tirto.id - Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta, Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno, menyampaikan upaya mereka dalam menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta. Permasalahan klasik ini masuk dalam salah satu bahasan debat perdana mengusung tema 'Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Transformasi Jakarta Menjadi Kota Global' pada Minggu (6/10/2024) malam.
Calon Gubernur Jakarta nomor urut 1, Ridwan Kamil, misalnya menawarkan penyelesaian kemacetan dengan membuat transportasi laut (water way) di 13 sungai Jakarta dengan menggunakan nama river way. Di luar itu, RK juga menilai perlu adanya perluasan jalan layang (flyover).
Selain itu, mantan Gubernur Jawa Barat itu berkeinginan untuk mengurangi pergerakan masyarakat selama lima tahun ke depan. Caranya, kata RK, adalah mengembangkan wilayah yang kini sudah maju daripada wilayah lain seperti PIK, Kelapa Gading, TB Simatupang, Meruya, dan Ancol.
“Kemudian kami bergiliran yang namanya WFH. Senin industri media, Selasa industri hukum, sehingga mengurangi pergerakan, digabung memfasilitasi pergerakan, insyaallah mengurangi kemacetan," kata Ridwan Kamil dalam debat perdana di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat.
Sementara itu, Pramono menilai kemacetan Jakarta tak akan terselesaikan hanya dengan Transjakarta. Menurut dia, perlu ada penyesuaian rute TransJabodetabek sebagai solusi masalah kemacetan Jakarta. Di samping ia juga berjanji untuk menggratiskan tarif sejumlah layanan publik untuk 15 golongan.
“Maka dengan demikian yang paling penting untuk mengatasi kemacetan di Jakarta adalah TransJabodetabek bahkan kalau perlu sampai dengan Puncak dan Cianjur. Kenapa itu harus dilakukan? Sekali lagi untuk mengatasi supaya tidak banyak mobil atau kendaraan pribadi yang masuk ke Jakarta," kata calon gubernur nomor urut 3 tersebut.
Berbeda dengan dua paslon lainnya, Calon Gubernur Jakarta nomor urut 2, Dharma Pongrekun, justru meminta dua cagub lawannya agar tidak beretorika dalam penyelesaian isu kemacetan Jakarta. Dharma menilai pendapat RK dan Pramono tidak salah dalam menyelesaikan kemacetan Jakarta. Namun, ia menilai kedua paslon harus memprioritaskan program yang harus dijalankan.
“Karena waktu kita hanya lima tahun. Kita tidak bisa beretorika dengan berangan-angan. Sementara pada saat kita turun, nantinya itu belum terlaksana,” ucap Dharma dalam debat.
Dharma menilai, pemimpin daerah seharusnya memperbaiki terlebih dahulu manajemen transportasi untuk mengatasi kemacetan. Menurut purnawirawan Polri ini, hal yang tak diinginkan adalah tidak berjalannya sebuah peraturan yang sudah ada.
“Jangan sampai ada programnya, apalagi kalau tidak dilaksanakan. Jadi, semua menjadi percuma ketika hanya jadi rencana tanpa eksekusi. Kita perlu segera eksekusi, bukan lagi berdiskusi," tutur Dharma.
Solusi Mana yang Lebih Realistis?
Ketua Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Darmaningtyas, melihat gagasan RK dan Pramono sama-sama realistis untuk dilaksanakan. Mengingat keduanya sudah ada pengalamannya di masa lalu atau sekarang sedang berlangsung.
Darmaningtyas mengatakan, gagasan RK untuk membangun transportasi air itu sudah punya pijakannya pada masa Gubernur Sutiyoso (2007) meskipun tidak berlanjut. Pengembangan angkutan sungai ini pun sudah ada dalam Pola Transportasi Makro (PTM), dan dinilai tidak mengada-ada
“Berarti landasan hukumnya sudah cukup kuat, tinggal mengimplementasikan saja," kata dia kepada Tirto, Senin (7/10/2024).
Kendati bisa diimplementasikan, namun dibutuhkan investasi yang besar untuk membenahi sungai di Jakarta. Namun, menurut Darmaningtyas, hal itu lebih baik sekaligus menjadi peluang untuk membenahi sungai-sungai di Jakarta agar terpelihara dengan baik.
Di sisi lain, syarat untuk dapat terwujudnya transportasi air adalah debit sungai harus cukup memadai dan stabil. Memadai dalam arti bisa untuk jalannya perahu dan stabil. Maka, ini butuh pengelolaan sungai yang optimal agar pada musim kemarau debit tetap stabil, tapi pada musim penghujan juga tidak meluber sehingga transportasi air tetap berfungsi dengan baik.
“Tapi ini mestinya untuk Jakarta tidak masalah karena debit air sebetulnya dapat dibuat,” kata dia.
Debit air, menurut Darmaningtyas, bisa diatasi dengan membersihkan dan mengeruk sungai agar kedalamannya merata. Lalu dikendalikan di pintu air agar saat kemarau tidak terjadi kekeringan, tapi saat penghujan tidak meluber. Sementara kanan kiri sungai dapat dibersihkan, sehingga menjadi lingkungan yang tertata rapi dan menarik.
“Ini juga dapat membuka lapangan kerja baru,” ujar dia.
Demikian pula, lanjut Darmaningtyas, gagasan Pramono Anung untuk memperpanjang rute layanan Transjakarta menjadi layanan Transjabodetabek juga realistis untuk diwujudkan. Mengingat perpanjangan rute ini sudah memiliki landasan hukum yang kuat di UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ), bahwa Jakarta dapat memberikan subsidi untuk layanan transportasi dari wilayah Bodetabek yang melayani ke Jakarta.
“Jika selama ini subsidi transportasi dibatasi di wilayah administratif Jakarta saja, sekarang terbuka untuk wilayah aglomerasi," terang dia.
Maka, memang sudah saatnya layanan Transjakarta diperluas sampai wilayah Bodetabek agar mampu memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke arah Jakarta beralih menggunakan angkutan umum. Dan sebaiknya memang demikian, layanan transportasi di Jakarta ini tidak boleh terputus dengan layanan transportasi di kawasan sekitarnya (Bodetabek).
“Jadi gagasan memperluas layanan Transjakarta menjadi layanan Transjabodetabek itu gagasan yang realistis untuk diwujudkan,” jelas dia.
Namun yang terpenting, kata dia, perlu dipikirkan besaran PSO (public services obligation) yang disediakan oleh Pemprov Jakarta untuk seluruh layanan transportasi publik. Terlebih bila 15 kategori yang mendapat layanan gratis di wilayah Jakarta akan diterapkan untuk seluruh wilayah Jabodetabek, tentu dampak fiskalnya cukup besar.
Sedangkan gagasan Dharma untuk membenahi manajemen terlebih dulu, kata dia, bisa saja diterima. Hanya saja, kata Darmaningtyas, persoalan layanan transportasi di Jakarta bukan pada isu manajemen pengelola transportasi publik, melainkan pada keengganan Pemda di sekitar Jakarta untuk berbenah dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk pindah ke angkutan umum meskipun layanan transportasi umum di Jakarta sudah cukup memadai.
Punya Kelebihan dan Tantangan Masing-Masing
Direktur Kebijakan Publik Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengatakan masing-masing cagub memiliki kelebihan dan keterbatasan dalam menyelesaikan masalah secara menyeluruh. RK misalnya dengan transportasi sungai atau river way dan perluasan jalan layang sebagai solusi untuk membuka jalur alternatif, punya tantangan sendiri
“Meski ide ini menarik, tantangan besarnya masalah sedimentasi dan pencemaran sungai," kata Media kepada Tirto, Senin (7/10/2024).
Kemudian ide Pramono Anung, menggratiskan transportasi umum tanpa adanya peningkatan infrastruktur atau layanan juga berisiko memperburuk kepadatan.
Maka untuk benar-benar mengatasi kemacetan di Jakarta, kata dia, masyarakat berharap solusi yang lebih komprehensif. Di antaranya melalui pengembangan transportasi massal yang terintegrasi, pengelolaan tata ruang yang mendukung transportasi umum, pembatasan kendaraan pribadi, serta subisidi transportasi massal.
“Ketiga pasangan idealnya harus mampu menjelaskan bagaimana cara melakukan itu," imbuh dia.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah DKI Jakarta, Yusa Cahya Permana, mengatakan rencana program para calon sebenarnya lebih luas namun tidak bisa dijelaskan dalam lingkup debat kemarin. Mengingat waktu diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta dalam debat cukup terbatas.
“Jadi paslon seperti lebih mengejar waktu ketimbang bisa menjelaskan programnya secara komprehensif," terang dia kepada Tirto, Senin (7/10/2024).
Dia menuturkan, program yang dibahas saat debat sebenarnya terlihat sifatnya hanya parsial dari konsep besar penataan perkotaan. Maka, tidak bisa dikatakan tidak tepat karena secara parsial konsep merupakan bagia penataan transportasi menyeluruh.
“Tapi juga tidak bisa dikatakan lalu menjadi obat sapu jagat,” jelas dia.
Karena sebetulnya, lanjut Yusa, penataan transportasi harus dipahami sebagai jaminan nyaman hak yang bersifat fisik. Baik dalam bentuk sarana prasaran, aspek kualitas dan kuantitasnya, maupun non fisik berupa kebijakan antar sektoral dan perencanaan antar sektoral yang saling terhubung. Maka, setiap aspek dan kebijakan transportasi tentu ada kelebihan, kekurangan, tantangan implementasi dan strategi mitigasinya.
“Mungkin akan baik jika ada ruang masing-masing calon bisa menjelaskan programnya secara lebih detail. Karena ruang debat cenderung terbatas waktu dan program masing-masing ada kelemahannya dan kelebihan tapi sepertinya kurang fair jika keseluruhan program dinilai hanya dari yang sempat disampaikan,” kata Yusa.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz