Menuju konten utama

Keadilan Restoratif Pemakai Narkoba Solusi Over Kapasitas Lapas?

Keadilan restoratif hanya diberikan kepada korban pengguna narkoba, bukan pengedar apalagi bandar.

Keadilan Restoratif Pemakai Narkoba Solusi Over Kapasitas Lapas?
Ilustrasi Penegakan Keadilan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung, Fadil Zumhana mengemukakan penyelesaian perkara korban penyalahgunaan narkotika dengan konsep keadilan restoratif (restorative justice) menunjukkan tren respons positif. Bahkan mendapat apresiasi dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).

Selain itu, Kejaksaan pun mendapat penghargaan Special Achievement Award dari International Association of Prosecutors (IAP) pada September 2022. Sebab, konsep keadilan restoratif mampu menyelesaikan perkara di luar pengadilan paling efektif dan efisien, serta berkeadilan.

Penerapan keadilan restoratif pada pengguna narkoba ini dinilai bisa mengurangi masalah over kapasitas lapas. Menurut Fadil, lapas yang melebihi kapasitas, hampir 60 persen penghuninya adalah penyalahguna narkotika.

Satu hal yang menjadi perhatian ketika keadilan restoratif ini diterapkan, menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan jangan sampai pengguna narkotika berada dalam satu sel tahanan dengan pengedar, sebab pengedar perlu mendapat perhatian serius.

Atas dasar itu, Kejagung merilis Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.

Hampir ratusan korban penyalahgunaan narkotika mendapatkan haknya untuk diobati secara mental dan fisik. Namun, untuk pengedar, Fadil menegaskan tidak ada ampun dan harus ditindak tegas.

“Kami tidak segan-segan memberikan hukuman mati bagi mereka yang mencoba menjadi pengedar narkotika di negeri ini,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Senin (27/2/2023).

Penerapan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 dilakukan dengan sangat ketat dengan melihat jumlah barang bukti, kualifikasi tersangka, kualifikasi tindak pidana dan pasal yang disangkakan, unsur kesalahan (mens rea) tersangka, serta pemeriksaan terhadap tersangka secara seksama melalui hasil asesmen terpadu.

KETERANGAN JAMPIDUM  KEJAGUNG

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Fadil Zumhana (kiri) dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung I Ketut Sumedana (kanan) menyampaikan keterangan pers tentang vonis Richard Eliezer di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (16/2/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/rwa.

"Bahkan ada kewajiban khusus oleh penuntut umum untuk memberikan petunjuk kepada penyidik yakni memastikan tersangka merupakan pengguna terakhir, serta mengetahui profil tersangka baik gaya hidup, transaksi keuangan, hingga kolega dan lingkungannya," terang Fadil.

Bahkan Kejaksaan Agung meminta jajarannya untuk tidak ada yang bermain-main dengan program keadilan restoratif sebab ini merupakan “program memanusiakan manusia”.

Merespons soal ini, anggota Komisi III DPR RI Supriansa meminta aparat penegak hukum mempelajari keadilan restoratif yang diperuntukkan kepada pengguna narkoba. Ia berpendapat seluruh masyarakat, terutama kalangan aparat penegak hukum, harus memiliki kesamaan perspektif bahwa pengguna narkoba adalah korban, bukan pelaku.

"Harus menyamakan persepsi bahwa pengguna narkoba itu adalah korban. Artinya kalau ada korban berarti harus ada penyelamatan," kata Supriansa saat dihubungi Tirto, Senin (27/2/2023). Dia mengingatkan bahwa keadilan restoratif adalah konsep yang mengedepankan rehabilitasi dibandingkan penahanan korban narkoba.

Salah satu dampak keadilan restoratif bagi korban pengguna narkoba adalah berkurangnya kapasitas lapas. Para korban harus dibina dan bukan sekedar ditahan.

Supriansa menegaskan keadilan restoratif hanya diberikan kepada korban pengguna narkoba, bukan pengedar apalagi bandar. "Saya meyakini lebih banyak kebaikannya dibanding keburukannya, jika sistem rehabilitasi diterapkan di Indonesia."

Keadilan Restoratif Jangan jadi Celah Permainan Aparat

Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Nurini Aprilianda menilai Kejagung responsif dalam menyelesaikan perkara narkotika melalui penerapan keadilan restoratif. Hal ini sejalan dengan pergeseran keadilan hukum pidana dari retributif (penghukuman) menuju restoratif (pemulihan).

"Perlu dibedakan antara pengguna dan pengedar, yang layak mendapat keadilan restoratif hanya pengguna yang mengalami kecanduan," ujar dia kepada Tirto, Senin (27/2/2023). Bahkan keadilan restoratif dapat dikatakan sebagai satu usaha yang dilakukan aparat penegak hukum untuk mengurangi kelebihan kapasitas lapas.

Sebab, berkurangnya perkara yang berakhir dengan pemenjaraan, otomatis akan berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah penghuni lapas. Lantas untuk menghindari prosedur rehabilitasi yang justru jadi celah permainan aparat maka perlu pengawasan.

"Untuk menghindari terjadinya 'permainan' perlu ada monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penerapan keadilan restoratif dalam tindak pidana narkotika," tutur Nurini.

Kemudian, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad berkata esensi dan pengertian utama keadilan restoratif adalah konsep penyelesaian perkara pidana yang dilakukan dengan melibatkan semua pihak terkait, dengan menggunakan pendekatan keseimbangan (the balanced approach), yang pada akhirnya mewujudkan keadilan sosial atau mengacu pada prinsip dasar keseimbangan (equalibrium).

"Berkenaan dengan hal itu, penting digarisbawahi bahwa lahirnya ketentuan keseimbangan pada prinsip keadilan restoratif tidak serta merta bisa diberlakukan kepada siapapun. Atau dalam hal ini hanya ditujukan kepada pengguna atau pemakai narkoba dan bukan untuk bandar narkoba," ucap Suparji dalam keterangan tertulis.

Lapas Narkotika Yogyakarta

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas II A Yogyakarta. ANTARA/Luqman Hakim

Pengguna narkoba sekalipun, jika ditimbang sebagai pengguna atau pemakai narkoba pemula dan dalam hitungan kecil. Karena itu, kewenangan penggunaan asas keadilan restoratif kewenangannya terletak pada kejaksaan sebagai pengendali perkara “dominus litis” atau hanya jaksa yang dapat menentukan seseorang dapat masuk ranah pengadilan atau tidak.

Salah satu keuntungan yang didapat dari penerapan model ini adalah mengurangi beban lapas dalam menampung narapidana. Kapasitas lapas di Indonesia jauh dari ideal terkait jumlah penghuni yang seharusnya. Selain itu, selaras dengan semangat kemanusiaan, keadilan restoratif memberikan suara kepada para korban dalam memutuskan bagaimana kerugian yang disebabkan oleh kejahatan akan diperbaiki.

Isu kelebihan kapasitas lapas ini telah menjadi perhatian serius masyarakat dan pemerintah sebagaimana yang dituangkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 dalam rangka perbaikan sistem hukum pidana melalui pendekatan keadilan restoratif.

"Maka dibutuhkan kebijakan kriminal yang bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, salah satuya melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika," jelas Suparji.

Catatan bagi Penerapan Keadilan Restoratif

Pada November 2021, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menganalisis soal Pedoman Kejaksaan Nomor 18 Tahun 2021. Tujuannya, guna menjamin bahwa upaya menghadirkan penghindaran pemenjaraan bagi pengguna narkotika dapat berjalan optimal, adil dan minim penyalahgunaan.

Pertama, seharusnya penghindaran pemenjaraan bagi pengguna narkotika tidak hanya rehabilitasi. Maka yang perlu rehabilitasi hanyalah yang benar-benar membutuhkan rehabilitasi, jadi solusi untuk pengguna narkotika tidak dengan ketergantungan adalah melakukan pengesampingan perkara (seponeering) atau dapat mengoptimalkan penggunaan tuntutan pidana bersyarat dengan masa percobaan, sesuai dengan Pedoman Kejaksaan.

Kedua, ketidakjelasan perihal produk hukum penetapan jaksa untuk rehabilitasi. Pedoman Kejaksaan itu mengatur bahwa tersangka dapat dilakukan rehabilitasi melalui proses hukum. Pengaturan ini menimbulkan problem karena KUHAP tidak mengatur bentuk penghentian perkara melalui produk “penetapan”.

Ketiga, ketidakjelasan pengaturan syarat menjalankan rehabilitasi. Ketidakjelasan ini menimbulkan permasalahan. Dengan tidak adanya indikator yang pasti, karena akan “pilih-pilih” perkara yang rehabilitasinya berjalan secara sah dan apa yang tidak sah.

"Keadilan restoratif bukan jawaban untuk pengguna. Seharusnya dekriminalisasi. Tidak semua pengguna narkotika perlu rehabilitasi. Dekriminalisasi penggunaan narkotika, tidak dianggap sebagai tindak pidana, bisa diintervensi dengan pendekatan kesehatan," ucap peneliti ICJR Maidina Rahmawati, kepada Tirto, Senin (27/2/2023).

"Jangan jadikan jargon keadilan jadi solusi semuanya untuk narkotika, apalagi pengguna adalah dekriminalisasi," lanjut dia.

Baca juga artikel terkait KEADILAN RESTORATIF atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri