tirto.id - Sejak awal didirikan pada 1496, Kerajaan Aceh Darussalam sudah menganut agama Islam. Raja pertamanya, Ali Mughayat Syah, pun langsung bergelar sultan, gelar untuk menyebut pemimpin pemerintahan muslim. Boleh dibilang, Kesultanan Aceh adalah kerajaan Islam yang sebenar-benarnya.
Ini sedikit berbeda dengan perjalanan sejarah banyak kerajaan lain yang ada di Nusantara. Sebagian besar di antara kerajaan itu awalnya bercorak Hindu atau Buddha, bahkan ada yang masih menganut kepercayaan leluhur, sebelum menjadi kesultanan seiring masuknya ajaran Islam ke Nusantara.
Sedari masa kerajaan hingga kini, Aceh identik sebagai wilayah Islam taat. Maka, tersematlah julukan Serambi Mekkah untuk Aceh. Artinya, Aceh diibaratkan sebagai berandanya Mekkah, kota suci umat Islam, sekaligus sebagai pintu masuk utama ajaran Islam ke gerbang Nusantara yang datang dari Timur Tengah.
Di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam bahkan telah diberlakukan syariat Islam yang diresmikan sejak 2001 silam. Hukum-hukum yang sesuai ajaran Islam pun diterapkan secara ketat di tanah rencong, sampai detik ini.
Di balik kehidupan syariatnya yang sangat kuat, rakyat Aceh ternyata pernah dipimpin oleh raja perempuan atau sultanah. Dan tidak hanya sebentar, namun berlangsung hingga 58 tahun, yakni pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, kerajaan Islam yang sebenar-benarnya itu.
Sebenarnya, sebelum Kesultanan Aceh Darussalam ada di muka bumi, Aceh juga pernah punya wanita pemimpin. Ia adalah penguasa ke-6 Kerajaan Samudera Pasai, yakni Sultanah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu (Emi Suhaimi & Ali Hasymy, Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, 1993:11).
Nihrasiyah, Ratu Samudera Pasai
Inilah raja wanita perdana di Aceh dan satu-satunya sultanah dalam riwayat pemerintahan Samudera Pasai yang berdiri sejak 1267 serta diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara bahkan di Asia Tenggara itu. Ratu Nihrasiyah berkuasa selama 28 tahun, dari 1400 sampai 1428 (Solichin Salam, Malahayati, Srikandi dari Aceh, 1995:20)
Sultanah Nihrasiyah termasuk penguasa paling gemilang yang membangkitkan kerajaannya dari trauma akibat serangan Majapahit. Dipimpin langsung oleh Gajah Mada, Majapahit menyerbu Samudera Pasai sejak masa Sultan Malik Az-Zahir (1346-1383) yang tidak lain adalah kakek Nihrasiyah, dan berlanjut ke era ayahnya, Sultan Zain Al-Abidin (1383-1400).
Dalam buku Wali Songo dengan Perkembangan Islam di Nusantara karya Abdul Halim Bashah (1993:62) disebutkan, Ratu Nihrasiyah berperan besar dalam memajukan Samudera Pasai, termasuk menjadikannya sebagai pusat perkembangan agama Islam yang besar dan kuat.
Sepeninggal Sultanah Nihrasiyah sejak 1428, Samudera Pasai berangsur-angsur mundur (Abdullah Ishak, Islam di Nusantara Khususnya di Tanah Melayu, 1990:91). Riwayat Samudera Pasai benar-benar tamat setelah pada 1524 seluruh wilayahnya dikuasai oleh Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528).
Sultanah Pertama Aceh Darussalam
Sejak tahun 1641, Kesultanan Aceh Darussalam diperintah oleh raja perempuan, yakni Sultanah Safiatuddin. Ia adalah anak tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang lahir dengan nama Putri Sri Alam pada 1612. Seperti yang tercatat di berbagai referensi, Sultan Iskandar merupakan penguasa Aceh Darussalam yang paling jaya dan mashyur.
Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 1636 tidak punya putra mahkota dan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani, menantu almarhum atau suami Putri Sri Alam. Iskandar Tsani adalah putra Sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang (kini wilayah Malaysia) yang menikah dengan Putri Sri Alam setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang pada 1617 (Sher Banu Latief Khan, Rule Behind The Silk Curtain: The Sultanahs of Aceh 1641-1699, 2009:34).
Namun, era Sultan Iskandar Tsani tidak lama, dari 1636 hingga 1641 yang merupakan tahun kematiannya. Situasi politik yang mendesak saat itu kemudian menempatkan Putri Sri Alam sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam berikutnya dengan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.
Perdebatan yang menyoal pemimpin perempuan dalam pemerintahan Islam ternyata sudah terjadi pada saat itu. Ada sejumlah kalangan yang tidak setuju atas naik tahtanya Sri Putri Alam atau Ratu Safiatuddin. Terjadilah beberapa kali aksi pemberontakan juga upaya pengkhianatan untuk mendongkel kepemimpinannya.
Situasi bertambah pelik karena Sultanah Safiatuddin juga harus menghadapi ancaman dari luar seiring mulai menguatnya pengaruh VOC dari Belanda setelah berhasil merebut Malaka dari Portugis pada awal 1641 (Arndt Graf, et.al., Aceh: History, Politics and Culture, 2010:8).
Namun, ternyata sang ratu mampu melewati masa-masa sulit itu. Bahkan, ia terbilang sukses membangkitkan kejayaan Aceh Darussalam yang mengalami periode gemilang pada era kepemimpinan sang ayah, Sultan Iskandar Muda, dan sempat redup semasa dipimpin oleh sang suami, Sultan Iskandar Tsani.
Barisan Wanita Pemimpin Aceh
Ratu Safiatuddin berhasil mempertahankan hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lain sehingga nama besar Kesultanan Aceh Darussalam tetap terjaga. Tak hanya itu, di masa kekuasaannya, Aceh Darussalam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, agama, hukum, seni dan budaya, hingga ilmu pengetahuan (Usman Husein & Hasbi Amiruddin, Aceh Serambi Mekkah, 2008:52).
Dalam masa pemerintahan Ratu Safiatuddin inilah perpustakaan negara didirikan dan diperluas. Selain itu, sang ratu juga memberikan dukungan penuh kepada para sastrawan dan kaum intelektual untuk mengembangkan bakat. Inilah masa yang melahirkan para cendekiawan macam Hamzah Fanshuri, Nuruddin Ar-Ranirry, Syeh Abdur Rauf, dan masih banyak yang lainnya.
Sultanah Safiatuddin bertahta selama 34 tahun hingga mangkat pada 1675. Sepeninggal sang ratu pertama, Kesultanan Aceh Darussalam masih dipimpin oleh para perempuan tangguh sampai 24 tahun setelahnya, yaitu berturut-turut Sultanah Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678), Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), sampai masa pemerintahan Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Kendati tidak semua ratu itu sanggup membawa Kesultanan Aceh Darussalam merasakan era emas seperti pada masa Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Safiatuddin, namun bahwa Serambi Mekkah yang menerapkan syariat hukum Islam pernah memiliki rekam sejarah gemilang di bawah kepemimpinan kaum hawa adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan.
Bahkan, Aceh punya banyak lagi tokoh-tokoh pemimpin perempuan yang tidak melulu bertahta dengan label ratu atau sultanah. Para wanita hebat asli tanah rencong ini bahkan tampil sebagai panglima perang dan memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah, dari Laksamana Malahayati, Cut Meutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, Cutpo Fatimah, hingga tentunya Cut Nyak Dien yang melegenda itu.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya