tirto.id - Kabar tentang rencana pemberian gelar doktor honoris causa (Dr.h.c.) kepada mantan narapidana korupsi dan eks Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Nurdin Halid oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes) menjadi buah bibir dan pertanyaan para akademisi di dalamnya. Salah satu yang terheran-heran adalah Dosen Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes Sucipto Hadi Purnomo.
Lewat Facebook, pada 9 Februari 2021 Sucipto meminta penjelasan para petinggi kampus soal rencana ini. Ia bertanya kepada Rektor Unnes Fathur Rokhman, Dekan Fakutas Ilmu Keolahragaan Unnes Tandiyo Rahayu, dan Profesor Ilmu Keolahragaan Unnes Bambang Budi Raharjo. Dua orang yang disebut terakhir ditanya karena Nurdin akan mendapat gelar kehormatan di bidang industri olahraga dan program studi doktoral Pendidikan Olahraga-lah yang mengajukannya.
Keesokan harinya, Bambang Budi Raharjo mempertanyakan hal serupa di grup WhatsApp Majelis Profesor Unnes. Selain profesor di bidang olahraga, Bambang juga menjabat anggota Majelis Profesor di Unnes.
“Anggota Majelis yang terhormat, sudah layakkah orang ini mendapatkan gelar doktor honoris causa?” tanya Bambang, sembari mengirim poster acara penganugerahan Nurdin yang berlangsung 11 Februari 2021. Tirto mendapat gambar tangkap layar grup tersebut langsung dari Bambang. Ia tak mendapatkan respons apa pun.
Besoknya, persis hari pemberian gelar kepada Nurdin, Bambang membagikan unggahan seorang alumnus Unnes bernama Achiar M. Permana di Facebook yang berisi dialog satire yang menyetarakan Habib Luthfi dengan Nurdin Halid—keduanya sama-sama menerima gelar kehormatan dari kampus itu.
“Saya mempertanyakan pemberian doktor [honoris] causa untuk Nurdin Halid mengingat rekam jejak beliau. Mahasiswa sudah melakukan protes. Di luar, orang banyak membincangkan keganjilan penganugerahan ini. Salahkah saya mempertanyakan hal ini?” kata Bambang kepada wartawan Tirto, Senin (15/2/2021).
Saat Nurdin mendapatkan gelar, para mahasiswa memang melakukan aksi penolakan di depan Rektorat Unnes. Mereka protes karena Nurdin dianggap tidak kompeten dan kredibel mengingat rekam jejaknya sebagai mantan koruptor. Para mahasiswa memberikan ‘kartu merah’ untuk Unnes.
Alih-alih mendapatkan jawaban memuaskan setelah bertanya langsung dan mengunggah sesuatu di media sosial, Bambang malah didepak dari grup WhatsApp Majelis Profesor Unnes oleh Rektor Fathur Rokhman—yang sama-sama berstatus anggota Majelis Profesor. Majelis tersebut diketuai oleh Mungin Eddy Wibowo dan Sucihatiningsih Dian menjabat sekretaris. “Benar, saya telah dikeluarkan dari grup Majelis Profesor, Kamis 11 Februari lalu.”
“Baru bertanya saja sudah didepak dari grup WA, apalagi protes,” kata Bambang.
Didepaknya Bambang dari grup WhatsApp bukan kasus perdana. Sebelumnya, profesor bidang sosiologi dan antropologi Tri Marhaeni Astuti dan profesor bidang pendidikan fisika Hartono juga didepak dari grup tersebut pada Mei 2020. Peristiwa ini terjadi usai mereka mengirim berita OTT KPK terhadap pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sembari berkomentar: “Semoga tidak terjadi di kampus kita.”
“Konon selama ini grup itu hanya menjadi ajang buat menyanjung dengan taburan jempol dan diksi semacam: mantap, inspiratif, dan luar biasa,” kata Sucipto.
Fathur mengaku tidak pernah mendepak Bambang dari grup WhatsApp. Ia mengatakan hanya salah pencet. “Apa ada yang dikeluarkan atau ter-remove? Barangkali tidak sengaja, salah pencet. HP sensitif bisa kepencet. Masalah teknologi saja,” kata Fathur kepada wartawan Tirto, Senin pagi.
Fathur juga tak merasa pernah mendepak Marhaeni dan Hartono dari grup tersebut.
Mengeluarkan seseorang dari grup WhatsApp tidak bisa hanya satu kali ketuk (klik). Pertama grup yang dimaksud harus dibuka, lalu subjek grup diketuk untuk melihat informasi grup, termasuk nama-nama anggota. Admin harus mengetuk persis di nama anggota yang hendak dikeluarkan. Setelah mengetuk nama anggota pun plihannya tak hanya 'keluarkan', tapi juga bisa 'chat', 'tambah ke kontak', 'jadikan admin', hingga 'verifikasi kode keamanan'.
Ia lalu meminta wartawan Tirto untuk bertanya kepada Mungin atau Suci untuk bertanya lebih lanjut. Wartawan Tirto menghubungi mereka namun tak ada jawaban. “Saya masih menguji doktor,” kata Mungin, Senin siang. Begitu juga dengan Suci. Pesan teks WhatsApp hanya dibaca.
Hobi Bungkam Suara Kritis
Kampus Unnes di bawah kepemimpinan Fathur Rokhman terkenal karena kerap membungkam suara-suara kritis.
Tahun lalu, Sucipto Hadi Purnomo diskors sebagai dosen aktif hanya karena mengkritik Presiden Joko Widodo lewat Facebook. Keputusan Rektor Fathur bertarikh 12 Februari 2020 itu menuding Sucipto melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.
Selain itu, untuk memperkuat dalih sanksi ke Sucipto, kampus mencatut pasal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga saat ini bahkan belum disahkan oleh DPR RI dan pemerintah. Pasal yang dikutip berkaitan dengan “penghinaan presiden”—yang sebenarnya sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Pasal itu memang masuk lagi ke dalam RKUHP, tapi ditentang oleh publik termasuk dalam momentum aksi Reformasi Dikorupsi pada September 2019. Pasal ini 'karet' dan berbau kolonial.
Kemudian, pada 2018 lalu, mahasiswa bernama Julio Belanda Harianja dan Harist Achmad Mizaki dilaporkan ke pihak kepolisian karena dituding melanggar UU ITE. Enam mahasiswa lainnya dipanggil dan diberikan peringatan oleh pihak kampus. Pelaporan berkaitan dengan protes besar-besaran ribuan mahasiswa Unnes yang menolak kebijakan uang pangkal yang dianggap membebani.
Rektor Fathur menabrak beberapa mahasiswa yang sedang mengadang mobilnya dalam aksi tersebut. Komnas HAM sampai harus turun tangan.
Kejadian itu berlangsung saat Bambang Budi Raharjo masih menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nizam mengaku telah mengirim surat untuk Rektor Fathur meminta kejelasan pemberian gelar kehormatan untuk Nurdin. “Apa alasan dan dasar pemberian gelar yang diberikan oleh Unnes,” kata Nizam saat dihubungi wartawan Tirto, Senin siang.
Hal ini ia lakukan meski gelar honoris causa merupakan kewenangan kampus yang dapat diberikan kepada siapa pun tanpa persetujuan kementerian, sesuai dengan semangat otonomi pendidikan tinggi.
Terkait didepaknya seorang profesor dari grup WhatsApp karena mengkritik pemberian gelar, Nizam mengatakan itu semestinya tidak terjadi karena sivitas akademik adalah masyarakat yang egaliter dan kolegial. Itu artinya harus sudah biasa saling menghargai dan biasa dengan perbedaan pendapat. “Sehingga ruang-ruang diskusi perbedaan pendapat selalu dibuka,” kata dia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino