Menuju konten utama
Decode

Apakah Student Loan Solusi Mahalnya Biaya UKT?

Direktur Celios, Bhima, menyatakan bahwa skema pinjaman pendidikan alias student loan merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang paling berbahaya.

Apakah Student Loan Solusi Mahalnya Biaya UKT?
Header Periksa Data Apakah Student Loan Bisa Menjawab Carut Marut Masalah UKT. tirto.id/Fuad

tirto.id - Di tengah hiruk pikuk perbincangan publik soal Uang Kuliah Tunggal (UKT) pendidikan tinggi, Alri, seorang mahasiswa Teknik Rekayasa Konversi Energi, mengisahkan pengalamannya yang selalu mengajukan surat telat bayar setiap periode pembayaran UKT di kampusnya.

Kepada Tirto, pelajar yang kini duduk di semester 6 di Fakultas Vokasi, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, itu mengungkap, UKT yang harus dibayarkan per semester sebesar Rp7,5 juta kurang sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi keluarganya.

Alri yang hanya hidup bersama ibunya, yang sehari-hari bekerja sebagai wirausaha jasa laundry, bukan berarti tak pernah berusaha mengajukan keringanan. Akan tetapi, percobaannya saat semester 2 ditolak oleh universitas, sehingga membuat harapannya pupus.

“Padahal tiap semester itu aku minta surat, apa ya, surat keterlambatan gitu itu. Jadi fun fact-nya dari semester 2 sampai 4 itu [bayar UKT-nya] terlambat terus setiap semesternya,” katanya ketika berbincang via telepon, sepulang ia magang, Selasa (4/6/2024).

Tak hanya terlambat, ibunya pun harus terlebih dahulu meminjam uang ke tetangganya setiap mau membayar UKT Arli. Sebelum akhirnya mendapat beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) pada semester 5, Alri juga sempat membuka jasa cuci sepatu di kosnya, demi memenuhi biaya sewa kos dan uang saku bulanan.

Menyoal banding UKT yang ditolak universitas, Alri merasa, mungkin karena “dokumen pendukungnya kurang kuat”. Ia bilang, temannya yang memakai surat keterangan orang tua meninggal pun tak diterima, dengan begitu Alri merasa kemungkinan lolosnya memang kecil.

Alri juga bilang, UKT sebesar Rp7,5 juta memang angka paling minim yang ia temui di antara mahasiswa lain yang masuk lewat jalur mandiri prestasi seperti dirinya.

“Waktu angkatanku masuk itu emang terendah di mandiri prestasi itu 7.500.000. Jadi mau kayak pemberkasannya kayak gimana pun ya UKT-nya 7.500.000,” imbuhnya.

Padahal, apabila menilik laman resmi ITS, tertulis bahwa UKT mahasiswa jalur Seleksi Mandiri Beasiswa dibagi dalam beberapa kategori yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa, dan diterapkan dengan kategori atau kelompok sesuai dengan program studinya.

Untuk jurusan yang Alri ambil, pada 2024, nominal UKT-nya merentang dari Rp500 ribu hingga tertinggi Rp12,5 juta. Begitu pula dengan jurusan D4 lain, termasuk Teknik Sipil, Teknologi Rekayasa Manufaktur, dan Teknologi Rekayasa Otomasi.

Serupa dengan Alri, permasalahan UKT yang terlalu tinggi pun dirasakan oleh salah seorang calon mahasiswa baru di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto. Seperti dilaporkan Tirto, Jumat (26/4/2024), Naufal, yang diterima di jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, menuturkan beban UKT sebesar Rp9 juta ia nilai tak masuk akal.

Di samping karena ibunya sudah meninggal, ayahnya, yang berprofesi sebagai pegawai swasta, saat ini menafkahi 6 orang. Keenam tanggungan itu terdiri dari tiga keluarga inti Naufal dan tiga anggota keluarga dari pihak mendiang ibunya.

"Bahkan gaji orangtua saya, dengan jumlah tanggungan yang ada, di situasi tidak makan pun masih belum mencapai limit pembayaran," ungkap dia.

Kenaikan UKT memang belakangan cukup santer dikeluhkan warganet di media sosial, bahkan ramai demo yang terjadi di berbagai kampus, salah satunya di Universitas Brawijaya (UB), Malang. Mengutip Tempo, Aliansi Mahasiswa Resah UB atau Amarah Brawijaya melakukan aksi demonstrasi menolak komersialisasi perguruan tinggi, pada Rabu (22/5/2024).

Seperti diketahui, UKT di beberapa PTN naik mengikuti aturan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).

Terkait hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memanggil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim ke Istana Merdeka, Jakarta, Senin (27/5/2024) lalu.

Hasilnya, ia membatalkan kenaikan UKT tahun akademik 2024/2025 di seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia. Per 27 Mei 2024. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah meneken surat pembatalan kenaikan UKT dan Iuran Perguruan Tinggi (IPI) tahun akademik 2024/2025, di 75 Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Beberapa di antaranya Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), ITS, UB, Unsoed, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Halu Oleo.

Biaya UKT Makin Selangit adalah Imbas Kebijakan PTN-BH?

Melongok secara historis, UKT perguruan tinggi memang bisa dibilang menunjukkan tren kenaikan. Di lingkungan UGM, Yogyakarta, misalnya, pada tahun akademik 2015/2016, UKT untuk Program Sarjana Agronomi terbagi atas 6 kelompok, dengan biaya termurah Rp500 ribu dan paling mahal Rp9 juta.

Lalu pada periode 2023/2024, biaya kuliah S1 jurusan Agronomi UGM mencapai maksimal Rp10 juta, tetapi ada opsi pendidikan gratis atau Rp0 untuk kategori “UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 100 persen”. Kemudian untuk UKT bersubsidi 75 persen, besarnya Rp2,5 juta, sementara yang bersubsidi 50 persen sebesar Rp5 juta, dan bersubsidi 25 persen biayanya Rp7,5 juta.

Selain UGM, biaya kuliah di Universitas Syiah Kuala, Aceh, pun memperlihatkan tren senada, bahkan untuk jurusan sosial humaniora (soshum). Jika pada tahun akademik 2017/2018, UKT untuk program S1 Reguler jurusan Akuntansi paling mahal berkisar antara Rp3,55 juta sampai Rp8 juta, pada periode 2023/2024, nominal paling besar dipukul rata senilai Rp7.415.000.

Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, berpendapat atas fenomena itu. Ia menyebut, akar masalah dari kenaikan UKT yang terjadi di sejumlah PTN saat ini adalah imbas dari adanya kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).

Untuk diketahui, kebijakan PTN-BH sendiri lahir seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang mengatur bahwa kampus negeri terdiri dari tiga status, yaitu PTN-BH, Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU), serta alias Perguruan Tinggi Negeri sebagai Satuan Kerja Kementerian (PTN-Satker).

Status PTN-BH di Indonesia saat ini disandang oleh 21 perguruan tinggi, yang tersebar di beberapa provinsi, di antaranya Universitas Andalas (Sumatera Barat), Universitas Syiah Kuala (Aceh), IPB (Bogor, Jawa Barat), UGM (DIY), UNDIP (Jawa Tengah), UNAIR (Jawa Timur), dan Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan).

Edi menjelaskan, begitu kampus menjadi PTN-BH, pemerintah akan memberikan uang saku agar kampus dapat berkembang. Namun biaya ini terbatas, berikutnya pemerintah hanya akan memberikan subsidi ke PTN-BH kisaran 30 persen dari total semua anggaran yang diperlukan. Sisanya, atau 70 persen lagi, ada kewenangan otonomi kampus untuk mencari dana sendiri.

Lebih jauh, Edi menilai, kewenangan yang besar ini awalnya diharapkan mampu membuat PTN menjadi lebih mandiri dan berkembang. Tapi, kenyataannya, masih ada persoalan UKT tinggi yang tak tepat sasaran sehingga aturan ini malah jadi seperti usaha komersialisasi. Ia menambahkan, hadirnya Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 yang mengatur UKT semakin memperparah situasi ini.

Aturan tersebut hanya mengatur biaya UKT untuk kelompok 1 dan 2, sisanya bisa ditetapkan pihak kampus sesuai kebutuhan. Hal ini yang membuat besaran UKT bagi mahasiswa baru di sejumlah perguruan tinggi negeri naik berkali-kali lipat serta mengundang gelombang protes yang masif.

“Akar masalah UKT naik adalah pengurangan subsidi pemerintah untuk pembiayaan PTN-BH dan ketidakmampuan PTN-BH dalam menggali income generating dari sumber selain mahasiswa. Jadi, akar utamanya adalah kebijakan PTN-BH itu sendiri. Permendikbud no. 2 tahun 2024 menjadi cara agar kampus PTN-BH makin merdeka dalam memungut uang kuliah melalui UKT terutama,” terangnya, lewat pesan teks, Rabu (5/6/2024).

Tirto pernah merangkum besaran UKT tahun akademik 2023/2024 di 5 PTN terbaik di Indonesia berdasarkan QS World University Ranking 2024. Dalam kategori program sarjana rumpun sains, teknologi, dan kesehatan, di UI misalnya, UKT paling rendah yakni Rp0 dan tertinggi yakni Rp20 juta.

Di UNAIR, harganya lebih tinggi lagi. Harga UKT tertingginya bahkan mencapai Rp25 juta di universitas tersebut, meski level harga UKT paling rendahnya 0. Berbeda dengan IPB, yang besaran UKT paling murahnya Rp2,4 juta, lalu UKT tertinggi menyentuh angka Rp20 juta.

Jika melihat kisaran biaya kuliah, biaya kuliah program sarjana bidang soshum dapat dikatakan lebih rendah dibanding bidang sains, teknologi, dan kesehatan. Di IPB, nominal UKT paling kecil yakni Rp2,4 juta dan tertinggi sebesar Rp12 juta. Kemudian di UGM, UKT paling besar berada di level Rp11 juta dan paling kecil Rp0.

Namun demikian, tren ini tak berlaku di ITB, di mana nominal UKT paling besar untuk jurusan soshumnya mencapai Rp20 juta.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) merekam, semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin besar pula biaya yang mesti dikeluarkan. Pada 2021, BPS mencatat, rerata total biaya untuk SD negeri yakni Rp2,81 juta dan SD swasta Rp4,93 juta. Sementara di level SMP/sederajat, untuk sekolah negeri rata-rata biayanya Rp5,11 juta dan untuk swasta mencapai Rp6,79 juta.

Memasuki jenjang perguruan tinggi, masyarakat mesti morogoh kantong lebih dalam lagi, sebab rerata biaya untuk kampus negeri menyentuh angka Rp12,71 juta dan kampus swasta Rp17,01 juta.

Menurut Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, tingginya biaya kuliah saat ini menjadi penyebab rendahnya angka akses pendidikan tinggi di kalangan masyarakat. Hal itu tergambar dari Survei Sosioekonomi Nasional (Susenas) BPS 2023 yang menunjukkan hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang menamatkan perguruan tinggi.

Jumlahnya hanya sekitar sepertiga penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas dengan jenjang SMA/sederajat, yang berada di kisaran 30,22 persen, sementara SMP/sederajat sebesar 22,74 persen.

Dari sisi ekonomi, Huda menyoroti adanya kesenjangan yang tinggi antara kenaikan inflasi di dunia pendidikan dan kenaikan pendapatan upah masyarakat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor semakin tak terjangkaunya biaya kuliah.

“Misalnya, 10 tahun lalu uang kuliah kita di angka Rp1 juta, tahun 2014 naik jadi Rp5 juta. Nah, naik lagi kemarin (tahun ini) jadi tembus Rp12 juta. Artinya, kenaikannya cukup tajam. Jika digambarkan secara grafik, kenaikan inflasi di sektor pendidikan ini eksponensial dia melajunya cepat sekali. Sementara, kenaikan pendapatan masyarakat cukup flat atau landai,” kata Huda ketika berbincang dengan Tirto, Rabu (5/6/2024).

Harian Kompas pernah merilis hasil analisis data dengan temuan serupa. Orangtua Indonesia di masa depan disebut makin sulit membiayai kuliah anaknya lantaran kenaikan biaya pendidikan perguruan tinggi tidak diimbangi oleh peningkatan gaji.

Ironisnya, di kondisi seperti ini, Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek menyampaikan bahwa pendidikan di perguruan tinggi bersifat tersier. Menurutnya, pendidikan di perguruan tinggi hanya ditujukan bagi lulusan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah yang ingin mendalami lebih lanjut suatu ilmu.

"Tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar," kata Tjitjik di Kantor Kemendikbud Ristek, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2024).Pernyataan Tjitjik ini telah menuai protes dari berbagai pihak.

Penerapan Student Loan di Indonesia Justru Akan Jadi Beban Ganda

Seiring dengan ramainya keluhan masyarakat soal mahalnya UKT perguruan tinggi, pemerintah merespons dengan wacana pinjaman pendidikan atau student loan.

Dalam agenda rapat di DPR bersama Komisi X, Selasa (21/5/2024), Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, menyatakan wacana itu masih dalam tahap pembahasan di Kementeriannya. Dia juga menambahkan bahwa kini wacana tersebut bakal dibahas cukup panjang bersama kementerian di luar bidang pendidikan.

Edi dari UNNES menilai, wacana student loan bukan merupakan solusi terbaik dari permasalahan tingginya biaya kuliah saat ini. Alih-alih, skema ini justru akan melemparkan masalah tingginya biaya kuliah sebagai hal yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat.

“Skema student loan bukan solusi terbaik, karena akan memberi beban ganda ke mahasiswa peserta skema tersebut. Jika ditagih ketika kuliah, maka ia bebannya bukan cuma kuliah, tapi juga kerja untuk dapat sekaligus bisa bayar loan. Potensi gagal besar, bahkan berisiko DO [dikeluarkan] karena tidak fokus studi. Kalau ditagih ketika lulus, bebannya tetap ganda. Ia harus menanggung beban kebutuhan hidup, misal berumah tangga, biaya pendidikan anak-anaknya, sekaligus bayar hutang,” katanya.

Segendang sepenarian, penolakan atas kebijakan student loan juga datang dari Direktur Celios, Bhima. Dia menyatakan bahwa skema pinjaman pendidikan alias student loan merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang paling berbahaya.

Mahasiswa, kata Bhima, seakan diajari berhutang besar sejak dini. Namun, begitu lulus, gaji belum tentu sebanding dengan beban cicilan utang yang harus dibayar.

“Akibatnya banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja tapi sebenarnya di bawah standar biaya hidup yang layak. Kondisi ini menyebabkan pemiskinan calon tenaga kerja secara struktural,” kata Bhima saat dihubungi Tirto, Selasa (4/6/2024).

Kemudian, dari sisi perbankan, Bhima juga menilai penerapan student loan di Indonesia akan menemui beberapa hambatan. Salah satunya adalah kepastian mendapatkan pekerjaan selepas lulus perguruan tinggi yang cukup rendah.

Ia menyinggung data BPS periode Agustus 2023 yang merekam kalau tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas mencapai 5,18 persen. Selain itu, persentase penyerapan tenaga kerja lulusan universitas hanya sebesar 10,3 persen.

“Dengan kondisi itu, maka risiko kredit macetnya besar. Bank kan repot juga kalau nanti student loan jadi NPL [non-performing loan]. Jadi dari segi bisnis risiko student loan cukup tinggi. Ada kekhawatiran tingkat gagal bayar student loan di indonesia cukup tinggi dan ini akan mempengaruhi performa dari lembaga keuangan yang memberikan pinjaman,” lanjut Bhima.

SMERU Research Institute pernah melakukan studi yang mengkaji kemungkinan penerapan sistem income-contingent loan/ICL (peminjam mulai membayar kembali setelah pendapatannya mencapai ambang batas tertentu) untuk membiayai pendidikan tinggi di Indonesia. Studi tersebut mempertimbangkan tiga skema pinjaman: tanpa bunga riil, dengan biaya tambahan 25 persen dari total pinjaman, dan dengan bunga riil 2 persen.

Hasilnya, ICL dengan beban pembayaran yang lebih rendah dinilai layak dilakukan di Indonesia dan diperkirakan dapat meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi.

Namun, skema ini dikatakan memerlukan dukungan dari otoritas pajak, karena pembayarannya perlu dikelola melalui sistem perpajakan. Pemerintah juga mesti menyusun strategi untuk menjangkau lulusan yang memilih bekerja di sektor informal.

Huda dari CELIOS pun mengungkap, skema pembayaran student loan berdasarkan proporsi pendapatan akan berjalan lebih baik dibanding dengan skema seperti pinjaman online atau student loan di Amerika Serikat (AS) yang berbasis waktu, lantaran dinilai memiliki resiko fraud atau gagal bayar yang tinggi.

“Pembayarannya berdasarkan proporsi pendapatan, jadi ketika mereka sudah bekerja dengan pendapatan tertentu mereka baru bisa untuk membayar cicilan student loan. Tujuannya, jangan sampai ketika lulus mereka diberikan beban yang begitu tinggi misal pendapatan mereka Rp2 juta tapi harus bayar Rp3 juta,” ungkapnya kepada Tirto, Rabu (5/6/2024).

Huda membeberkan, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan pemerintah dalam rangka merumuskan kebijakan student loan ini. Pertama, Ia mengusulkan, agar student loan yang diterapkan nantinya berbentuk pinjaman tanpa bunga.

Student loan itu dikaji tidak masalah, implementasinya pun tidak masalah, tapi yang jelas kita mendukung bahwa tidak ada biaya tambahan untuk student loan. Jadi student loan itu tidak ada bunganya, nah ini yang kita dorong,” katanya.

Tren Pinjaman Mahasiswa di Berbagai Negara

Apabila menengok gambaran pinjaman pendidikan di berbagai negara, terlihat bahwa rata-rata pinjaman setiap mahasiswa di Inggris mencapai 45.600 poundsterling atau setara Rp940 juta dengan konversi kurs per Jumat (31/5/2024).

Sementara di AS, angkanya dua kali lipat lebih rendah, hanya berkisar 29.400 dolar AS atau sekitar Rp477,84 juta. Kemudian di Australia tak terpaut signifikan, menyentuh Rp430,61 juta, sedangkan di Belanda Rp371,86 juta, dan di Kanada Rp363,85 juta.

Tapi, tak seperti di Inggris dan Australia, sistem pinjaman mahasiswa di AS dan Kanada dilakukan berbasis waktu, dalam artian pelunasan pinjaman dilakukan dalam jumlah yang telah ditentukan selama jangka waktu tertentu. Sebagaimana dikatakan Huda, skema ini tak bisa terlepas dari risiko menunggak atau gagal bayar.

Pada kuartal ketiga 2023, Federal Reserve (Bank Sentral AS) melaporkan bahwa kurang dari 1 persen utang pinjaman mahasiswa setidaknya telah menunggak selama 90 hari atau gagal bayar. Namun angka ini barangkali tak menggambarkan keadaan sebenarnya.

Sebagai respons terhadap pandemi COVID-19, pembayaran dan bunga pinjaman mahasiswa ditangguhkan, dan penagihan pinjaman mahasiswa yang gagal bayar juga terhenti. Langkah tersebut kini telah berakhir. Bunga pinjaman pelajar dilanjutkan pada 1 September 2023, dan pembayaran pinjaman pelajar pertama sejak pandemi dimulai akan jatuh tempo pada 1 Oktober 2023.

Melihat tren tahun-tahun sebelum pandemi, menurut data Federal Reserve selama 2010 - 2019, persentase mereka yang menunggak selama 90 hari atau gagal bayar berada di rentang 13,15 persen sampai 17,59 persen.

Secara umum, merujuk survei tahun 2022 yang dilakukan Federal Reserve, paling tidak sekira 30 persen dari seluruh orang dewasa AS (4 dari 10 orang yang kuliah) tercatat berhutang untuk melanjutkan kuliah.

Sementara di Australia, skema student loan sendiri hadir lewat program bernama bernama HELP (Higher Education Loan Program). Skema ini diatur dalam dalam Undang-Undang Dukungan Pendidikan Tinggi tahun 2003 (HESA) dan dikelola penuh oleh pemerintah melalui Departamen Pendidikan Australia.

Seperti yang telah disinggung, skema peminjaman yang ditawarkan dalam program HELP ini adalah pinjaman berbasis pendapatan (income-contingent loan). Dalam praktiknya, siswa yang mengambil program ini dapat menunda pembayaran pinjaman kuliah mereka sampai mereka memiliki penghasilan dengan angka minimum tertentu yang biasanya ditentukan berdasarkan rata-rata pendapatan sebagian besar lulusan S-1.

Data dari Finder yang mengutip Australian Taxation Office (ATO) mengungkap pada tahun 2023 diperkirakan ada sekitar 2,9 juta warga Australia yang telah meminjam dana dengan total mencapai 78,23 dollar AS lewat program HELP ini.

Secara lebih rinci, data tersebut merangkum bahwa sepanjang tahun 2022-2023 rata-rata hutang pelajar dalam program ini mencapai 26.494 dolar AS. Angka ini tercatat naik dari catatan rata-rata tahun 2021-2022 yaitu sebanyak 24.771 dolar AS.

Meski bentuk student loan di Australia berbasis pendapatan, namun masih memiliki suku bunga pinjaman yang dinilai tinggi. Pada tahun 2023 misalnya, program HELP memiliki tingkat suku bunga pinjaman (indexation rate) mencapai 7,1 persen sebelum direvisi oleh pemerintah menjadi sebesar 3,2 persen.

Analisis Finder mengungkap, tingkat suku bunga pinjaman student loan di Australia pada tahun 2024 mencapai rata-rata sebesar 4,75 persen, tertinggi kedua sejak tahun 1990. Ini berarti rata-rata warga Australia yang memiliki utang pelajar akan membayar 1.258 dolar AS lebih banyak per tahun ketika indeksasi mulai berlaku pada 1 Juni 2024. Menariknya, survei Finder menyebut 63 persen pelajar yang memiliki utang ini khawatir tentang kemampuan mereka untuk bisa melunasi hutang student loan ini.

Pemerintah Perlu Persempit Gap Antara Pendapatan dan Biaya Pendidikan

Lebih lanjut, jika memang kenaikan biaya kuliah ini tak bisa dihindarkan, Huda dari CELIOS meminta pemerintah dan pihak perguruan tinggi negeri (PTN) untuk melakukan hal tersebut secara rasional.

“Kita tidak masalah harga pendidikan naik tapi harus rasional. Kita tahu semua barang naik tapi biaya pendidikan naik terlalu tinggi bukan hanya naik tapi meroket. Kita harapkan untuk basis kenaikan UKT itu berdasarkan kenaikan pendapatan gaji masyarakat atau dari kenaikan inflasi. Inflasi kita sekarang di angka 2 persen tapi biaya pendidikan bisa meroket sampe ratusan persen,” katanya, Rabu (5/6/2024).

Ia juga meminta pemerintah untuk menjaga agar tidak terjadi kesenjangan yang tinggi antara gap antara pendapatan masyarakat dan biaya pendidikan. Salah satu caranya, adalah dengan cara turut mengupayakan adanya kenaikan upah minimum bagi pekerja.

“Dari sisi pendapatan masyarakat harus diperhatikan betul sama pemerintah jangan sampai pendapatan masyarakat kita dibiarkan terus landai di tengah kenaikan biaya pendidikan. Kita harapkan adanya kenaikan UMP [Upah Minimum Provinsi] dan UMR [Upah Minimum Regional] yang akan mampu mendorong,” imbuh Huda.

Ia juga meminta pemerintah untuk mengambil pelajaran dari pengalaman penerapan student loan di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat. Meski begitu, Huda kembali berpesan agar pemerintah lebih mengedepankan karakteristik lokal seperti penggunaan dana abadi Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan pinjaman tanpa bunga dalam penerapan student loan nantinya.

“Yang kita harapkan skema [student loan] tidak meniru negara dengan ekosistem sangat liberal seperti Amerika Serikat. Di Indonesia, nanti pemerintah harus lebih banyak campur tangan dibuat sistem yang lebih baik dengan menjunjung karakteristik lokal misal tadi bisa menerapkan penggunaan dana abadi LPDP dan pinjaman tanpa bunga,” katanya.

Meski begitu, Huda kembali memberi catatan bahwa student loan atau skema pinjaman pendidikan berbasis pendapatan ini baru bisa berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh beberapa elemen, seperti sistem perpajakan yang telah terintegrasi dan adanya sinergitas kerjasama dari sejumlah stakeholder, seperti institusi pendidikan dan industri secara umum.

Soal sistem pajak, ia mengharapkan nantinya jika diterapkan di Indonesia skema pembayaran student loan adalah melalui skema potongan pajak yang telah disesuaikan dengan penghasilan seperti yang dilakukan di sejumlah negara seperti Australia dan Selandia Baru.

“Keberhasilan program [student loan] sangat tergantung dengan penyerapan dari sisi industrinya. Kita harapkan ada sinergi antara institusi pendidikan dan industri agar penerima student loan ini bisa cepat diserap industri sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk kontribusi bayar. Jangan sampai penerima student loan membutuhkan waktu tunggu kerja yang lama, sehingga membuat mandek program tersebut,” tutupnya.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait DECODE atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah & Alfitra Akbar

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty