera Pertama Bergelar Doktor

Membawa babad
Banten sampai ke Leiden
– doktor pertama.

Si Jenius yang Jadi Bumiputera Pertama Bergelar Doktor
Ilustrasi Hoesein Djajadiningrat. tirto.id/Gery

tirto.id - Di dalam auditorium Universitas Leiden, lelaki bertubuh gempal itu dihantam pertanyaan bertubi-tubi. Di hadapannya, berjejer para hoogeleraar (gurubesar) bertampang dingin yang siap menguji sang promovendus.

Siang itu, 3 Mei 1913, Hoesein Djajadiningrat—demikian nama sang promovendus—berhasil mempertahankan disertasinya. Ia menulis sebuah kajian teks dan historis atas Sadjarah Banten, babad yang mengisahkan riwayat Banten dari zaman kuna. Judul disertasinya: Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Tinjauan Kritis atas Sadjarah Banten).

Di antara barisan penguji ada nama Profesor Johan Hendrik Caspar Kern. Saat itu ia sudah tua dan sebagai akademisi ia sangat disegani. Kern banyak meneliti naskah-naskah berbahasa Jawa kuna dan Sanskerta dari India dan Melayu. Setelah sidang berakhir, Profesor Kern, seperti diungkap Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), memuji disertasi Hoesein sebagai “studi yang sangat mendalam” dan “karya yang sangat bagus”.

Promotor Hoesein adalah Snouck Hurgronje, maestro studi Timur dari Leiden. Orang ini lah yang berjasa mengantarkan Hoesein sampai jenjang akademik paling tinggi. Ia berkenalan dengan Hoesein pada saat putra Bupati Serang itu masih berumur belasan. Snouck ketika itu menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Pribumi dan dekat sekali dengan keluarga Djajadiningrat.

Snouck melihat bakatnya yang cemerlang dan terutama kemampuannya menguasai bahasa-bahasa Timur. Snouck yang memberi rekomendasi untuk Hoesein. Ia kemudian menjadi mentor intelektual bagi Hoesein selama berkuliah di Leiden.

Baca juga:

Anak Bupati yang Cemerlang

Hoesein lahir dari keluarga menak Sunda pada 8 Desember 1886. Bapaknya adalah Bupati Serang yang meninggal pada 1899. Salah satu saudara laki-lakinya, Achmad Djajadiningrat, mewarisi jabatan ayahnya sebagai bupati.

Berbeda dengan abangnya, Hoesein muda rupanya tak begitu tertarik dengan dunia birokrasi. Ia lebih berminat dengan dunia akademis dan memilih melanjutkan sekolah ke Belanda.

Keluarga Djajadiningrat dikenal sebagai bangsawan yang menaruh peduli kepada pendidikan agama. Sebagaimana dikisahkan dalam memoar Achmad, De Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936), hampir semua saudaranya dimasukkan ke pesantren tradisional untuk mendalami agama. Tapi, keluarga itu juga tidak melupakan pendidikan Barat modern.

Hoesein pertama kali menginjakkan kaki di negeri Belanda pada Agustus 1904. Sebelumnya, ia menempuh pendidikan menengah di Batavia dengan pengawasan penuh dari Snouck Hurgronje.

Baca juga: Perpustakaan Leiden, Jendela Indonesia di Belanda

Seperti dikutip Poeze, pada suatu kesempatan, Snouck pernah memberi saran kepada ayahanda Hoesein, “akan ada gunanya kalau Tuan mengirimkan Hoesein ke Negeri Belanda untuk belajar di salah satu fakultas” (hlm. 77). Barangkali pesan itulah yang tetap dipegang sang ayah sampai meninggalnya.

Ketika tiba di Belanda, ia tidak langsung mengikuti perkuliahan. Atas dorongan Snouck, Hoesein mempelajari terlebih dahulu bahasa-bahasa klasik sebagai dasar menguasai bahasa-bahasa Timur.

Setahun kemudian, Hoesein mulai resmi mengikuti kuliah di Jurusan Bahasa-bahasa Timur Universitas Leiden. Ia dikenal sebagai siswa pribumi yang tekun dan menjadi “kesayangan” dosen-dosennya di sana.

Di tahun ke-3, Hoesein mengirimkan sebuah makalah ke lomba penulisan ilmiah yang diselenggarakan kampusnya. Tebalnya mencapai 130 halaman. Ia menang dan mendapat banyak pujian dari para gurunya.

Karya ilmiah Hoesein berjudul “Tinjauan Kritis atas Bahan yang Termuat dalam Karya-karya Melayu tentang Sejarah Kesultanan Aceh.” Sejak menulis makalah itu lah ia mulai tertarik sejarah Aceh. Pada 1934, Hoesein menyusun kamus Aceh-Belanda (Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek) yang terdiri atas dua jilid.

Baca juga: Ketika Serambi Mekkah Diperintah Para Sultanah

Mozaik Hoesein Djajadiningrat

Pada 1908, makalah itu dimuat dalam jurnal bergengsi Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie (BKI). Jurnal ini terkenal dengan proses seleksi yang ketat dan dieditori profesor-profesor indologi terkemuka.

BKI diterbitkan secara berkala oleh KITLV. Lembaga ini adalah institusi penelitian di bawah Universitas Leiden yang mengkhususkan diri pada disiplin antropologi, bahasa, dan geografi.

Hoesein adalah orang Indonesia ketiga yang artikelnya dimuat di BKI. Beberapa tahun sebelumnya, Noto Soeroto menulis tentang wayang dalam jurnal itu. Orang Indonesia pertama yang tulisannya ditayangkan adalah Raden Ajeng Kartini pada 1899. Sayang, ia menulis bukan atas namanya sendiri, tapi menggunakan nama ayahnya.

Baca juga: Dia yang Melampaui Sekaligus Mengagumi Kartini

Setelah lima tahun menempuh pendidikan, Hoesein berhasil lulus ujian doktorandus (setara S1 saat ini) dengan predikat cum laude. Meski sudah memperoleh gelar mentereng, Hoesein tak langsung pulang. Ia melanjutkan studinya ke tingkat doktor.

Ia masuk kembali ke dalam lingkaran akademik Leiden dengan Snouck tetap sebagai mentornya. Dengan penuh ketelatenan dan afeksi, Snouck pelan-pelan membimbing anak Bupati Serang ini sebagai akademisi yang mumpuni.

Bimbingan Snouck akhirnya membuahkan hasil: Hoesein Djajadiningrat berhasil menggondol gelar doktor dengan predikat cum laude. Ia adalah bumiputera pertama yang memperoleh gelar doktor dengan disertasi penuh. Sebelumnya memang ada Abdul Rivai, tapi ia lulus tanpa melalui proses normal seperti Hoesein.

Baca juga: Abdul Rivai, Agen Ganda Pribumi-Belanda

Sepulang dari Belanda, Hoesein mengabdikan diri dalam dunia ilmu pengetahuan dengan terus menulis karya ilmiah sekaligus menjadi pengajar Recht Hoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia. Pada masa pendudukan Jepang, Hoesein diangkat sebagai kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama).

Setelah Indonesia merdeka, Hoesein mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Dia adalah salah satu generasi awal pengajar ketika UI didirikan pada 1950. Mata kuliah Islamologi, yang dibukanya sejak Kampus Kuning itu berdiri, masih diajarkan di Fakultas Ilmu Budaya UI sampai sekarang.

Hoesein meninggal pada 12 November 1960. Hari ini 57 tahun lalu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Humaniora
Reporter: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS