tirto.id - Kementerian Keuangan mengusulkan perubahan mekanisme anggaran pendidikan minimal 20 persen yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Artinya pemerintah membuka peluang mengubah mandat konstitusi Pasal 31 Ayat 4 di UUD 1945. Di situ menyebut, negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
Wacana ini bergulir di rapat kerja pembahasan RAPBN 2025 antara pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Rabu (4/9/2024) lalu. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengusulkan kepada DPR untuk mengubah mekanisme anggaran pendidikan 20 persen, dari belanja negara menjadi bersumber dari pendapatan negara.
“Kalau anggaran pendidikan 20 persen dari belanja [APBN], dalam belanja itu banyak ketidakpastian, sehingga anggaran pendidikan menjadi naik-turun begitu,” kata Sri Mulyani.
Jika anggaran pendidikan 20 persen diambil dari APBN, Sri Mulyani menilai hal itu menyulitkan keuangan negara. Alasannya, jika belanja negara dalam APBN melambung, maka anggaran pendidikan ikut menyesuaikan dengan ketentuan porsi 20 persen.
Contohnya, kata dia, saat peningkatan harga minyak dunia dan penurunan kurs rupiah pada 2022. Saat itu, anggaran subsidi energi membengkak hingga Rp200 triliun membuat total belanja negara naik. Imbasnya, anggaran pendidikan ikut naik demi memenuhi konsistensi mandat minimal 20 persen dari total APBN.
Dengan begitu, Sri Mulyani mengusulkan agar pembentuk undang-undang bisa mengubah sumber anggaran pendidikan dari belanja negara menjadi pendapatan negara. Harapannya, anggaran pendidikan tidak terlalu besar dan tidak membengkak di tengah jalan.
“Ini caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi, di mana 20 persen setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan,” kata Sri Mulyani.
Banggar DPR RI sendiri tidak menutup peluang mengkaji ulang mekanisme minimal anggaran pendidikan 20 persen. Mereka mempertimbangkan ide itu dibahas dalam rencana revisi UU Sidiknas.
Rencana pemerintah dan Banggar DPR utak-atik sumber anggaran pendidikan minimal 20 persen dinilai tidak membenahi masalah biaya pendidikan yang mahal.
Alih-alih membenahi efektivitas penyerapan anggaran pendidikan 20 persen APBN yang masih salah alamat, ide mengubah mekanisme anggaran ke pendapatan berpotensi menyunat anggaran pendidikan.
Kepala Bidang Advokasi Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai logika yang dibangun pemerintah adalah memandang anggaran pendidikan terlalu besar. Padahal, realisasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN saja belum diserap secara penuh.
Anggaran wajib pendidikan 20 persen dari APBN tahun ini ada sebanyak Rp621,28 triliun, namun yang berhasil terealisasi hanya Rp513,38 triliun atau cuma 16,45 persen APBN.
“Kalau dijumlahkan nominalnya sekitar Rp111 triliun tidak terealisasi. Nah kesalahan ini kan berasal dari penyerapan anggaran yang dilakukan tentu saja oleh kementrian-kementrian terkait yang menganggarkan APBN 20 persen ini,” kata Iman kepada reporter Tirto, Jumat (6/9/2024).
P2G menduga jangan-jangan ada upaya pemerintah membuat anggaran pendidikan dari APBN tidak 20 persen, sebab pemerintah selanjutnya punya prioritas program lain. Padahal, angka minimal 20 persen APBN untuk anggaran pendidikan adalah mandat konstitusi.
Iman menilai, seharusnya pemerintah membenahi penyerapan anggaran pendidikan saat ini karena masih minim dirasakan langsung masyarakat. Untuk dana BOS saja, kata dia, masih sangat minim dan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN masih dipakai sebagai dana desa yang tak ada sangkut pautnya dengan pendidikan.
“Mengutamakan program lain yang sebetulnya bukan mandatory kita sebetulnya sekali lagi ya tidak menghormati konstitusi kita,” kata Iman.
Kenapa Realisasi Anggaran Pendidikan Selalu Turun?
Realisasi anggaran pendidikan dari APBN beberapa tahun ke belakang memang mengalami penurunan. Tahun 2020 lalu, anggaran pendidikan terealisasi sampai 93,09 persen, namun turun menjadi 87,2 persen pada 2021. Setahun berikutnya turun lagi menjadi 77,3 persen di 2022. Adapun tahun lalu (2023) meningkat tipis jadi 79,56 persen.
“Padahal kalau kita ingin benar-benar kualitas pendidikan kita meningkat, kita harus lebih efektifkan realisasi anggaran. Karena selama ini kami melihatnya juga tidak tepat sasaran. Tidak langsung ke siswa,” jelas Iman.
Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, melihat sekilas alasan dari Sri Mulyani tampak masuk akal. Padahal, potensial merugikan dunia pendidikan saat pendapatan negara juga tidak stabil.
Di sisi lain, menurut Edi, kebutuhan investasi pendidikan justru naik seiring dengan inflasi dan kebutuhan peningkatan kualitas layanan pendidikan. Jika sumber anggaran pendidikan 20 persen diambil dari pendapatan, maka ada potensi besaran anggaran ikut turun.
“Dengan kata lain, usul Sri Mulyani yang meminta anggaran pendidikan 20 persen diambil pendapatan, rentan turun ketika pendapatan negara turun. Padahal kebutuhan pendidikan tidak pernah turun,” kata Edi kepada reporter Tirto, Jumat (6/9/2024).
Edi setuju bahwa yang perlu dibenahi utama saat ini adalah tata kelola anggaran, sehingga realisasi terserap sesuai mandat 20 persen APBN. Saat ini, ia menilai Kemendikbudristek kurang lincah dan minim kemauan politik untuk meningkatkan kualitas pendidikan lewat tata kelola anggaran yang fleksibel.
“Aneh memang, angka anak tidak sekolah masih lumayan, pengangguran terdidik disumbang oleh SMK, kualitas sekolah belum semuanya sesuai standar minimal tapi kok serapannya hanya 16 persen,” ucap Edi.
Dari gelagat munculnya wacana mengubah mekanisme anggaran pendidikan mendadak, ada kemungkinan pemerintah ingin memprioritaskan anggaran untuk program lain. Edi menilai, pemerintah masih punya proyek mercusuar pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang akan diteruskan di pemerintahan selanjutnya.
“Bisa jadi memang dicari lubang kesempatan untuk dapat cari cara agar anggaran lain dapat dialokasikan ke proyek-proyek ambisius semacam itu. Belum lagi implementasi proyek makan siang gratis, kereta cepat dan lainnya,” jelas Edi.
Kenapa Harus Menyunat Anggaran Pendidikan?
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai wacana mengubah sumber anggaran pendidikan dari pendapatan negara berpotensi bakal menyunat besaran anggaran pendidikan.
Hal ini mengacu kinerja penerimaan negara dalam 10 tahun terakhir yang relatif tumbuh lebih marginal dibandingkan dengan alokasi belanja negara yang pertumbuhannya relatif lebih tinggi.
“Jika mengikuti skema persentase dari penerimaan maka alokasi dan anggaran terutama untuk sektor pendidikan bisa menjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan kondisi ataupun persentase dari alokasi belanja,” kata Yusuf kepada reporter Tirto, Jumat (6/9/2024).
Yusuf memandang kebijakan anggaran pendidikan yang bersifat wajib 20 persen terhadap total APBN sebetulnya sudah sangat progresif. Ia percaya kebijakan ini masuk dalam UUD 1945 sebagai bentuk upaya mendorong kualitas pendidikan negeri ini.
Ia menilai tidak terserapnya anggaran pendidikan secara optimal saat ini disebabkan oleh birokrasi yang kompleks. Ditambah, kurangnya kapasitas manajerial di tingkat sekolah dan dinas pendidikan daerah.
“Serta pengawasan yang lemah, akibatnya efektivitas penyerapan anggaran sering rendah,” ujar Yusuf.
Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai masalah utama dana pendidikan ada dalam penyerapannya, bukan soal besaran anggaran sebagaimana dilontarkan Sri Mulyani. Dari sumber anggaran, menurut Huda, tidak berkaitan langsung dengan soal penyerapan, baik menggunakan pendapatan atau belanja negara.
Namun secara pribadi, Huda memilih agar anggaran pendidikan 20 persen tetap dihitung dari APBN ketika menyusun anggaran. Ia memandang, jika menggunakan outlook maupun APBNP, kemungkinan besar lebih rendah belanjanya dibandingkan dengan APBN.
“Esensinya kan pengeluaran yang dikeluarkan 20 persennya digunakan untuk keperluan pendidikan,” ujar Huda.
Huda tidak suka cara pemerintah dan DPR mengutak-atik mekanisme anggaran pendidikan agar seakan sudah sesuai undang-undang. Padahal, ada kemungkinan wacana utak-atik ini justru menyunat anggaran pendidikan demi program ambisius pemerintah selanjutnya.
“Salah satunya demi memberikan ruang bagi Prabowo [presiden terpilih] untuk implementasi program ambisius miliknya seperti makan bergizi gratis hingga giant sea wall. Jadi memang tujuannya ke sana,” tutur Huda.
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menolak tegas rencana utak-atik anggaran pendidikan 20 persen. Syaiful menilai dengan skema saat ini saja masih banyak anak-anak yang tidak bisa sekolah sebab alasan mahalnya biaya pendidikan.
“Apalagi jika dana pendidikan diturunkan,” kata Syaiful kepada Tirto, Jumat (6/9/2024).
Syaiful melihat bila anggaran pendidikan 20 persen berpatokan pada pendapatan negara, maka besaran anggaran jadi turun. Menurutnya, dalam penyusunan APBN, besaran belanja negara selalu lebih besar diproyeksikan dibandingkan pendapatan negara.
Dalam RAPBN 2025 saja, Syaiful mencontohkan, pos belanja negara diproyeksikan sebesar Rp3.613 triliun. Sementara pos untuk pendapatan negara diproyeksikan Rp2.996,9 triliun.
“Maka, jika patokan 20 persen mandatory spending pendidikan pada pendapatan negara sudah pasti menurunkan alokasi dana pendidikan,” ujar Syaiful.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto