Menuju konten utama

Kontroversi Gelar HC Raffi Ahmad & Buramnya Integritas Kampus

Kampus yang sembarangan beri gelar doktor kehormatan berisiko menggadaikan integritas dan muruah akademik mereka.

Kontroversi Gelar HC Raffi Ahmad & Buramnya Integritas Kampus
Raffi Ahmad mendapatkan gelar doktor kehormatan dari UIPM Thailand. Instagram / @raffinagita1717)

tirto.id - Pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa secara serampangan mengancam integritas perguruan tinggi. Gelar doktor kehormatan semestinya diberikan kepada figur-figur yang mematri sumbangsih besar terhadap ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Mengobral mudah gelar doktor honoris causa menandakan krisis akademik di ranah pendidikan tinggi.

Polemik soal pemberian gelar doktor honoris causa belakangan kembali menghangat ketika pesohor Raffi Ahmad, menerima titel kehormatan ini dari Universal Institute of Professional Management atau UIPM Thailand. Raffi memperoleh Dr. HC di bidang Event Management and Global Digital Development. Setelahnya, warganet ramai-ramai mempertanyakan gelar doktor honoris causa yang disandang Raffi.

Sebagai pesohor dan penghibur, Raffi dipandang tak memenuhi kriteria dokter kehormatan. Kampus UIPM Thailand yang mendapuk Raffi pun dipertanyakan kejelasannya. Belakangan, pemerintah menegaskan tak mengakui gelar doktor kehormatan yang diterima Raffi Ahmad.

Dikonfirmasi Tirto, Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek, Abdul Haris, menyebut, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah IV pada 29 dan 30 September 2024 telah melakukan investigasi keberadaan UIPM di Plaza Summarecon Bekasi, Kota Bekasi. Namun, tim tidak menemukan adanya aktivitas operasional perguruan tinggi UIPM.

“Hasil investigasi juga menunjukkan bahwa UIPM belum memiliki izin operasional di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Abdul lewat keterangannya, Selasa (8/10/2024).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebut perguruan tinggi swasta dan perguruan tinggi lembaga negara lain wajib memperoleh izin pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu, harus memenenuhi persyaratan dalam Permendikbudristek Nomor 23 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi Lembaga Negara Lain.

“Tanpa izin operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi dari pemerintah, gelar akademik yang diperoleh dari perguruan tinggi asing tersebut tidak dapat diakui,” tegas Abdul.

Jika ditilik ke belakang, pemberian gelar doktor honoris causa oleh perguruan tinggi di dalam negeri sendiri tidak sedikit mengundang kontroversi. Bahkan, tak jarang yang terlibat adalah kampus-kampus berstatus jempolan. Hal ini tak lain sebab sosok atau tokoh yang menerima gelar doktor kehormatan atau honoris causa tersebut memiliki latar belakang pejabat, elite politik, pebisnis, bahkan bekas narapidana korupsi.

Misalnya ketika bekas Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Nurdin Halid, dianugerahi gelar honoris causa oleh Universitas Negeri Semaran (Unnes) pada 2021. Nurdin merupakan sosok kontroversial yang terlibat skandal korupsi. Kinerjanya di PSSI pun tak bagus-bagus amat sebab sepak bola Indonesia saat itu dilanda kasus suap dan marak tawuran antarsuporter.

Namun, Fakultas Ilmu Keolahragaan Unnes kala itu justru menilai Nurdin telah sukses dan berhasil memajukan PSSI periode 2003-2011. Argumentasi konyol yang akhirnya ditentang banyak akademisi dan mahasiswa dari kampus mereka sendiri.

Setahun sebelumnya, Unnes memberikan gelar yang sama kepada Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di bidang olahraga. Airlangga dianggap mampu menghasilkan prestasi di bidang olahraga. Selain Airlangga, Unnes turut memberikan titel doktor honoris causa untuk anggota Dewan Pertimbangan Presiden Lutfi bin Yahya atas kontribusi di bidang komunikasi dakwah dan sejarah kebangsaan.

Ketua DPR RI Puan Maharani juga menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Diponegoro di bidang kebudayaan dan kebijakan pembangunan nasional di 2020. Sementara 2017 silam, mantan Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, turut menerima gelar doktor kehormatan di bidang ilmu sosiologi politik dari Universitas Airlangga.

Kisruh pemberian gelar doktor kehormatan juga sempat melanda Universitas Gadjah Mada pada 2023. Sebanyak 343 dosen dari berbagai pangkat dan fakultas di UGM sepakat menolak pemberian gelar doktor kehormatan yang saat itu direncanakan akan diberikan untuk Gubernur Bank Indonesia, Perry Wijaya. "We are selling our dignity," kutipan salah satu poin tuntutan dalam surat terbuka penolakan dari sivitas akademika UGM.

Pemberian gelar doktor honoris causa oleh kampus kepada tokoh-tokoh politik, pejabat, dan pebisnis seharusnya didasari kontribusi mereka terhadap ilmu pengetahuan. Tak heran jika publik dan akademisi yang memiliki akal sehat bakal memandang, pemberian titel doktor kehormatan secara serampangan selaiknya ‘obral gelar’ dan punya konflik kepentingan.

Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menilai perguruan tinggi yang sembarangan memberikan gelar doktor maupun guru besar kehormatan berisiko menggadaikan integritas dan muruah akademik mereka.

Rincinya begini, kata Edi, gelar doktor honoris causa seharusnya menjadi titel kehormatan bagi seseorang yang memiliki karya luar biasa dan besar kontribusinya bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan atau bidang lainnya.

“Oleh karena itu pihak yang menganugerahi gelar juga harusnya memiliki kualifikasi yang jelas, yakni dalam hal ini bukan kampus abal-abal,” kata Edi kepada reporter Tirto, Selasa (8/10/2024).

Jika citra perguruan tinggi merosot karena obrol gelar kehormatan: masyarakat umum justru akan mencari justifikasi tentang hal-hal penting bagi kehidupan mereka ke pihak yang tidak otoritatif. Misalnya orang awam akan cari ilmu pengetahuan di Tiktok, influencer, selebgram, dan lainnya.

“Ini bahaya, karena masyarakat bisa tersesat lebih jauh,” sambung Edi.

Pada 2013, muncul Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan. Dalam aturan disebut, kampus harus memiliki program doktoral di bidang yang sama dengan sosok yang akan diberikan gelar D.HC. Pada Pasal 4, sosok yang akan diberi gelar harus minimal sarjana, memiliki moral, etika, dan kepribadian yang baik, serta cinta tanah air.

Pasal 5 menjelaskan mekanisme pemberian gelar. Salah satunya harus disetujui oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Pada 2016, terbit lagi peraturan baru, yaitu Peraturan Menristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, yang diteken oleh Mohamad Nasir.

Dalam aturan yang membatalkan aturan 2013 ini, tata cara dan syarat pemberian gelar diserahkan kepada kampus masing-masing. Aturan mengenai persetujuan dari kementerian dihapus. Kementerian hanya berwenang mencabut gelar itu jika terbukti tidak memenuhi syarat.

Menurut Edi, aturan tersebut membuat setiap kampus memiliki syarat berbeda-beda terkait pengajuan dan penganugerahan gelar doktor maupun guru besar kehormatan. Namun, Edi menilai aturan ini relatif sudah baik, sebab kampus jadi memiliki kewenangan dan tanggung jawab otonom membuat aturan yang jelas.

“Di sini justru pihak kampus yang perlu memperjelas ke segenap sivitas akademika, bahkan ke publik,” ujar Edi.

Transaksi Politik dan Ekonomi

Edi menambahkan, kampus bisa memperkuat posisi senat akademik dan majelis guru besar agar memiliki peran sebagai penjaga marwah akademik. Mereka inilah yang akan memberi lampu merah, kuning, atau hijau dalam proses pengajuan gelar kehormatan.

“Jangan sampai pemberian gelar tersebut ada transaksi politik praktis di baliknya, atau ada motif ekonomi di baliknya, yang justru mengkorbankan marwah akademik kampus,” ucap Edi.

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, memandang pemberian gelar doktor honoris causa semakin terasa bagaikan transaksi antara kampus dan sosok penerima. Menurut Satria, gelar kehormatan berubah laiknya komoditas yang memiliki supply dan demand tersendiri.

Terlebih, kata dia, beberapa waktu ke belakang timbul perguruan tinggi ‘abal-abal’ yang bisa memberikan gelar kehormatan atau honoris causa sesuai pesanan.

“Kampus kemudian melakukan atau menawarkan orang-orang yang memiliki jaringan kekuasaan politik, mungkin juga penegak hukum seperti jaksa, hakim, atau tokoh-tokoh hukum lain, dan juga jaringan ekonomi,” kata Satria kepada reporter Tirto, Selasa.

Satria menilai, padahal sudah ada aturan baru Permendikbudristek Nomor 44/2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen. Aturan anyar ini disebut lebih ketat mengatur soal pemberian gelar kehormatan. Misalnya, gelar doktor kehormatan hanya dapat diberikan oleh perguruan tinggi yang telah memiliki profesor atau guru besar sekitar.

Selain itu, tim peneliti yang mengangkat doktor kehormatan harus melibatkan sedikitnya lima profesor. Kemudian, ditambah paling sedikit tiga di antaranya profesor dari perguruan tinggi lain.

“Perguruan tinggi memiliki otonomi, walaupun sekali lagi itu tidak menutup kemungkinan terjadinya transaksi politik itu sendiri,” jelas Satria.

Analis Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, senada bahwa bagi-bagi gelar doktor kehormatan di kalangan politisi, pejabat, dan pesohor/pebisnis memang kental dengan aroma transaksional. Kunto menjelaskan, gelar kehormatan dari kampus memang dianggap sebagai bentuk modal budaya.

Mengacu teori habitus dari sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menurut Kunto, dalam arena sosial maka individu akan saling beradu modal. Seperti modal finansial, modal sosial, dan modal budaya. Kunto menilai, modal budaya yang lebih besar menarik pengakuan sosial dan memberi kesan ‘sukses’ di ranah sosial.

“Sehingga kenapa orang-orang yang sudah mapan cara ekonomi kemudian tiba-tiba membutuhkan gelar akademik sebagai pengakuan,” kata Kunto kepada reporter Tirto.

Padahal, kata Kunto, justru sikap ini semakin membuktikan ketidakcakapan sosok tersebut karena membutuhkan gelar kehormatan akademik yang didapat instan. Selain itu, gelar doktor kehormatan juga dibutuhkan untuk persyaratan dalam menempati posisi penting di pemerintahan.

Pasalnya, gelar doktor honoris causa bisa didapatk tanpa harus mengikuti jenjang akademik formal. Maka muncul perguruan tinggi karbitan yang mengobral titel kehormatan ini kepada sosok-sosok yang malas dan tak memiliki karya.

Kendati demikian, sah-sah saja jika politisi, pejabat, hingga pesohor atau pebisnis mendapat gelar doktor honoris causa jika memang memiliki sumbangsih relevan terhadap keilmuan di bidangnya masing-masing. Namun, bagi yang tak memiliki kompetensi dan raihan keilmuan, opsi mencari perguruan tinggi ‘bodong’ untuk mengobral gelar doktor kehormatan adalah jalan yang culas.

“Akhirnya ya matinya kepakaran dan orang tak mau lagi mendengarkan para pakar gitu kan. Dan di situ akhirnya modal budaya menjadi hampir tidak ada nilainya kecuali untuk syarat jabatan,” tegas Kunto.

Baca juga artikel terkait GELAR HONORIS CAUSA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz