tirto.id - Nama Rafael Alun Trisambodo menjadi sorotan publik usai kekayaannya dianggap janggal. Hal ini terungkap setelah anak Rafael, Mario Dandy Satrio terlibat kasus penganiayaan terhadap David hingga koma. Publik kemudian tidak hanya mendorong proses hukum kasus anaknya, tapi juga menyorot gaya hidup mewah keluarga Rafael.
Mengutip Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) KPK yang dirilis pada 2021, nilai kekayaan Rafael Alun mencapai Rp56,1 miliar. Selama 11 tahun, harta Rafael mengalami peningkatan sekitar Rp35 miliar. Saat itu pada 2011, harta kekayaan dilaporkan ke KPK Rp21 miliar.
Dari total Rp51 miliar, Rafael Alun diketahui memiliki 11 bidang tanah dan bangunan. Lima di antaranya di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Total luas tanah adalah 2.837 meter. Namun, dalam LHKPN disebutkan tanah dan bangunan di Jakarta dua merupakan hasil sendiri dan dua hibah tanpa akta.
Selain bidang tanah dan bangunan, harta kekayaan lain Rafael Alun meliputi alat transportasi dengan total Rp425 juta. Berupa mobil Toyota Camry Sedan tahun 2008 senilai Rp125 juta dan mobil Toyota Kijang tahun 2018 Rp300 juta. Sedangkan harta bergerak lainnya Rp420 juta, surat berharga Rp1,5 miliar, kas Rp1,3 miliar, dan harta lainnya Rp419 juta.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebenarnya telah sejak lama menemukan kejanggalan dari harta kekayaan Rafael Alun. Dari hasil analisis yang dilakukan, PPATK menemukan transaksi mencurigakan dalam jumlah yang besar, kendati tidak disebutkan berapa nilainya.
“Sangat besar untuk ukuran yang bersangkutan,” kata Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, saat dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (24/2/2023).
Irvan menjelaskan, temuan transaksi janggal ini sebetulnya sudah diketahui dari hasil analisis ke penyidik sejak 2012. Ini bahkan jauh dari sebelum kasus yang bersangkutan ini ramai dan terjadi.
Mengapa LHA PPATK Lamban Ditindaklanjuti?
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menyebut, Laporan Hasil Analisis (LHA) yang dikirim PPATK belum cukup untuk membuktikan suatu perkara pidana. Namun, hal itu semestinya bisa menjadi petunjuk awal.
“LHA itu, kan, sifatnya baru analisis, sehingga kalau di level penegak hukum itu, kan, soal alat bukti. Soal alat bukti itu dengan sistem hukum yang sekarang itu, masih menggunakan conviction based, harus dibuktikan menggunakan prosedur pidana dan itu akan sangat susah,” kata Zaenur, Rabu (1/3/2023).
Sebab, kata Zaenur, pembuktian conviction based sulit dilakukan. Menurut Zaenur, terobosan yang dapat dilakukan harusnya adalah dengan melakukan pembuktian terbalik, yang diatur dalam RUU perampasan aset hasil kejahatan.
“Jadi penyelenggara negaranya yang harus membuktikan bahwa harta yang diperoleh itu berasal dari sumber yang sah,” kata Zaenur.
Zaenur menyebut, instrumen penegakan hukum yang ada saat ini belum cukup efektif untuk melakukan pembuktian terbalik dalam kasus rekening gendut seperti yang terjadi pada Rafael.
“Apakah dengan instrumen yang sekarang ada, itu bisa dilakukan? Bisa, tapi masih kurang efektif. Secara terbatas itu, kan, ada di dalam UU TPPU. Kalau memang ada pencucian uangnya, maka bisa dilakukan pembuktian secara terbalik,” ujarnya.
“Kalau di UU Tipikor itu belum ada, itu masih semi terbalik yang juga tidak pernah dilakukan,” kata Zaenur menambahkan.
Karena itu, Zaenur mengatakan, solusi terbaik untuk menangani perkara rekening gendut pejabat publik adalah dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset, memperkuat sistem, serta melakukan telaah terhadap LHKPN pejabat publik.
“APH [aparat penegak hukum] tidak boleh mengabaikan LHA yang dikirim oleh PPATK, KPK harus memperkuat direktorat LHKPN-nya, fokusnya melakukan telaah terhadap kebenaran isi LHKPN. Di Kemenkeu dan KL lainnya juga harus ada diteksi di Inspektorat Jenderal-nya terhadap LHKPN yang suspicious,” kata Zaenur.
KPK Sulit Lakukan Pembuktian Terbalik
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menyebut, KPK akan kesulitan melakukan pembuktian terbalik, baik dalam kasus Rafael Alun maupun kasus-kasus dugaan perolehan harta tak wajar lainnya.
Hal ini telah dibuktikan dengan kegagalan upaya pembuktian terbalik yang sempat dilakukan terhadap tiga perkara terdahulu.
“Dulu diterapkan pada kasus 3 orang dan menurut saya gagal. Kasus Bahasyim, kasus Joko Susilo, terus kemudian kasus Tubagus Heri Wardana alias Wawan. Itu gagal semua, yaitu berupa harta-harta yang diperoleh dengan cara tidak benar, tapi tidak bisa dibuktikan cara memperolehnya atau hasil perbuatan pidana korupsi yang mana, tetap tidak ditemukan setelah dicari, jadi akhirnya dikembalikan kepada terdakwa,” kata Boyamin dalam pesan singkat.
Untuk itu, alih-alih melakukan pembuktian terbalik, Boyamin menyarankan agar KPK fokus menggali pihak mana saja yang ditangani pelaporan wajib pajaknya oleh Rafael Alun untuk melacak adanya kemungkinan korupsi.
“Jadi agak sulit kalau merumuskan pembuktian terbalik. Tapi KPK mestinya tidak akan kesulitan untuk mencari jika itu adalah hasil korupsi. Karena apa? Berangkat dari tidak sesuai profil mestinya bisa dilacak, kira-kira mengurusi wajib pajak siapa, siapa yang dimudahkan dan lain sebagainya. Dilacak sampai sedalam-dalamnya,” kata dia.
Sementara itu, pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU), Paku Utama menilai, tidak perlu payung hukum khusus untuk menegakkan pembuktian terbalik terhadap aset pejabat publik. Ia sebut, yang justru harus dioptimalkan adalah pemahaman dan praktik APH yang menjalankan pencegahan dan penindakan.
“Jadi kalau saya ditanya perlu buat UU baru? Nggak perlu, cuma yang memahami UU yang sudah ada, yang menerapkan terutama dalam proses pemeriksaan, SDM nya bagaimana,” kata Paku kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon.
Paku mengatakan, pembuktian asal-usul harta kekayaan pejabat publik sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan KPK Nomor 7 tahun 2016 tentang tata cara pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara.
Pada Pasal 6 ayat 2 PKPK tersebut, kata Paku, dinyatakan bahwa laporan harta kekayaan harus memuat jenis, nilai dan asal usul perolehan harta kekayaan yang dimiliki.
“Itu sudah ada di situ. Maksudnya gimana? Sudah ada kewajiban untuk penyelenggara negara declare, nggak cuma nulis loh. Jadi saya harus menjelaskan, oh saya punya perusahaan, tahun berapa, ratio cost-nya sehingga berapa, make sense nggak dengan akumulasi aset yang saya punya. Itu sudah ada semua,” kata Paku.
Paku menyebut pelaporan LHKPN dibagi menjadi dua tahap, yaitu pejabat mendaftarkan, lalu selanjutnya mengumumkan kepada Direktorat LHKPN di KPK.
“Tapi kalau ternyata analisisnya KPK merasa ini nggak benar, (pejabat yang bersangkutan) dipanggil untuk membuktikan sebaliknya,” kata dia.
Namun demikian, Paku enggan menyebut proses pembuktian oleh pemilik harta tersebut sebagai pembuktian terbalik. Pasalnya, pembuktian, dalam hemat Paku, adalah tugas dan kewenangan kejaksaan.
“Bukan pembuktian terbalik, tapi pembalikan beban pembuktian. Meskipun banyak yang bilang pembuktian terbalik. Kalau pembuktian terbalik, semuanya harus saya yang membuktikan. Padahal kewajiban pembuktian tugasnya jaksa,” kata Paku.
“Kalau pembalikan beban, beban yang mana? Beban yang saya declare atau yang ditemukan penyidik,” kata dia.
Sementara itu, dalam hal perampasan aset, Paku menyebut, Pasal 67 ayat 2 UU TPPU sudah mengatur perampasan aset tanpa perlu menunggu tuntutan jaksa.
Pasal yang dimaksud berbunyi: “Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.”
“Pasal 67 ayat 2 UU TPPU tidak mengharuskan tuntutan jaksa untuk merampas aset. Berarti misalkan individunya tidak terbukti bersalah, tetapi asetnya terindikasi dari tindak pidana apa pun, asetnya bisa dirampas,” kata Paku.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz