Menuju konten utama
Target Penerimaan Pajak

Buntut Kekecewaan ke DJP yang Berpotensi Ganggu Penerimaan Pajak

Masyarakat diharap lebih bijak merespons kasus yang menyorot Ditjen Pajak dengan tetap patuh bayar pajak dan lapor SPT.

Buntut Kekecewaan ke DJP yang Berpotensi Ganggu Penerimaan Pajak
Petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pasar Minggu, Jakarta, Senin (9/1/2023). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.

tirto.id - Gelombang kekecewaan publik terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus meluap. Kekecewaan ini bermula ketika Mario Dandy Satrio, salah satu anak pejabat Ditjen Pajak terlibat kasus penganiayaan terhadap David, anak dari kader GP-Ansor.

Kasus ini kemudian merembet kepada tingkah laku Mario Dandy yang belakangan suka memamerkan harta kekayaannya. Mulai dari mobil mewah Rubicon hingga motor gede (moge) Harley Davidson. Sampai akhirnya berujung pada sorotan harta kekayaan ayahnya yang mencapai Rp56,1 miliar.

Kemarahan netizen semakin bertambah setelah mengetahui kehadiran klub moge milik para pejabat DJP Kemenkeu. Salah satu anggotanya adalah Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo. Foto itu pun kemudian viral di media sosial.

Suryo diketahui memiliki total kekayaan senilai Rp14,45 miliar berdasarkan LKHPN 2021. Suryo memiliki moge berupa motor Harley Davidson Sportster 2003 dengan sumber yang tertulis dari hasil sendiri senilai Rp155 juta.

Dari kejadian itu, seruan boikot pajak di media sosial Twitter ramai tak terhindarkan. Ajakan boikot pajak bahkan sempat menjadi salah satu trending topic di Twitter. Setelahnya, tagar #SriMulyaniOmdo ikut trending. Warganet meluapkan kekecewaan karena merasa pajak yang dibayarkan telah dinikmati sebagian pejabat Ditjen Pajak.

Bisa Berpengaruh pada Target Penerimaan Pajak?

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono menilai, kasus pamer harta dilakukan keluarga maupun pejabat publik bisa berpengaruh terhadap penurunan penerimaan pajak. Meskipun secara keseluruhan tidak berpengaruh banyak terhadap penurunannya.

“Kejadian tersebut dapat berpengaruh meski tidak signifikan," ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (28/2/2023).

Pada tahun ini, penerimaan pajak ditargetkan Kemenkeu senilai Rp1.718 triliun atau tumbuh 0,07 persen dari realisasi tahun lalu Rp1.716,8 triliun. Adapun per Januari 2023, realisasi penerimaan pajak baru 9,4 persen dari target atau hanya sebesar Rp162,2 triliun.

Prianto menuturkan, jika tahun ini tidak tercapai karena boikot masyarakat sebagai akibat dari kasus viral tersebut, maka DJP masih mungkin melakukan pengawasan kepatuhan pajak, hingga pemeriksaan pajak untuk 2023 hingga 2028. Dengan pengawasan tersebut, maka target penerimaan pun bisa tercapai.

“Kasus pajak Angin Prayitno Aji dan PT Jhonlin menjadi contoh konkret tentang bagaimana kasus dugaan korupsi pajak tetap membuat realisasi penerimaan pajak melampaui target,” kata dia.

Menurut Prianto, kasus Rafael Alun Trisambodo ini mencuat cepat karena ada dua kasus bersamaan, meski korelasinya tidak secara langsung. Kasus pertama berkaitan pidana penganiayaan. Kasus lainnya berkaitan dengan harta mewah Rp56 miliar yang tidak sejalan dengan profil pemiliknya.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati tak menampik bahwa sorotan terhadap harta jumbo pegawai pajak dan gaya hidup mewah yang dilakukan jajarannya telah menimbulkan kekecewaan publik. Namun, ia juga mengingatkan bahwa pajak tetap menjadi instrumen penting bernegara.

“Pajak adalah salah satu penerimaan yang sangat penting dan itu tentu merupakan kewajiban yang diatur dalam UU, kami memahami perasaan masyarakat, namun kita juga menyampaikan respons koreksi terhadap paling tidak persepsi namun juga fakta," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jumat (24/2/2023).

Dampak Minim

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar justru melihat seruan boikot pajak akibat kemarahan masyarakat dampaknya akan minim terhadap penerimaan. Sebab struktur penerimaan pajak didominasi oleh PPh Badan dan PPN yang dipungut oleh penjual.

“Jadi dampaknya akan kecil sekali, makanya jangan ikut-ikutan FOMO boikot pajak, protesnya gak dapat, sanksinya kena. Jangan lupa lapor SPT, kalau tak lapor Anda bakal kena sanksi," kata Fajry kepada Tirto.

Hal yang sama dikatakan Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto. Ia berpandangan bahwa kejadian ini tidak akan berdampak besar terhadap realisasi penerimaan pajak tahun ini.

“Kalau dari sisi realisasi pajak, menurutku, dampaknya masih akan kecil, karena tumpuan utama pajak lebih ke badan usaha," ujarnya dihubungi terpisah.

Eko menilai wajar saat ini banyak masyarakat marah akibat gaya hidup mewah yang dipertontonkan sebagian pejabat pajak. Kemarahan masyarakat saat ini seharusnya menjadi 'cambuk' sekaligus momentum untuk benar-benar membenahi institusi perpajakan agar kepercayaan masyarakat bisa pulih.

“Pembenahan karakter 'revolusi mental' di pemerintah perlu digerakkan lagi untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat, khususnya kepada pegawai pajak. Tidak cukup dengan melarang mempertontonkan kekayaan di publik dan sosmed, tapi harus benar-benar menerapkan budaya bersih dari potensi KKN,” kata dia berpesan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah mengamini bahwa kemarahan masyarakat kali ini selayaknya diarahkan kepada tuntutan adanya undang-undang pembuktian terbalik. Menurutnya semua pejabat publik berhak kaya, tetapi kekayaan mereka harus mereka buktikan kepada masyarakat asalnya dari mana.

“Kalau pejabat publik tidak mau kekayaannya dibuktikan terlebih dahulu, mereka tidak layak untuk menjadi pejabat publik," ujarnya saat dihubungi.

Kemarahan masyarakat, kata Piter, hendaknya tidak dalam bentuk pemberontakan tidak mau bayar pajak, dan tidak mau lapor SPT. Kemarahan itu akan lebih bermanfaat apabila menjadi sebuah gerakan menuntut regulasi soal pembuktian terbalik.

“Semua kekayaan pejabat publik dibuktikan asalnya dari mana,” imbuhnya.

Masyarakat Harus Bijak

Piter berharap masyarakat dapat lebih bijak merespons kasus yang menyorot DJP Kemenkeu dengan tetap patuh membayar pajak dan melaporkan SPT-nya. Sebab, jika penerimaan pajak turun, maka akan merugikan rakyat sendiri bukan para orang kaya.

“Kalau kita boikot bayar pajak, yang untung siapa? Ya orang kaya. Kewajiban bayar pajak mereka besar. Orang miskin memang tidak ada kewajiban bayar pajak," katanya.

Dia mengatakan, dengan tidak bayar pajak artinya masyarakat tidak melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Bahkan ekstremnya kalau semua melakukan boikot pajak, justru dianggap melakukan pemberontakan kepada negara.

“Kemarahan kita hendaknya disalurkan secara bijak," imbuhnya.

Gerakan boikot pajak, menurut Piter, justru akan merugikan orang miskin kalau penerimaan pajaknya turun. Karena pemerintah tidak punya uang untuk bantuan sosial, dan bantuan lain-lainnya bagi orang miskin.

Sri Mulyani sendiri menjelaskan, uang hasil pajak itu akan kembali dinikmati masyarakat lewat berbagai paket belanja negara. Dari pajak, beberapa mengalir di antaranya untuk belanja di bidang pendidikan yang melampaui Rp600 triliun, kesehatan Rp169 triliun, hingga aneka bansos lewat belanja perlindungan sosial Rp479 triliun.

“Ini belum termasuk uang hasil pajak yang dipakai membangun infrastruktur," imbuh dia.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun menyoroti gaya hidup mewah pejabat DJP dan keluarganya yang mendapat banyak sorotan. Dia menegaskan, sikap yang ditunjukkan oleh segelintir orang tersebut dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan publik.

“Jangan sampai ada ketidakpercayaan masyarakat terutama mereka yang membayar pajak kepada pemerintah, kemudian mereka wah, mereka menjadi ada ketidakpercayaan karena pajak yang dibayarkan digunakan oleh orang per orang. Saya kira itu penting,” tegas Wapres Ma'ruf dalam keterangan persnya, Rabu (1/3/2023).

Dia menyampaikan, terkait gaya hidup, kesederhanaan penting untuk diaplikasikan di semua tingkat kehidupan masyarakat. Sehingga, letupan-letupan yang dipicu akibat kesenjangan sosial dapat diminimalisir.

Wapres juga menyampaikan dukungannya atas tindakan cepat dan tegas yang dilakukan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam menyikapi kejadian ini di jajarannya.

“Kepercayaan masyarakat itu penting. Karena itu kalau ada [pejabat bergaya hidup mewah], tindakan Bu Menteri tepat sekali,” tambahnya.

Terakhir dia berpesan, sebagai upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya di bidang keuangan dan pajak, perlu adanya transparansi dan literasi tentang pemanfaatan dana pajak yang tepat diimplementasikan untuk kepentingan rakyat.

“Pajak yang sudah dibayarkan oleh masyarakat, itu memang dimanfaatkan untuk pelayanan masyarakat, apa itu sekolah, jalan, infrastruktur, bansos, dan semua untuk kepentingan masyarakat,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz