Menuju konten utama

Benahi Alokasi Anggaran Pendidikan di APBN agar UKT Tak Mahal

Temuan KPK mengungkap anggaran pendidikan 20 persen dari APBN justru lebih banyak mengalir untuk perguruan tinggi kementerian/lembaga (PTKL) dibanding PTN.

Benahi Alokasi Anggaran Pendidikan di APBN agar UKT Tak Mahal
Sejumlah mahasiswa melakukan aksi di depan Kampus D, Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat, Senin (27/7/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/pras.

tirto.id - Polemik biaya mahal perguruan tinggi negeri (PTN) ternyata tak semata disebabkan oleh eksistensi regulasi yang membuka jalan untuk memerah kantong mahasiswa. Di baliknya ada pula persoalan karut-marut alokasi anggaran pendidikan yang tumpang tindih dan dinilai timpang. Hal ini terkuak dari temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Panitia Kerja (panja) Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI yang mengkaji penggunaan anggaran pendidikan dari APBN.

Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, mengungkap anggaran pendidikan 20 persen dari APBN untuk perguruan tinggi justru lebih banyak mengalir ke kantong perguruan tinggi yang dikelola kementerian/lembaga (PTKL) dibanding perguruan tinggi negeri (PTN).

Menurut Pahala, alokasi untuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) sekitar Rp7 triliun, sementara untuk perguruan tinggi kementerian/lembaga mencapai Rp32 triliun.

Menurutnya, hal ini berpengaruh pada mahalnya biaya PTN. Dia menjelaskan, saat ini BOPTN yang disediakan cuma memenuhi 30 persen kebutuhan. Maka sebanyak 70 persen PTN harus mencari sendiri sisanya. Di sini akhirnya terbuka celah untuk membebankan sisanya ke para mahasiswa baru ataupun bisnis mandiri yang dikelola PTN.

“Itulah UKT, itulah jalur mandiri, itulah bisnis PTN,” ujar Pahala di Gedung KPK, Jakarta, Senin (10/6/2024).

Salah satu cara lain yang diambil PTN untuk menutup kekurangan operasional adalah membuka jalur mandiri. Pahala menilai akhirnya jalur ini laiknya ‘jalur samping’, yakni rawan biaya mahal sewenang-wenang karena ada mekanisme sumbangan iuran pengembangan institusi (IPI).

Masalahnya, dari hasil KPK mengundang 14 kementerian/lembaga yang mendapat alokasi anggaran pendidikan, ternyata penggunaan dana PTKL juga banyak tidak sesuai ketentuan. Ada kementerian/lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, namun jebolannya tidak menjadi pegawai negeri sipil (PNS), padahal selama masa pendidikan sudah dibiayai.

Selain itu, terdapat juga kementerian/lembaga yang memakai dana pendidikan tinggi untuk pembiayaan operasional SMK. Malahan, anggaran pendidikan tinggi ada yang digunakan untuk pendidikan dan pelatihan internal pegawai kementerian/lembaga tersebut.

Pahala menilai PTKL perlu ditertibkan karena menyedot biaya operasional perguruan tinggi dari APBN. Subsidi pemerintah untuk PTN, kata dia, cuma sekitar Rp3 juta per mahasiswa, sementara di PTKL bisa mencapai Rp16-20 juta per mahasiswa setiap semester.

“Ini kan tidak adil. Kalau mau menyelenggarakan PT kementerian/lembaga, ya, jadi pegawai negeri sipil, seperti Akademi Kepolisian, Akademi Militer, atau IPDN,” tegas Pahala.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengamini temuan KPK mengindikasikan bahwa tata kelola anggaran pendidikan tinggi yang masih sengkarut menjadi salah satu faktor membengkaknya biaya pendidikan. Seharusnya anggaran pendidikan PTKL bisa diambil sepenuhnya dari alokasi anggaran masing-masing kementerian/lembaga.

“Anggaran pendidikan belum dikelola secara efektif, yang terjadi malah bocor dimana-mana, termasuk PTKL ini mestinya tidak ambil dari anggaran pendidikan [APBN], tapi ambil saja dari anggaran kementerian/lembaga masing-masing,” kata Ubaid kepada reporter Tirto, Kamis (13/6/2024).

Ubaid menilai pengelolaan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN masih sangat minim transparansi. Padahal, dana ini tidak hanya digunakan oleh Kemendikbudristek saja, namun dialokasikan juga pada kementerian/lembaga dan transfer dana desa dan daerah.

Mengacu PP Nomor 76/2023 tentang Rincian APBN 2024, alokasi anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp665 triliun. Anggaran pendidikan tinggi yang dikelola di bawah Kemendikbudristek cuma dapat alokasi Rp56,1 triliun atau 1,6 persen dari total APBN. Padahal, standar ideal yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebesar 2 persen dari APBN.

“PTKL mestinya didanai oleh K/L masing-masing, jangan lah nyedot anggaran pendidikan,” terang Ubaid.

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, ikut menyoroti temuan KPK ihwal besaran subsidi anggaran yang timpang antara PTN dan PTKL. Huda memandang, kajian KPK perlu ditindaklanjuti secara serius oleh stakeholder pendidikan tinggi di Tanah Air. Dia berharap ada evaluasi pengelolaan sekolah kedinasan untuk efektivitas anggaran.

“Sehingga alokasi subsidi untuk mahasiswa di PTN bisa diperbesar,” ujar Huda kepada reporter Tirto, Kamis.

Huda membenarkan anggaran yang dialokasikan untuk subsidi operasional PTN cuma sekitar Rp7 triliun, sedangkan anggaran untuk PTKL mencapai Rp32,859 triliun. Padahal, kata dia, sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian Lain dan Lembaga Pemerintah Non-kementerian (PTKL) yang turut mengatur anggaran pendidikan PTKL.

Sayangnya, dia memandang aturan tersebut belum sepenuhnya terimplementasi di lapangan. Salah satu pokok pengaturan dalam PP PTKL yakni bahwa kementerian/lembaga tetap diperbolehkan menyelenggarakan PTKL. Namun, penerapannya dengan tetap mengacu Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Kemendikbudristek.

“Hanya saja hal ini tidak bisa terlaksana karena terbentur ego sektoral antar lembaga,” tutur Huda.

Tahun lalu, Kemendikbudristek mendata PTKL tersebar di 24 kementerian/lembaga yang jumlahnya mencapai 145 perguruan tinggi. Berdasarkan PP Nomor 57/2022, mahasiswa di PTKL kedinasan jalur formal berasal dari pegawai negeri dan calon pegawai negeri. Sementara mahasiswa PTKL non-kedinasan diisi oleh masyarakat umum.

Anggaran untuk PTKL kedinasan, seharusnya tidak termasuk dalam 20 persen anggaran pendidikan dari APBN. Sementara untuk PTKL non-kedinasan, termasuk dalam anggaran 20 persen pendidikan APBN. Dari 24 kementerian/lembaga yang menyelenggarakan PTKL, sebagian besarnya berstatus non-kedinasan.

Evaluasi Tata Kelola PTKL

Pemerhati pendidikan, Indra Charismiadji, menilai memang ada masalah ketika anggaran pendidikan tinggi lebih banyak lari ke PTKL, alih-alih banyak membantu operasional PTN di bawah Kemendikbudristek. Dia mencontohkan, Kementerian Sosial saja mendapatkan jatah dari anggaran pendidikan sebesar Rp12 triliun. Sementara Dikti Kemendikbudristek hanya mengelola Rp38 triliun untuk perguruan tinggi, belum bicara kucuran anggaran pendidikan di kementerian/lembaga lain.

“Kalau menurut saya ini adalah bagian dari pelanggaran konstitusi karena kalau kita lihat pasal 49 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, itu mengatakan anggaran pendidikan yang 20 persen itu di luar sekolah kedinasan,” kata Indra kepada reporter Tirto, Kamis.

Indra mendesak adanya evaluasi tata kelola anggaran untuk PTKL, seraya mengecek mana yang kedinasan dan non-kedinasan. Jika masih ada anggaran pendidikan 20 persen APBN yang mengalir ke PTKL kedinasan, maka hal itu merupakan bentuk pelanggaran konstitusi.

“Kalau selama ini terjadi pelanggaran undang-undang tapi dibiarkan saja dampaknya apa? Biaya pendidikannya jadi mahal, UKT [PTN] meningkatnya bisa naik 800 persen itu sangat merugikan rakyat,” ujar Indra.

Dia memandang memang ada salah kelola anggaran pendidikan 20 persen APBN. Buktinya, banyak perguruan tinggi swasta (PTS) yang justru berjalan lebih lancar dan murah dibandingkan PTN yang belakangan ini diprotes karena menggenjot biaya UKT. Padahal, PTS tidak mendapatkan operasional anggaran sebanyak PTN dan dosennya pun tidak digaji oleh negara.

“Ini [juga] melanggar Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah harus mengupayakan satu sistem pendidikan nasional. Dengan adanya perguruan tinggi dikelola oleh berbagai kementerian/lembaga ya itu namanya terjadi multisistem,” tegas Indra.

Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, memandang faktor utama UKT mahal di perguruan tinggi negeri tetap terjadi akibat hadirnya kebijakan PTN-BH [Berbadan Hukum] yang membatasi subsidi atau bahkan mengurangi subsidi dari pemerintah. PTN-BH cuma dapat subsidi sekitar 30 persen atau bahkan kurang dari itu.

“Kalau jomplang antara anggaran PTN yang di bawah naungan Kemdikbudristek dan PTKL itu sebenarnya problem penganggaran dan ego sektoral kementerian,” kata Edi kepada reporter Tirto, Kamis.

Persoalan itu seandainya bisa ditata ulang, kata dia, maka PTKL seharusnya cuma menerima calon persiapan tenaga kerja spesifik untuk kementerian atau lembaga yang menaungi mereka. Maka anggaran besar untuk PTKL bisa dialihkan untuk menambah subsidi perguruan tinggi negeri, termasuk PTN-BH.

Raker Komisi X DPR dengan Kemendikbud Ristek

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/5/2024). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

Edi juga memandang keputusan Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, untuk menunda kenaikan biaya UKT sebagai kebijakan populis yang bersifat sementara. Artinya, kebijakan tersebut bakal disukai orang banyak, tapi bersifat temporal karena tahun depan diprediksi UKT pasti tetap naik.

“Hal tersebut akan terjadi ketika tidak ada tambahan pendanaan dari pemerintah untuk PTN, terutama PTN-BH, sementara kebutuhan kampus bertambah banyak seiring kontrak program kerja dengan Kemendikbudristek menuju world-class university,” jelas Edi.

Keputusan penundaan ini jika dilihat dari sisi perguruan tinggi negeri tentu bakal kurang mengenakkan, karena menghapus potensi pemasukan yang sedianya untuk membiayai program kerja yang sudah dicanangkan. Di sisi lain, subsidi anggaran pendidikan pemerintah untuk mereka sendiri tidak bertambah.

Data temuan KPK, kata dia, menunjukkan kekalahan negosiasi dan politik anggaran dari Kemendikbudristek ketika berhadapan dengan ego sektoral kementerian/lembaga lain. Dia berharap ada visi yang jelas dan prioritas dari pemerintah terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi agar berakhir tidak memberatkan rakyat.

"Oleh karena itu, perlu ada visi yang jelas dari pemerintah, terutama Presiden dan kabinet yang akan datang untuk memperjelas prioritas anggaran pendidikan,” ujar Edi.

Baca juga artikel terkait UKT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri