tirto.id - Bakal Calon Gubernur Jakarta, Pramono Anung, menjanjikan kesejahteraan bagi pengemudi ojek online (ojol) jika dirinya terpilih dalam Pilkada Jakarta 2024. Sebagai salah satu tulang punggung ekonomi masyarakat, menurut dia, perlu ada perubahan mendasar bagi mitra ojol. Salah satuny adalah dengan mendorongnya menjadi pekerja formal.
“Ojol selama ini menjadi pekerja yang bukan formal. Sehingga, jika formal maka pendapatan minimum itu UMR [Upah Minimum Regional]. Kemudian, diatur bisa lebih dari itu [pendapatannya],” ujar Pramono di area car free day (CFD) Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (15/9/2024).
Pramono mengatakan bahwa ide menjadikan ojol sebagai profesi formal sudah dikomunikasikan kepada pemerintah pusat. Dia berharap dengan status pekerja formal dan gaji UMR, maka masalah kesejahteraan yang selama ini dituntut oleh ojol bisa terpenuhi.
“Kemarin ketika di IKN [Ibu Kota Nusantara], kami juga membahas bahwa ojol akan menjadi formal. Pemerintah sekarang ini sedang merumuskan itu. Kalau saya nanti menjadi Gubernur Jakarta, saya akan mendorong itu,” pungkas dia.
Selama ini, titik persoalan yang sering disuarakan mitra pengemudi ojol adalah masalah kesejahteraan dan legalitas. Dalam aksi unjuk rasa pada Kamis (29/8/2024) lalu, misalnya, ribuan pengemudi ojol mendesak pemerintah untuk merevisi dan menambahkan pasal dalam Permenkominfo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Formula Tarif Layanan Pos Komersial untuk Mitra Ojek Online dan Kurir Online di Indonesia.
Selain itu, mereka juga meminta agar pemerintah melegalkan ojoldi Indonesia sebagai angkutan sewa khusus dengan membuat surat keputusan bersama (SKB) beberapa kementerian terkait.
Soal Legalitas Lebih Dulu
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Transportasi Daring Roda Dua Nasional Garda Indonesia, Igun Wicaksono, mengatakan bahwajanji Pramono tersebut terlalu muluk. Pasalnya,menurut Igun, yang dibutuhkan oleh teman-teman pengemudi ojol saat ini adalah soal legalitas ojol.
“Mengenai adanya pihak yang menjanjikan ojol menjadi pekerja formal dengan gaji UMR kami melihat dari sudut pandang legalitas dulu,” kata Igun kepada Tirto, Selasa (17/9/2024).
Igun menekankan bahwa selama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan tidak memasukkan alat kerja utama ojol, yaitu sepeda motor, sebagai alat transportasi yang diperbolehkan membawa penumpang umum, secara hukum sepeda motor ojol adalah ilegal dan melanggar hukum.
Apabila alat kerja utama ojolmasih ilegal, lanjut Igun, pekerjaan atau profesinya juga ilegal. Ojol pun berbeda dari taksi online yang memiliki payung aturan sendiri mengenai angkutan penumpang roda empat.
“Maka pengemudi taksi online bisa saja dibuatkan regulasi sebagai pekerja formal dengan gaji UMR seperti halnya taksi umum konvensional berbasis perusahaan,” ujar dia.
Igun pun mengaku heran melihat pengemudi ojol selalu dijadikan komoditas politik dengan diberi janji-janji yang tidak pernah diwujudkan. Para politisi sering menjanjikan kesejahteraan, tapimembiarkanpara pengemudi ojol tanpa legalitas berdasarkan undang-undang.
Padahal, tanpa payung undang-undang, produk regulasi apa pun yang dibuat oleh pemerintah bagi ojol pada akhirnya hanya akan mentok sebagai pemanis yang tak punya kekuatan hukum.
“Maka yang jadi korban adalah para pengemudinya atau disebut mitranya. Jadi, kami pesimistis janji-janji politik yang terlontar dari pihak mana pun akan terlaksana dengan optimal selagi ekosistem ojol ini tidak punya legalitas hukum berdasarkan undang-undang,” tegas dia.
Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia sendiri sejak 2018 telah mendorong pemenuhan aspek legalitas bagi ekosistem ojol. Ia konsisten mendorong pemerintah serta DPR RI segera melegalkan ojol secara undang-undang, bukan diskresi melalui peraturan menteri.
Igun berharap di beberapa hari menjelang peralihan pemerintahan dan kepresidenan, Presiden Jokowi bisa menerbitkan perppu untuk melegalkan ojol. Pasalnya, menurut Garda Indonesia, tidak mungkin mengharapkan hal itu melalui DPR RI saat ini.
“Kami imbau kepada rekan-rekan kami pengemudi ojol agar jangan lengah dan mudah termakan janji-janji politik” pungkas dia.
Janji Pramono Anung Tidak Memungkinkan?
Selain masalah legalitas ojol, sebenarnya seberapa besarkah kemungkinan untuk merealisasikan janji menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja formal dan bergaji UMR?
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan bahwa janji itu sulit dipenuhi jika melihat skema kemitraan yang saat ini berlaku di ekosistem ojol.Pasalnya,penghapusan atau penggantian skema itu akan menghilangkan sisi fleksibilitas ojol.
“Maka, sulit untuk berubah jadi pekerja formal,” ujar dia kepada Tirto, Selasa.
Huda menuturkan bahwa menjadi pengemudi ojol pada awalnya adalah pekerjaan sampingan. Namun, pengemudi ojol saat ini tampaknya sudah menjadi pekerjaan utama.
Menurut Huda, yang lebih memungkinkan untukdilakukan adalah mengembalikan ojol ke khittah awalnya. Bahwa jam kerja fleksibel jugaperusahaanplatform tidak membatasi minimal order per hari yang harus dicapai mitra pengemudi.
“Ini yang harus dilakukan agar ride-hailing kembali ke khittah sebagai gig economy dan sharing economy,” ujar dia.
Huda menambahkan bahwa ketimbang mendorong ojol menjadi pekerja formal dengan gaji UMR, pemerintah daerah atau pusat bisa mendorong skema perlindungan sosial yang sesuai dengan gig economy. Skema bisa dibuat sedemikian rupa sehingga pendapatan pengemudi ojol menjadi lebih pasti tanpa menghilangkan sisi fleksibilatas jam kerjanya.
“Jadi, jika pun bisa pemerintah maupun platform menyediakan skema perlindungan sosial mulai dari kesehatan, jaminan hari tua, hingga kecelakaan kerja. Itu yang diperlukan terlebih dahulu,” pungkas Huda.
Sebaliknya, Direktur Institute for Demographic and Affluance Studies (IDEAS), Haryo Mojopahit, justru melihat ide atau janji politik Pramono tersebut sangat dimungkinkan. Menurutnya, mengubah status pengemudi ojek daring menjadi pekerja formal dengan gaji sesuai UMR adalah langkah besar yang dapat membawa banyak perubahan, terutama dalam hal kesejahteraan mereka.
Apalagi saat ini, banyak pengemudi ojol hidup dalam ketidakpastian karena masih bergantung pada jumlah penumpang harian yang tidak selalu bisa diprediksi. Pendapatan merekasering kali tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, walaupun sudah bekerja melebihi delapan jam sehari.
Mereka punmakin rentan lantaran ketiadaan jaminan kesehatan maupun perlindungan kerja.
“Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pengemudi ojol melalui formalisasi status mereka sangat layak untuk didukung,” jelas Haryo kepada Tirto, Selasa.
Haryo mengatakan bahwa dengan menjadikannya pekerja formal, para pengemudi ojol akan mendapatkan hak-hak yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh pekerja formal lainnya. Mereka akan memiliki akses ke upah minimum yang lebih stabil, jaminan kesehatan, serta perlindungan dalam hal keselamatan kerja.
Bukan hanya itu, lanjut Haryo, pengemudi ojol perempuan pun akan terlindungi oleh hak-hak khusus yang penting, seperti cuti hamil dan perlindungan terhadap diskriminasi gender. Kesejahteraan secara keseluruhan pun akan meningkat karena adanya sistem yang memastikan mereka bekerja dalam lingkungan yang lebih aman dan terjamin.
Kendati begitu, kata Haryo, formalisasi ini tidak hanya soal memberikan hak, tapi juga menciptakan seperangkat kewajiban. Para pengemudi akan diharapkan bekerja sesuai dengan jam kerja tertentu, mematuhi aturan perusahaan, serta mencapai target-target yang ditentukan.
Kondisi di atas, tentu menimbulkan kekhawatiran, terutama karena banyak pengemudi yang memilih pekerjaan ojol karena fleksibilitasnya. Maka penting juga, kata Haryo, untuk menemukan keseimbangan antara aturan yang ketat dengan kebutuhan pengemudi untuk tetap bekerja dengan cara yang fleksibel.
“Pendekatan yang bisa diambil adalah menciptakan sistem kerja yang menggabungkan struktur kerja formal, tapi tetap fleksibel. Misalnya, pengemudi dapat memilih jam kerja sesuai keinginan mereka, tapi tetap dalam batasan tertentu yang ditetapkan oleh perusahaan,” jelas dia.
Dengan demikian, menurut Haryo, keseimbangan antara hak formal dan fleksibilitas kerja bisa dicapai. Inovasi dalam sistem kerja ini dapat menjadi solusi untuk menjaga keberlanjutan model bisnis ojol di Indonesia, sambil tetap memperbaiki kualitas hidup para pengemudinya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi