tirto.id - Presiden Republik Indonesia kelima Megawati Sukarnoputri mendapat kado istimewa pada Hari Perempuan Internasional, Kamis (8/3) kemarin. Ketua Umum PDI Perjuangan itu menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) bidang politik pemerintahan dari Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Bandung.
"Saya ucapkan beribu terima kasih kepada IPDN. Sungguh merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi saya mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari IPDN," kata Megawati seperti dilansir dari Antara.
Ketua tim promotor sekaligus Rektor IPDN Ermaya Suradinata mengatakan Megawati merupakan orang pertama yang mendapat gelar HC dari IPDN. Alasan pemberian gelar itu adalah Megawati dianggap telah berjasa dalam mendorong tata pemerintahan yang baik dan memperkuat desain desentralisasi otonomi daerah.
“Tim promotor telah mempelajari nilai dan mempertimbangkan gagasan, semangat, jasa yang terhormat Ibu Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri, selama menjabat sebagai presiden kelima, terutama terkait kebijakan strategis politik pemerintahan,” kata Ermaya.
Sebelum menerima gelar HC bidang politik pemerintahan dari IPDN Megawati sudah mengantongi dua gelar HC serupa dari Universitas Padjajaran (2016) dan Universitas Negeri Padang (2017). Gelar HC juga pernah diterima Megawati dari kampus luar negeri: Universitas Waseda Tokyo di Jepang (2001); Moscow State Institute of International Relation di Rusia (2003); Korea Maritime and Ocean University di Korea Selatan (2015); dan Mokpo National University di Korea Selatan (2017).
Pemberian gelar itu juga diwarnai kontroversi. Saat Megawati menerima gelar HC bidang politik pemerintahan dari Universitas Padjajaran sejumlah orang yang keberatan dengan gelar itu mengeluarkan petisi online di situs change.org. Judul petisinya: “Menolak gelar doktor honoris causa Megawati SP”. Salah satu dalil para penolak adalah lantaran anak kedua Sukarno ini tidak pernah lulus studi setingkat sarjana atau S1. Mereka merujuk Permendikbud Nomor 21 tahun 2013 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan. Di dalam Pasal 4 poin b peraturan itu disebutkan bahwa syarat penerima HC mestilah memiliki latar pendidikan minimal S1 atau setara dengan level 6 (enam) dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). (Alinea ini mengalami perbaikan dengan tambahan pada kalimat terakhir).
Megawati memang pernah berkuliah di Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran Bandung pada 1965, akan tetapi studinya terhenti karena situasi politik nasional yang panas di kala itu. Upaya Megawati untuk menjadi sarjana dengan mendaftar sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada 1970 hanya mampu bertahan hingga dua tahun. Ia berhenti sebelum wisuda.
Tirto mengonfirmasi kelayakan pemberian gelar HC untuk Megawati dengan merujuk Permendikbud Nomor 21 tahun 2013 kepada Direktur Jendral Sumberdaya Ilmu Pengetahuan Indonesia Kementerian Riset dan Teknologi Ali Ghufron Mukti.
Ali Ghufron Mukti mengatakan HC merupakan gelar akademis. Sehingga mestinya para penerima gelar HC haruslah mendapat pengakuan akademik berupa ijazah S1 atau setingkat. Pernyataan Ali mengafirmasi apa yang ada di Pasal 5 ayat (1) Permendikbud Nomor 21 tahun 2013 tentang mekanisme pemberian gelar doctor kehormatan. Di sini disebutkan bahwa syarat penerima HC mestilah memiliki latar pendidikan minimal S1 atau setara dengan level 6.
Ali sempat terdiam sejenak saat Tirto menanyainya apakah gelar HC kepada Megawati sah atau tidak. Namun ia akhirnya bicara perkara ijazah S1 sebagai syarat menerima HC kerap diperdebatkan. “Yaaa, (terdiam lama), memang itu (ijazah S1) terkadang menjadi persoalan, tapi ya namanya doktor sudah sewajarnya dia paling tidak memiliki S1,” katanya kepada Tirto.
Ali mengatakan gelar HC hanya bisa diberikan oleh universitas dengan program studi doktoral berakeditasi A. Sayangnya program studi doktoral IPDN masih terakreditasi B berdasarkan situs resmi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). “Kalau [akreditasi program doktoral] B ya seharusnya enggak disetujui [memberikan HC]. Harus A,” kata Ali.
Ali menolak berkomentar saat ditanya kesahihan gelar HC kepada Megawati. Namun, ia mengatakan mekanisme pemberian gelar mestinya didahului dengan pembahasan dan penilaian di senat perguruan tinggi serta promotor. Selanjutnya barulah pimpinan perguruan tinggi mengirimkan hasil pembahasan dan penilaian itu kepada Dirjen Sumberdaya Ilmu Pengetahuan Indonesia Kemenristekdikti. Jika disetujui maka perguruan tinggi bisa memberikan gelar tersebut dalam sidang senat terbuka.
Keharusan memiliki ijazah akademik minimal S1 bagi penerima gelar doktor kehormatan dibatalkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Gelar Doktor Kehormatan. Mengacu aturan ini para penerima gelar HC tidaki mesti memiliki ijazah akademik setingkat S1. “Perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan,” demikian bunyi Pasal 1 peraturan tersebut.
Namun aturan ini tetap mempertahankan syarat perguruan tinggi pemberi gelar HC mesti memiliki program doktoral dengan peringkat akreditasi A.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharja Jati berpandangan latar belakang akademik dalam pemberian gelar doktor kehormatan seharusnya tak perlu banyak diperdebatkan. Sebab di banyak negara pemberian gelar Honoris Causa justru tidak memandang latarbelakang pendidikan seseorang. "Apalagi ini sudah era meritokrasi," ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa pemberian gelar itu seharusnya tak hanya dilihat dari kontribusi Megawati ketika menjabat sebagai presiden. Melainkan juga momentum dan kapasitas kampus yang memberikannya.
“Kalau dikaitkan dengan hari perempuan internasional, memangnya kontribusi Megawati apa untuk dunia internasional? Dan kalau misalnya gelar HC bidang politik dan pemerintahan diberikan oleh IPDN, harusnya dilihat kapasitas kampus yang memberikannya, program studi pemerintahan di IPDN bagaimana akreditasinya,” katanya.
Catatan"
Redaksi merevisi artikel ini dengan menambahkan informasi tentang peraturan terakhir pemberian gelar kehormatan yang merujuk Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Gelar Doktor Kehormatan. Berbeda dengan Permendikbud Nomor 21 tahun 2013, peraturan ini tidak menyebut penerima gelar doktor kehormatan atau HC harus bergelar S1. Redaksi juga melakukan revisi di bagian ringkasan berita yang sebelumnya berbunyi: Salah satu syarat akademik penerima honoris causa mesti lulusan S1 atau setingkat. Menjadi: Pemerintah menghapus syarat memiliki ijazah S1 bagi penerima gelar doktor kehormatan atau honoris causa. Redaksi Tirto.id memohon maaf karena kurang akurat dalam merujuk aturan dalam artikel.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar