Menuju konten utama

Keadilan Restoratif: Jangan Terpeleset jadi Restorative Jastip

PBHI sebut keadilan restoratif yang dijalankan Kejaksaan Agung dan Polri diartikan berbeda dari makna yang sebenarnya.

Keadilan Restoratif: Jangan Terpeleset jadi Restorative Jastip
Ilustrasi Pengadilan. foto/IStockphoto

tirto.id - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Fadil Zumhana menyetujui lima permohonan penghentian penuntutan berdasar mekanisme restorative justice (keadilan restoratif) pada Rabu (23/11/2022). Salah satunya adalah Widiyanto. Ia melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang penadahan dan perkaranya ditangani Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

Alasan pemberian penghentian penuntutan Widiyanto karena telah ada proses perdamaian, yakni tersangka dan korban saling memaafkan, tersangka belum pernah dihukum, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun, dan Widiyanto berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

“Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi. Tersangka dan korban setuju tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat lebih besar,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana.

Syarat pemberian keadilan restoratif tercantum dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020.

Polri pun pernah menerapkan keadilan restoratif dalam menyelesaikan kasus dugaan pencurian tandan buah segar kelapa sawit PT Daria Dharma Pratama di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Agus Andrianto menyatakan, kepolisian menjadi mediator antara petani dan perusahaan.

“Telah dikeluarkan (dibebaskan) 40 orang tahanan kasus tindak pidana pencurian tandan buah segar kelapa sawit," ujar Agus dalam keterangan tertulis, Selasa, 24 Mei 2022.

Para petani ditangkap pada 12 Mei 2022 secara paksa oleh polisi lantaran dituduh mencuri buah sawit perusahaan. 40 petani itu ditelanjangi setengah badan, kemudian tangannya diikat menggunakan tali plastik. Lantas, para petani digelandang ke Polres Mukomuko, mereka diperiksa tanpa pendampingan kuasa hukum.

Namun ada kalanya, keadilan restoratif ini jadi blunder. Contohnya kasus dugaan kekerasan seksual di Kementerian Koperasi dan UKM yang terjadi pada penghujung 2019. Kasus ini disebut melibatkan empat pegawai Kemenkop UKM berinisial WH, ZP, MF, dan NN. Sementara korbannya adalah pegawai non-PNS Kemenkop UKM berinisial ND.

Kasus ini sempat diproses Polresta Bogor. Namun, kasus ini dihentikan dengan alasan korban menyepakati usulan damai dan karena korban dan ZP menikah pada Maret 2020.

Akan tetapi, korban membantah klaim kementerian, serta mengatakan usul pernikahan datang dari pihak kepolisian. Bahkan keluarga korban tak pernah tahu polisi setop perkara tersebut.

Obral Hukuman?

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 menyebutkan tindak pidana yang tidak bisa mendapatkan keadilan restoratif, yakni tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan; tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal; tindak pidana narkotika; tindak pidana lingkungan hidup; dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Namun, pada 28 Oktober 2022, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak angkat bicara soal wacana penerapan keadilan restoratif di ranah pemberantasan korupsi. Ia mengaku gagasan tersebut bisa saja diusung sebagai opini, tapi baru bisa dilakukan jika peraturan yang ada mengakomodasi.

Lalu, dalam pertemuan Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung pada Rabu, 23 November 2022, pihak parlemen mengingatkan Korps Adhyaksa agar berhati-hati dalam menggunakan proses penyelesaian perkara menggunakan keadilan restoratif.

Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil khawatir bila pendekatan penyelesaian konflik hukum yang memediasi korban dan terdakwa tidak dilakukan dengan baik, berpotensi menjadi pintu suap bagi aparat penegak hukum.

“Jadi ini pengawasan agar RJ (restorative justice) agar tidak menjadi Rp (rupiah). Karena RJ berpotensi di-Rp-kan kalau tidak diawasi dengan baik," ucap dia.

Pengawasan Kejaksaan Agung dalam pemberian keadilan restoratif kepada sejumlah kasus dinilai masih kurang. Terutama pada pemberian ‘pengampunan’ itu dalam kasus yang ada di daerah pelosok.

Nasir mengungkapkan selama ini kejaksaan hanya mengawasi melalui layar daring dan jarang melakukan inspeksi langsung terhadap perkara yang diselesaikan menggunakan mekanisme restoratif.

“Siapa yang bisa memastikan bahwa keadilan restoratif yang dipraktikkan tidak ‘ada udang di balik batu’," sambung Nasir.

Politikus PKS itu mencontohkan, salah satu ketidaktepatan penerapan keadilan restoratif yaitu kasus dugaan pelecehan seksual di kantor Kementerian Koperasi dan UKM. Ia meminta hal itu tidak terjadi lagi dan masyarakat ikut menjadi pengawas dalam setiap keadilan yang diberikan kejaksaan.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho berpendapat, kebijakan keadilan restoratif ditempuh untuk memenuhi hak korban dan bisa juga untuk menekan kelebihan kapasitas tahanan di lembaga pemasyarakatan.

“Oleh karena itu pemerintah bersikap terhadap perkara-perkara ringan, misalnya pencurian sandal, pencurian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,” terang dia kepada reporter Tirto, Rabu (23/11/2022).

Hibnu menilai penerapan keadilan restoratif adalah langkah bijak bagi aparat penegak hukum untuk mengantisipasi bahwa semua perkara tak berakhir dengan persidangan, tapi tidak semua perkara bisa lolos pengajuan restoratif.

Bahkan ia mendorong pemerintah untuk mengakomodasi penerapan keadilan restoratif. Karena Indonesia belum memiliki payung hukum perihal hal tersebut. “Perlu juga dirumuskan bahwa keadilan restoratif dijadikan undang-undang tersendiri,” sambung dia.

Tujuan undang-undang itu agar para penegak hukum tak berjalan sendiri-sendiri soal penerapannya, kata Hibnu.

Melenceng Jalur

Julius Ibrani, Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI berpendapat, keadilan restoratif yang dijalankan oleh Kejaksaan Agung dan Polri diartikan berbeda dari makna yang sebenarnya. “Karena sejatinya, prinsip dasar keadilan restoratif adalah bagaimana mencapai keadilan dari perspektif korban,” tutur dia kepada reporter Tirto.

Artinya, kata Julius, dengan mengetahui makna keadilan bagi korban: apa kebutuhan korban, pemulihan korban, dan kepentingan korban; tapi tiga hal itu justru hilang dalam beberapa kasus.

Keadilan restoratif adalah cara, bukan tinjauan atau tujuan atau produk. Keadilan restoratif bukan dua pihak telah berdamai, lalu mencabut laporan kemudian perkara disetop. Jika itu yang dilakukan, maka bukanlah makna keadilan restoratif.

“Seolah-olah makna keadilan restoratif adalah alasan penghapus pidana. Padahal alasan penghapus pidana di ujung (hilir), itu sudah diperiksa secara hukum acara. Beda dengan keadilan restoratif yang (diterapkan) di hulu. Ini bedanya jauh sekali,” ujar Julius.

Ada dua akibat dari penetapan yang bergeser makna ini. Pertama, kata dia, keadilan restoratif jadi dipandang sebagai proses formalitas semata. Formalitas ini berkaitan dengan anggaran. Lapas over kapasitas, itu jadi salah satu contoh kaitan keadilan restoratif dan anggaran. Seolah penegak hukum menyetop perkara tanpa memahami tiga hal esensial dari korban.

Kedua, keadilan restoratif seperti jasa pesanan. Umpama, pelaku yang memiliki kuasa lalu ‘memaksa’ penegak hukum menggunakan mekanisme restoratif agar kasus kelar.

“PBHI menyebutnya restorative jastip (jasa titipan). Akibatnya bukan hanya dijadikan transaksional, tapi (bisa jadi) alat merepresi korban. Misalnya kasus pemerkosaan, korban dipaksa berdamai dengan pelaku,” kata Julius.

Sialnya, kata Julius, yang menyuruh berdamai adalah aparat penegak hukum.

Baca juga artikel terkait RESTORATIVE JUSTICE atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz