tirto.id - Para pelaku literasi di Indonesia menegaskan perlunya kolaborasi dan inovasi untuk memperkuat ekosistem literasi yang berkelanjutan. Dwi Ermayanthi, Festival Manager Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), menekankan bahwa pihaknya menginisiasi UWRF sebagai tempat penting bagi para pemangku kepentingan untuk berbagi keresahan, pengetahuan dan memperluas jejaring.
“Kolaborasi antar-stakeholder di UWRF memungkinkan terciptanya kerja sama yang memperkuat literasi. Festival ini juga merupakan wadah advokasi dan sosialisasi hukum hak cipta, yang sangat penting dalam melindungi karya kreatif,” ujar Dwi pada gelaran acara DJKI Mendengar dan Mengedukasi pada 6 September 2024 di Taman Werdhi Budaya Art Center, Bali.
Saat UWRF pertama kali digagas pada 2004, belum banyak festival literasi di Indonesia. Dwi menambahkan bahwa UWRF telah menjadi platform untuk meningkatkan kapasitas dan aktualisasi diri bagi para peserta.
“Kami menawarkan 200 program yang memungkinkan peserta untuk meningkatkan keterampilan, berbagi pengetahuan, dan mengaktualisasikan diri. Ini adalah bagian dari upaya kami untuk membangun ekosistem literasi yang berkelanjutan,” jelasnya.
Sementara itu, Warih Wisatsana, penulis dan kurator seni, menambahkan bahwa literasi bukan sekadar membaca, tetapi juga menciptakan ruang untuk berpikir kritis dan reflektif. Menurut Warih, era digital sering kali meremehkan nilai hak cipta, yang berdampak pada kualitas literasi dan apresiasi terhadap karya sastra.
“Saya menegaskan seni sebagai seruan kesadaran. Literasi tidak hanya tentang melahirkan pembaca, tetapi juga pemikir dan kreator. Tantangan digital harus dihadapi dengan menjaga integritas karya dan menghormati hak cipta,” kata Warih.
“Kesadaran dapat merujuk pada upaya penyadaran dan kepedulian terhadap lingkungan, termasuk hak-hak sebagai seniman, kreator, tanggung jawab sosial, dan pemahaman terhadap kekayaan intelektual,” tegasnya.
Di sisi lain, Rikson Sitorus, Analis Hukum Muda DJKI, mengungkapkan bahwa pembajakan buku masih menjadi tantangan besar bagi ekosistem literasi di Indonesia. Berdasarkan survei Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada 2021, sekitar 75% penerbit menemukan buku mereka dibajak dan dijual di lokapasar, dengan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah.
“Pembajakan tidak hanya terjadi di ranah digital, tetapi juga melalui penggandaan isi buku di tempat fotokopi. Ini merugikan penulis dan penerbit, serta mengancam keberlanjutan literasi,” jelas Rikson.
Ia menekankan pentingnya pencatatan hak cipta di DJKI dan pemanfaatan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk mengelola royalti. Kementerian Hukum dan HAM sendiri telah mengesahkan Pengelolaan Royalti Atas Lisensi Penggunaan Sekunder Untuk Hak Cipta Buku Dan/atau Karya Tulis Lainnya. Regulasi ini mengatur siapa saja pihak yang wajib membayar royalti atas penggandaan buku.
“Dengan pencatatan hak cipta, penulis bisa memanfaatkan hak-hak ekonomi dari karya mereka. LMK dapat membantu mengumpulkan royalti berdasarkan lisensi penggunaan sekunder, yang sangat penting untuk mendukung kesejahteraan penulis,” tambahnya.
Kesimpulannya, para narasumber sepakat bahwa membangun ekosistem literasi berkelanjutan di Indonesia memerlukan sinergi dan komitmen dari berbagai pihak. Tantangan era digital, seperti pembajakan, harus dihadapi dengan strategi yang komprehensif dan kolaboratif, demi masa depan literasi yang lebih baik.
(INFO KINI)
Penulis: Tim Media Servis