tirto.id - Biaya pendidikan menjadi pemicu utama inflasi di bulan Agustus 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi Agustus 2024 sebesar 2,12 persen secara tahunan dan 0,87 persen secara kalender berjalan. Sementara secara bulanan terjadi deflasi 0,03 persen.
Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, pada Senin (2/9/2024) di Jakarta, menyebut bahwa kelompok pendidikan mengalami inflasi sebesar 0,65 persen. Meski lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi pada Juli 2024, kelompok ini memberikan andil inflasi sebesar 0,04 persen terhadap inflasi umum.
"Biaya sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan akademi/perguruan tinggi menjadi komoditas utama penyumbang inflasi masing-masing sebesar 0,01 persen," kata Pudji.
Tren inflasi tertinggi terjadi di kelompok sekolah dasar dengan besaran 1,59 persen. Diikuti biaya sekolah menengah pertama sebesar 0,78 persen, biaya sekolah menengah atas 0,36 persen, dan tingkat perguruan tinggi dengan 0,46 persen.
Pudji menjelaskan, inflasi dalam kelompok pendidikan disebabkan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Khususnya, kata dia, tingginya biaya SPP di sekolah swasta dan peningkatan biaya UKT di perguruan tinggi.
“Jadi, ini kami catat kalau untuk uang sekolah itu khususnya di sekolah swasta dan kalau perguruan tinggi, ya kalau memang menerapkan UKT berarti ini karena kenaikan UKT,” ujar dia.
Sejumlah pemerhati pendidikan dan ekonom memandang bahwa pemangku kebijakan mesti mengevaluasi pembiayaan pendidikan, terutama untuk pendidikan dasar. Sangat ironis saat pendidikan dasar seharusnya dijamin UUD 1945 dapat dinikmati seluruh warga negara, tapi malah menyumbang inflasi yang tinggi.
Pemerintah dinilai belum mampu menghadirkan pendidikan dasar yang inklusif dan setara bagi seluruh warga. Komersialisasi pendidikan semakin kencang ketika negara justru tak dapat menjamin masyarakat mengeyam pendidikan dasar.
Kesulitan memenuhi biaya pendidikan dirasakan oleh Yono, orang tua salah satu murid SDN di Magelang. Ia merasa, sekolah negeri saja yang seharusnya serba gratis, masih sering kali memungut biaya-biaya pendidikan tambahan bagi wali murid.
Sekolah justru kerap berlindung di balik punggung Komite Sekolah sehingga terkesan tidak ikut campur dari banyaknya pungutan di luar SPP. Pungutan itu, kata dia, seolah dipaksakan sehingga wali murid mau tak mau menerimanya. Padahal, uang yang dibayarkan sering kali tak sedikit.
“Secara formal, sekolah negeri itu gratis tapi faktanya yang gratis cuma SPP. Ada pungutan liar ekstrakurikuler, belum iuran paguyuban wali murid yang terkesan dibuat-buat,” kata Yono ketika dihubungi reporter Tirto dari Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Yono terpaksa harus ikut iuran untuk keperluan-keperluan sekolah yang dibebankan dengan kedok disetujui Komite Sekolah. Ia yakin, banyak orang tua yang enggan bersuara dan ikut saja terbebani ‘pungli’ semacam ini sebab tak ingin anaknya didiskriminasi di sekolah.
“Orang tua menerima karena kesadarannya masih naif, demi kebahagiaan anak meski ada sistem yang menindas. Atau malas ribet dan cekcok, apalagi pendatang kayak diriku,” ucap dia.
Amel, orang tua seorang siswa SD swasta di Kota Depok, merasakan beban yang sama. Ia menilai pemerintah seperti tak peduli terhadap sekolah swasta. Kesannya, kata dia, pemerintah melihat orang tua yang menyekolahkan anak di swasta adalah orang kaya.
Ia berpandangan, tak semua orang tua memiliki ekonomi menengah ke atas meski anaknya sekolah di swasta. Menurutnya, orang tua juga ada yang terpaksa karena gagal memasukan anaknya di sekolah negeri. Atau seperti dirinya, ia merasa di SD swasta tempat anaknya ini memiliki fasilitas pendidikan lebih baik.
“Apapun alasannya, yang pasti sih jangan salah kaprah dong. Bukan semua orang, orang kaya di sekolah swasta, tapi kalau begini kitanya [orang tua] lagi yang disalahkan,” ujar Amel kepada reporter Tirto, Rabu.
Amel sempat mengeluhkan beban tersebut kepada beberapa ‘orang pemerintah’. Namun, ia justru disalahkan karena dianggap memaksakan diri menyekolahkan anak di swasta.
“Apa adil namanya jika gini? Nggak boleh kah anak-anak kita belajar di tempat yang mereka mau? Saya kadang rela utang untuk bayar keperluan dia [anaknya] di sekolah,” keluh Amel.
Pengamat dan praktisi pendidikan, Indra Charismiadji, menilai inflasi yang dipicu kelompok pendidikan merupakan bukti ada kesalahan tata kelola yang dilakukan pemerintah. Inflasi kelompok pendidikan menunjukkan bahwa di Indonesia hak mendapatkan pendidikan dasar belum dipandang sebagai hak asasi.
“Padahal ini hak asasi sesuai Pasal 28C Ayat 1 UUD 45 sekaligus artikel 26 Deklarasi Universal HAM,” kata Indra kepada reporter Tirto, Rabu.
Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 menyebut: “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat”.
Adapun artikel 26 ayat 1 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan”.
“Harusnya jadi pendidikan itu ya gratis tapi di Indonesia itu diperjualbelikan diperdagangkan, bahkan jadi penyumbang inflasi. Ini kan ada tata kelola yang salah,” kata Indra.
Ia menilai komersialisasi pendidikan di Indonesia bertentangan dengan hak asasi manusia. Harusnya, kata dia, mendapat pendidikan dasar sama seperti orang yang beribadah.
Terlebih, Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 menyebut bahwa seluruh warga negara wajib mengemban pendidikan dasar dan negara wajib membiayainya. Itulah mengapa Indra juga tak setuju jika ada pungutan selain SPP di sekolah-sekolah yang membebani wali murid.
“Jadi seharusnya nggak ada biaya-biaya lagi karena ditanggung oleh pemerintah, padahal anggaran pendidikan kita sangat besar loh ratusan triliun. Kan nggak ada masuk masjid beribadah atau ke gereja bayar tiket. Jadi harusnya inklusif, setara, dan adil,” tegas Indra.
Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menilai biaya yang dibayarkan orang tua di luar SPP sekolah termasuk dalam kategori pungli terselubung. Namun yang justru perlu dipertanyakan adalah mengapa hal itu sampai bisa terjadi.
Menurut Edi, biasanya sekolah ingin lebih maju namun dana pemerintah terbatas. Akhirnya sekolah cari dana dari orang tua siswa dan sumber lainnya.
“Harus dikuatkan aturan teknis dan pengawasan serta keterbukaan. Yakni ketika mau melakukan penggalangan dana, harus ada kesepakatan bersama, tidak boleh top down dan semua menerima, karena tidak semua orang tua siswa punya duit,” kata Edi kepada reporter Tirto, Rabu.
Solusinya untuk mengatasi praktik ini adalah memperbesar subsidi pemerintah ke sekolah, pada sekolah negeri terutama. Peningkatan subsidi pendidikan oleh pemerintah, dipandang Edi bakal menekan biaya pendidikan di seluruh tingkatan.
Masalahnya, kemauan politik saat ini arahnya justru menyerahkan akses pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi ke pasar bebas. Ini terlihat dari solusi biaya pendidikan mahal yang disarankan memakai skema pinjaman daring dan pinjaman pendidikan.
Edi menjelaskan, ketika biaya SPP dan UKT naik, maka kebutuhan keluarga harus ditekan untuk bayar keperluan sekolah dan kuliah. Akibatnya, daya beli untuk keperluan atau barang lain akan berkurang. Naiknya inflasi yang disumbang biaya pendidikan menunjukkan biaya pendidikan semakin mahal saat ini.
“Ini sebentuk ketidakpedulian pemerintah pada pendidikan,” ujar Edi.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai inflasi yang utamanya disumbang kelompok pendidikan terkonfirmasi dari kacaunya tata kelola anggaran pendidikan. Anggaran wajib pendidikan 20 persen dari APBN tahun ini ada sebanyak Rp621,28 triliun, namun yang berhasil terealisasi hanya Rp513,38 triliun atau cuma 16,45 persen APBN.
“Berarti ada Rp111 triliun yang tidak terserap sehingga menjadi sorotan Bangar DPR RI. Anggaran itu yang tidak terserap karena memang 52,1 persen atau hampir setengahnya itu untuk transfer ke daerah,” kata Iman kepada reporter Tirto, Rabu.
Masalahnya, kata Iman, transfer ke daerah tidak selalu digunakan membiayai operasional sekolah dan guru-guru. Karena di dalamnya termasuk juga bagian dana desa. Dana desa ini akhirnya mengambil porsi transfer ke daerah yang diambil dari dana pendidikan 20 persen APBN.
“Jadi kelihatan nih dari sisi anggaran saja kami melihat banyak yang salah alamat. Kementerian-kementerian lain yang memiliki program pendidikan juga ambil dari 20 persen anggaran pendidikan yang menyerap sekitar 47,31 triliun,” ujar Iman.
Dari skema pembiayaan pendidikan terlihat, kata dia, bahwa untuk biaya pendidikan umum bagi masyarakat dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, negara ini sangat pelit. Maka, Iman tak heran terjadi inflasi yang utamanya disumbangkan kelompok pendidikan.
“Dana yang direalisasikan untuk pendidikan masyarakat secara luas itu sangat sedikit walaupun anggaranya besar. Jadi tidak langsung ke siswa, tidak langsung ke guru, sebagai aktor utama pendidikan dan tidak langsung ke pembiayaan pendidikan,” jelas Iman.
Reporter Tirto sudah mencoba meminta tanggapan Kemendikbudristek lewat Inspektorat Jenderal Chatarina Girsang dan Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat, Anang Ristanto. Kendati demikian, permohonan wawancara yang dikirimkan ke gawai mereka tidak direspons. Adapun Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek, Muhammad Hasbi, hanya membaca pesan yang dilayangkan Tirto dan tidak merespons.
Pola Berulang
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai inflasi yang disumbang oleh kelompok pendidikan, memang di bulan Agustus sering menjadi paling tinggi dari sepanjang tahun. Hal ini, kata dia, ada kaitannya dengan momen pembayaran SPP dan juga tahun ajaran baru di sekolah dan perguruan tinggi.
Terlepas dari pola yang berulang, patut dipertanyakan kenapa hal ini terus menerus terjadi dan dibiarkan. Faisal memandang bahwa hal ini menjadi ironis, terlebih terjadi di kelompok pendidikan dasar. Ia menilai pemerintah harus lakukan evaluasi dan tak hanya membiarkan pola ini terjadi setiap tahun.
“Artinya perlu ada evaluasi terhadap sistem pembiayaan, terutama untuk pada pendidikan tingkat dasar,” kata Faisal kepada reporter Tirto, Rabu.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan inflasi kelompok pendidikan membuktikan biaya sekolah dasar memang alami peningkatan paling tajam. Padahal, sekolah negeri sudah gratis. Bisa jadi sekolah swasta jadi penyumbang inflasi untuk kelompok pendidikan sekolah dasar.
“Setidaknya penyumbang paling besar. Hal ini sangat terkait dengan tren sekolah dasar swasta yang tengah naik permintaannya dengan harga yang sangat fantastis,” kata Huda kepada reporter Tirto, Rabu.
Ia melihat, masyarakat berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke sekolah dasar swasta. Akibatnya harga sekolah swasta jadi melambung tinggi. Fakta ini juga yang menyebabkan tabungan kelas menengah di Indonesia kian menurun.
Seharusnya, kata dia, sekolah negeri harus perlu bersaing secara kualitas agar masyarakat diberikan pilihan sekolah negeri yang sama bagusnya. Bahkan, karena dikelola pemerintah, seharusnya bisa jauh lebih bagus dibandingkan dengan sekolah swasta. Bukan justru malah menimbulkan diskriminasi bagi masyarakat dalam skema penerimaan melalui PPDB.
“Tapi percuma sih, menterinya saja tidak pernah terlihat, fokus ke teknologi-teknologi saja, urusan pemerataan pendidikan, Nadiem tidak perform sama sekali,” tandas Huda.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky