tirto.id - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Supriansa meminta, aparat penegak hukum mempelajari soal restorative justice yang diperuntukkan kepada pengguna narkoba. Menurutnya seluruh masyarakat terutama dari kalangan aparat penegak hukum harus memiliki satu kesamaan perspektif bahwa pengguna narkoba adalah korban, bukan pelaku.
“Kita harus menyamakan persepsi kita dulu bahwa pengguna narkoba itu adalah korban. Artinya kalau ada korban berarti harus ada penyelamatan," kata Supriansa saat dihubungi Tirto pada Senin (27/2/2023).
Supriansa mengingatkan bahwa restorative justice adalah konsep yang mengedepankan rehabilitasi dibandingkan penahanan kepada korban narkoba.
“Olehnya itu konsep RJ atau mengedepankan rehabilitasi kepada korban adalah salah satu solusi yang bijak untuk menyelamatkan jiwa para pecandu narkoba," ujarnya.
Salah satu dampak yang dirasakan dari restorative justice kepada korban pengguna narkoba adalah berkurangnya kapasitas lapas. Para korban harus dibina dan bukan sekedar ditahan.
"Pokoknya saya meyakini lebih banyak kebaikannya dibanding keburukannya jika sistem rehabilitasi diterapkan di seluruh indonesia," terangnya.
Ia menambahkan bahwa korban narkoba harus menanggung sejumlah risiko dalam hidupnya. Oleh karenanya pembinaan atau rehabilitasi adalah pilihan yang lebih baik dibandingkan harus ditahan seperti narapidana kasus kriminal lainnya.
“Seseorang yang sudah terlanjur menjadi pecandu maka bahayanya jauh lebih berisiko dan bisa mengancam jiwanya sendiri. Tindakan Rehabilitasi juga lebih efektif mengurangi over kapasitas jumlah warga binaan di semua lembaga pemasyarakatan," jelasnya.
Meski demikian, Supriansa menegaskan bahwa restorative justice hanya diperuntukkan kepada korban pengguna narkoba. Bukan pengedar apalagi bandar.
“Kalau bandar ya tentu lain cerita, itu harus hukum berat. Tidak ada ampunan harus ditindak tegas," tegasnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz