Menuju konten utama

Setoran Pajak Tergerus Saat Target Pajak Ambisius

Insentif yang diberikan pemerintah termasuk kemudahan restitusi pajak jadi potensi penggerus penerimaan pajak 2018.

Setoran Pajak Tergerus Saat Target Pajak Ambisius
Seorang wajib pajak melaporkan SPT tahunan melalui e-Filing di Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Jakarta, Selasa (13/3/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - “Dulu saya urus restitusi hampir setahun. Kapok! Itu enggak saya urus. Lebih banyak keluar duit daripada dapat restitusi.”

Begitulah curhatan Presiden Jokowi saat mengajukan restitusi saat masih aktif mengurus usaha mebel kayunya. Padahal, menurutnya, uang yang didapat dari restitusi itu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan prosesnya yang ruwet. Restitusi adalah pengembalian penerimaan pajak dari negara kepada wajib pajak (WP) jika jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Kelebihan pembayaran pajak ini merupakan hak bagi WP.

Restitusi bisa terjadi, misalkan total PPN atas dipungut atas penjualan barang PT "A" dalam masa Desember adalah sebesar Rp10 juta. Di sisi lain, PT "A" memiliki kredit pajak yang berupa faktur pajak masukan atas pembelian bahan baku sebesar Rp15 juta. Dari asumsi itu, maka terdapat kredit atau kelebihan bayar sebesar Rp5 juta. Nah, jumlah inilah yang bisa direstitusikan atau diterima lagi oleh wajib pajak. Tentunya, setelah kewajiban-kewajiban pajak lain juga telah dihitung.

Kritikan Presiden Jokowi di atas disampaikan di depan para pengguna jasa kepabeanan pada Maret 2018 lalu ini langsung mendapat respons Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pada April 2018, ketentuan mempercepat proses restitusi akhirnya terbit. Aturan baru itu tertuang di Peraturan Menteri Keuangan No. 39/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Kebijakan ini prinsipinya adalah insentif dalam bentuk penyederhanaan administrasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan likuiditas Wajib Pajak, dan mendorong kemudahan dalam berusaha.

Hal-hal yang dilonggarkan di antaranya adalah waktu proses restitusi kini hanya memakan waktu maksimal satu bulan, tidak lagi sampai dengan maksimal setahun. Apabila lebih dari satu bulan, pengajuan restitusi dikabulkan. Kemudian, batas nilai restitusi yang bisa mendapatkan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dinaikkan menjadi Rp1 miliar dari sebelumnya Rp100 juta untuk WP badan. Adapun, untuk WP pajak orang pribadi tetap Rp100 juta.

Hasilnya memang berdampak, permintaan restitusi kian banyak. Berdasarkan data Ditjen Pajak, permintaan restitusi meningkat 284,5 persen menjadi 1.542 permintaan pada Mei dan Juni 2018 dari periode yang sama 2017 sebanyak 401 permintaan. Jumlah surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak (SKPPKP) pada Mei dan Juni 2018 juga ikut meningkat menjadi 708 surat, melonjak enam kali lipat dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 97 surat.

“Ini memang karena PMK 39, sehingga perubahannya signifikan. Dulu, restitusi itu memang harus diperiksa dulu, sehingga WP sering tidak minta restitusi,” kata Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak kepada Tirto.

Namun, tidak semua WP bisa mendapatkan SKPPKP. Hanya ada tiga kriteria wajib pajak yang bisa mendapatkan SKPPKP, yakni WP Kriteria Tertentu, WP Persyaratan Tertentu dan Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah.

WP Kriteria Tertentu memiliki kriteria di antaranya tepat waktu dalam menyampaikan SPT, tidak mempunyai tunggakan pajak, laporan keuangan sudah diaudit dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama 3 tahun berturut-turut. WP Persyaratan Tertentu adalah WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha/pekerjaan bebas dan nilai restitusi maksimal Rp100 juta. Sementara WP badan, nilai restitusi yang diajukan maksimal Rp1 miliar.

PKP berisiko rendah di antaranya meliputi perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek Indonesia; perusahaan yang saham mayoritas dimiliki secara langsung oleh pemerintah pusat/daerah. PKP yang ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan; PKP yang ditetapkan sebagai operator ekonomi bersertifikat; pabrikan atau produsen lainnya yang memiliki tempat untuk melakukan kegiatan produksi.

PKP berisiko rendah juga harus menaati aturan soal besaran maksimal nilai restitusi senilai Rp1 miliar, tepat waktu dalam penyampaian SPT Masa PPN, tidak sedang diperiksa bukti permulaan atau penyidikan, dan tidak pernah dipidana.

Kendati WP akan dilayani pemberian restitusi yang lebih cepat, aspek pengawasan pemberian restitusi tetap tinggi. Ditjen Pajak mengklaim punya jurus-jurus ampuh untuk meminimalisir kemungkinan kecurangan pemberian restitusi yang dipercepat ini.

Mulai dari, pemberlakukan faktur secara elektronik atau e-faktur. Artinya, setiap WP yang membuat faktur, datanya sudah langsung ada di tangan Ditjen Pajak. Alhasil, pendeteksian hal-hal yang tidak benar lebih cepat.

Kemudian, pengawasan oleh Account Representative (AR). Mereka nantinya akan meneliti kewajaran dari setiap restitusi. AR juga memiliki pengetahuan mengenai pola atau modus kecurangan dalam restitusi. Juga ada penggunaan mekanisme post audit. Meski proses pemberian restitusi ini tidak diperiksa, bukan berarti tidak ada pemeriksaan. Ditjen Pajak akan melakukan pemeriksaan apabila ada nilai restitusi yang tidak wajar.

“Kami juga memakai instrumen atau data-data lainnya guna memantau apakah restitusi yang diberikan sudah sesuai dengan profil dan kondisi WP. Inilah, upaya kami memitigasi risiko adanya restitusi fiktif itu tadi,” jelas Hestu.

Infografik restitusi Pajak

Restitusi Bayang-Bayangi Penerimaan Pajak

Meski kemudahan restitusi ditunggu-tunggu WP, aturan baru ini membuat kerja Ditjen Pajak lebih berat. Pasalnya, restitusi ini acapkali menjadi "modus" Ditjen Pajak dalam mengamankan target penerimaan pajak.

Modus yang dimaksud ini adalah dengan menahan restitusi. Biasanya pengajuan restitusi dari WP harus diputuskan paling lama 12 bulan. Apabila WP mengajukan restitusi pada Mei 2018, maka paling lama keputusannya harus keluar pada Mei 2019.

Jika WP yang mengajukan restitusi tidak terdapat persoalan dalam pemeriksaan, keputusan biasanya lebih cepat atau keluar pada tahun yang sama. Namun apabila pemeriksaan perlu mendalam, maka bisa sampai 12 bulan. Namun, demi mengamankan target penerimaan pajak, Ditjen Pajak bisa secara sengaja menahan restitusi—yang sebenarnya baik-baik saja, tetapi keputusannya baru keluar pada tahun berikutnya.

WP dari pelaku usaha seringkali mewanti-wanti agar restitusi tidak ditahan oleh Ditjen Pajak. Pasalnya, restitusi yang ditahan membuat ketar-ketir pelaku usaha lantaran arus kas (cash flow) perusahaan bisa terganggu.

Adapun, rencana menahan restitusi itu pernah terungkap pada September 2015, yang tercatat di dalam presentasi otoritas fiskal kepada Badan Anggaran DPR kala membahas penerimaan perpajakan dalam nota keuangan 2015.

“Saya kira sedikit banyak aturan baru ini mencerminkan apa yang diinginkan wajib pajak. Mereka pasti semakin yakin dengan pemerintah yang tengah membangun trust. Ini penting,” tutur Direktur CITA Yustinus Prastowo kepada Tirto.

Meski kepercayaan WP dan pemerintah diyakini membaik, tapi tidak menutup kemungkinan target penerimaan pajak akan terpengaruh dari aturan percepatan restitusi ini. Tanda-tandanya juga sudah kelihatan. Seiring dengan kenaikan permintaan restitusi, jumlah SKPPKP pada Mei dan Juni 2018 juga meningkat. Dari SKPPKP itu, nilai restitusi yang diberikan kepada WP naik 65 persen menjadi Rp2,8 triliun dari sebelumnya Rp1,7 triliun.

Hestu menilai aturan percepatan restitusi memang memiliki pengaruh terhadap target penerimaan pajak. Menurutnya, angka restitusi sepanjang tahun ini akan tumbuh cukup signifikan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

“Kalau tidak ada kebijakan itu [percepatan restitusi], mungkin angka restitusi 2018 itu Rp120 triliun. Namun, karena dipercepat, bisa jadi angkanya lebih besar dari perkiraan sebelumnya,” jelas Hestu.

Peningkatan ini memang berpotensi pada target pajak yang cukup tinggi tahun ini. Hingga 20 Agustus 2018 realisasi penerimaan pajak sebesar Rp760,57 triliun atau 53,41 persen dari target pajak 2018 sebesar Rp1.424 triliun atau 23 persen lebih tinggi dari realisasi penerimaan pajak 2017 sebesar Rp1.151 triliun.

Selama lima tahun terakhir ini, nilai restitusi terus meningkat. Namun tren pertumbuhannya memang terus melambat. Pada 2014, nilai restitusi sebesar Rp85 triliun, naik 29 persen dari 2013 senilai Rp66 triliun. Pada tahun berikutnya, restitusi hanya tumbuh 10,58 persen menjadi Rp94 triliun. Pada 2016, restitusi naik 10,63 persen menjadi Rp104 triliun, dan tahun selanjutnya hanya naik 6 persen menjadi Rp110 triliun.

Dengan asumsi proses restitusi berjalan lancar, tren perlambatan pertumbuhan restitusi ini menunjukkan bahwa kondisi makro ekonomi perlahan-lahan membaik, karena terjadi selisih lebih bayar PPN dari WP makin berkurang atau bahkan tidak ada lebih bayar.

Sederhananya, PPN dari penjualan lebih besar ketimbang PPN dari pembelian bahan baku. Namun tidak menutup kemungkinan juga, tren perlambatan ini justru memperlihatkan WP semakin enggan mengajukan restitusi lantaran prosesnya yang panjang, terutama sebelum kebijakan proses percepatan pencairan restitusi.

Kenaikan jumlah angka restitusi memang tak hanya karena satu faktor saja. Namun, yang pasti adanya insentif baru bagi kemudahan restitusi pajak menjadi faktor penggerus selain adanya kelonggaran syarat tax holiday, dan pemangkasan PPh final untuk UMKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen.

Baca juga artikel terkait PENERIMAAN PAJAK atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra