tirto.id - "Saya kemarin sebetulnya menawarnya 0,25 persen, tetapi Menteri Keuangan (Sri Mulyani) bilang tidak bisa. Ini kalau turunnya sampai sejauh itu, ini akan mempengaruhi penerimaan, pendapatan pemerintahan"
Di depan para pengusaha anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), awal Maret lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencoba meyakinkan bahwa dirinya pro dengan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) termasuk urusan perpajakan agar meringankan dunia usaha. Di sisi lain, pemerintah juga memikirkan target penerimaan negara dari pajak yang faktanya masih tulang punggung menopang kas pemerintah. Pajak UMKM sumber potensial yang besar bagi penerimaan negara dengan jumlah unit usaha sedikitnya 56 juta.
Ditjen Pajak Kementerian Keuangan memang menurunkan besaran Pajak UMKM. Ketentuan ini diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018. Pada PP yang efektif berlaku per 1 Juli 2018 tersebut pemerintah memperkecil besaran tarif pajak penghasilan (PPh) final menjadi sebesar 0,5 persen bagi UMKM.
Selain mengatur tentang penurunan tarif PPh final tersebut, pemerintah dalam PP tersebut juga mengatur tentang pengenaan PPh tersebut: 7 tahun bagi wajib pajak orang pribadi; 4 tahun bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma dan 3 tahun bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan kebijakan PPh 0,5 persen untuk mendorong pelaku UMKM agar lebih aktif dalam kegiatan ekonomi formal dengan memberi kemudahan dalam membayar pajak dan pengenaan pajak yang adil, kemudahan cara pelaporan dan pembayarannya.
Ditjen pajak telah mengenalkan e-filling bagi wajib pajak untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) secara online dan real time sejak 2009. Dengan tagline “Mudah, Cepat, Aman” para wajib pajak dapat melaporkan SPT dengan lebih mudah, murah, dan cepat.Adanya kemudahan yang diberikan pemerintah terhadap wajib pajak, targetnya bisa mendorong kepatuhan pelaporan dan pembayaran pajak setiap tahun.
Namun, apakah segala keringanan dan kemudahan perpajakan mampu mendongkrak kepatuhan wajib pajak?
Mari kita telaah, dari jumlah wajib pajak terdaftar yang wajib menyampaikan SPT pada 2007 tercatat sebanyak 6,78 juta wajib pajak. Dari jumlah tersebut hanya 32,97 persen atau 443.361 wajib pajak badan dan 22,77 persen atau 1,24 juta wajib pajak orang pribadi yang menyampaikan SPT. Secara total, wajib pajak yang patuh menyampaikan SPT sebanyak 1,68 juta wajib pajak dengan rasio kepatuhan 24,80 persen.
Berselang setahun, tingkat kepatuhan pelaporan SPT memang membaik, pada 2008, jumlah wajib pajak yang menyampaikan SPT meningkat menjadi 2,10 juta wajib pajak. Angka tersebut terdiri atas 420.689 wajib pajak badan dan 1,68 juta orang pribadi. Rasio kepatuhan pajak pun naik menjadi 33,08 persen secara umum, dengan wajib pajak badan sebesar 32,97 persen dan wajib pajak orang pribadi sebesar 32,91 persen. Ini karena saat itu ada program ektensifikasi pajak dan sunset policy era ditjen Pajak Darmin Nasution.
Pada 2009, rasio kepatuhan pajak meningkat menjadi 54,15 persen secara umum. Dari 9,99 juta wajib pajak terdaftar wajib SPT, 5,41 juta di antaranya menyampaikan SPT. Tahun-tahun berikutnya rasio kepatuhan pajak menunjukkan tren positif, terkecuali pada 2011 dimana rasio kepatuhan sempat turun dari 58,16 persen menjadi 52,74 persen. Saat rasio turun, tapi jumlah wajib pajak yang menyampaikan SPT meningkat dari 8,20 juta menjadi 9,33 juta wajib pajak pada 2011.
Penurunan ini, salah satunya disebabkan oleh peningkatan registrasi NPWP untuk mendapatkan bebas fiskal luar negeri, tapi tidak memenuhi kewajiban pajak. Pada 2016, tahun pelaksanaan tax amnesty atau amnesti pajak tahap I dan II, rasio kepatuhan pajak tidak terlalu terlihat peningkatannya.
Rasio kepatuhan pajak pada 2016 hanya meningkat tipis dari 60,42 persen pada tahun sebelumnya menjadi 60,82 persen. Meskipun sudah diberikan berbagai kemudahan, rasio kepatuhan pajak belum mencapai target 75 persen. Angkanya pun baru mencapai 72,59 persen pada 2017, dari 16,6 juta wajib pajak terdaftar, sebanyak 12,05 juta diantaranya menyampaikan SPT.
Tax Ratio Masih Rendah
Selain rasio kepatuhan pajak yang belum mencapai target, rasio penerimaan pajak pusat terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) atau dikenal dengan istilah tax ratio pun terhitung masih rendah. Kementerian Keuangan mencatat tax ratio Indonesia dari kurun waktu 2007 hingga 2017 hanya berkutat pada angka 10 persen hingga 13 persen.
Dalam kurun 10 tahun terakhir, tax ratio tertinggi yang dicapai Indonesia hanya sebesar 13,3 persen pada 2008, saat penerimaan pajak 2008 melampaui target. Dari target pajak 2008 yang hanya Rp609,227 triliun, realisasinya mencapai Rp658,700 triliun atau 108,12 persen.
Setelah tahun tersebut, rasio penerimaan pajak terhadap PDB ini berada pada level 11 persen. Di 2009, rasionya sebesar 11,1 persen, meningkat sedikit menjadi 11,2 persen pada 2010, hingga 11,3 persen pada 2013. Bahkan, sejak 2014 tax ratio berada di bawah angka 11 persen. Pada 2014, tax ratio tercatat sebesar 10,9 persen dan menurun menjadi 10,4 persen pada 2016.
Pada 2017, tax ratio Indonesia mulai meningkat menjadi 10,8 persen. Angka tersebut tergolong rendah jika merujuk pada laporan yang dikeluarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Dalam laporan berjudul Revenue Statistics in Asian Countries, rata-rata tax ratio OECD pada 2015 sebesar 34,3 persen. Bahkan, untuk periode yang sama, Indonesia tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Filipina (17 persen), Malaysia (15,3 persen). dan Singapura (13,6 persen).
United Nations Development Programme (UNDP) PBB dalam What Will It Take To Achieve the Millennium Development Goals? An International Assessment mengatakan untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) setidaknya para negara berkembang harus mampu meningkatkan tax ratio menjadi 20 persen. Padahal, secara umum, saat ini rasio penerimaan pajak mereka berada di kisaran 14 hingga 18 persen terhadap GDP.
Tak Sekadar Kemudahan dan Keringanan
Pencapaian rasio kepatuhan pajak yang belum mencapai tiga per empat dari total wajib pajak dan masih rendahnya rasio penerimaan pajak pusat terhadap PDB bisa menjadi peringatan bagi pemerintah: pajak belum bisa menjadi sandaran pemerintah untuk membiayai pembangunan negara. Padahal, dalam APBN 2018 pemerintah menganggarkan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun dari total Rp1.894,7 pendapatan negara. Angka tersebut setara dengan 85,40 persen dari pendapatan yang tentunya digunakan untuk membiayai tata kelola pemerintahan selama setahun.
Target ini menunjukkan besarnya tanggung jawab pajak sebagai salah satu sumber pendanaan untuk pembangunan negara. Selain membiayai pembangunan infrastruktur, pajak juga bisa digunakan untuk membiayai subsidi yang ditanggung negara.
Dalam konteks kebijakan pemangkasan PPh bagi UMKM menunjukkan, pemerintah masih berharap banyak dari sumber
penerimaan sektor UMKM yang selama ini belum maksimal tergarap. Namun, pemerintah perlu melakukan perbaikan terhadap sistem perpajakan di Indonesia.
Masalahnya bukan sekedar mempermudah wajib pajak untuk membayar dan meringankan besaran tarif pajaknya, pemerintah juga harus memperjelas peraturan sehingga tidak ada lagi celah yang bisa dimainkan oleh wajib pajak. Masyarakat tak perlu lagi ditakuti dengan sanksi pajak, tetapi yang harus dilakukan adalah edukasi. Sudah bukan waktunya pajak dianggap sebagai kebijakan yang menakutkan, tetapi harusnya menjadi tanggung jawab. Terakhir yang tak kalah penting, uang pajak yang telah terkumpul harus dipastikan tak terjadi kebocoran.
Editor: Suhendra