tirto.id - Ibarat seorang anak yang sudah lahir, program insentif pajak yang sering dikenal sebagai tax holiday atau "libur bayar pajak" bukan lagi sebagai anak balita. Program yang berlaku sejak 15 Agustus 2011 ini, semenjak lahir memang terseok-seok.
Sebagai program yang memanjakan investor dalam hal keringanan setoran pajak, seharusnya langsung disambar oleh para investor. Namun, kenyataan sebaliknya, insentif ini malah tak banyak yang melirik. Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat bertanya ihwal fasilitas tax holiday maupun tax allowance pada tahun lalu yang nihil peminat.
“Pada 2017 walaupun kita sudah mencadangkan tax allowance dan tax holiday, enggak ada yang apply. Kenapa? Apa tidak menarik atau perlu insentif lain?” tanya Sri Mulyani di kantor Kementerian Keuangan.
Gara-gara kejadian itu, Sri Mulyani lantas meminta kementerian dan lembaga yang berkorelasi dengan insentif ini untuk melakukan evaluasi. Ia sekaligus mencari kebijakan fiskal yang tepat sesuai dengan kebutuhan industri masa kini.
Baca juga: Bank Dunia: Investasi Asing di Indonesia Masih Rendah
Sepinya minat investor untuk mendapatkan insentif pajak tentunya menimbulkan pertanyaan, seperti juga yang menjadi pertanyaan Sri Mulyani. Apakah insentif pajak yang ditawarkan tidak menarik? Atau kondisi perekonomian yang belum ramah buat investasi?
Tax holiday adalah fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan dalam jangka waktu 5-15 tahun bagi investor yang memenuhi syarat, bahkan bisa sampai 20 tahun bila mendapat persetujuan menteri keuangan.
Sementara itu, tax allowanceadalah insentif investasi bidang tertentu di wilayah tertentu untuk investor baru atau investor lama yang ekspansi bisnis, berlaku sejak 2008. Skemanya berupa insentif pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah investasi yang dikeluarkan, insentif berlangsung selama 6 tahun atau 5 persen per tahun, sehingga akan mengurangi beban PPh yang disetorkan oleh investor.
Lahirnya kedua insentif perpajakan untuk investasi memang tak terpisahkan dari upaya menarik investasi besar-besarnya di tengah persaingan memperebutkan aliran modal atau investasi asing terutama di kawasan ASEAN. Selain Indonesia, negara-negara di ASEAN juga sudah menerapkannya, dengan skema yang beda-beda termasuk syarat dan kemudahan mendapatkannya.
Menurut kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday memang tidak mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 103/2016 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau skema tax holiday, penanaman modal yang dapat fasilitas ini paling sedikit sebesar Rp1 triliun sebagai wajib pajak baru dan industri pionir. Investor akan mendapatkan pengurangan PPh badan sebagaimana
paling banyak 100 persen (penghapusan) dan paling sedikit 10 persen.
Namun, syaratnya bisa diturunkan di bawah Rp1 triliun hingga minimal Rp500 miliar asalkan investor memperkenalkan teknologi tingkat tinggi. Namun, insentif yang bisa diberikan hanya dalam bentuk pengurangan PPh yang bisa diberikan kepada investor paling banyak hanya 50 persen saja.
Kebijakan tax holiday, termasuk yang paling banyak direvisi terutama pada era pemerintahan Presiden Jokowi. Tujuannya memang untuk lebih merelaksasi persyaratan agar bisa dipenuhi oleh investor. Namun, tetap saja bagi investor atau pengusaha masih dianggap berat untuk bisa lolos persyaratan.
Di sisi lain, ada perubahan yang mendasar, pada saat diluncurkan pada 2011 secara tegas menyebutkan "Pembebasan" PPh badan selama 5-10 tahun sesuai PMK No 130/PMK.011/2011 tentang pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan PPh badan.
Namun, semenjak 2015 direvisi dalam PMK 159/PMK.010/2015 tentang pemberian fasilitas pengurangan PPh badan lebih menekankan pada pengurangan PPh badan. Istilah "pembebasan" dan "pengurangan" dimaknai sebagai inkonsistensi pemerintah.
“Terlalu tinggi, jadi susah comply. Selain itu, pemerintah juga tidak konsisten memberikan insentif pajak kepada investornya. Contohnya waktu kasus Samsung,” kata Hariyadi Sukamdani, Ketua Apindo kepada Tirto.
Menurut pengakuan Hariyadi, Samsung pernah menanamkan modalnya di Indonesia sebesar US$20 juta, dan dijanjikan mendapatkan insentif pajak. Namun, insentif tersebut ternyata tidak kunjung diberikan.
Selain itu, sepinya peminat juga disebabkan masih lesunya geliat bisnis sepanjang tahun lalu, terutama di sektor industri pionir yang menjadi fokus pemerintah untuk mendapatkan insentif pajak.
Industri pionir itu antara lain seperti industri logam hulu; industri pengilangan minyak bumi; industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; industri permesinan yang menghasilkan mesin industri.
Lalu, industri transportasi kelautan; industri pengolahan berbasis hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan; industri telekomunikasi, informasi dan komunikasi; dan infrastruktur yang menggunakan skema selain Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
“Ini karena sektor industri yang menjadi fokus insentif pajak itu sedang lesu sepanjang tahun lalu. Jadi minim peminatnya. Tapi beda ceritanya kalau dibuka bebas,” tutur Herman Juwono, Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia kepada Tirto.
Namun, kebijakan tax holiday di Indonesia bukan berarti tanpa hasil, pada 2015 sedikitnya ada 11 perusahaan yang meminta fasilitas tax holiday, di antaranya adalah PT Unilever. Perusahaan multinasional itu menjadi badan usaha pertama yang diberikan tax holiday. Setelahnya ada, PT Unilever Oleochemical Indonesia, PT Petrokimia Butadiene Indonesia, PT Energi Sejahtera Mas, dan PT OKI Pulp and Paper.
Baca juga: Menperin Usulkan Insentif Pajak 200 Persen di Industri Pengolahan
Apa Langkah Selanjutnya?
Nihilnya peminat insentif pajak di 2017 tentu jadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Sehingga kembali memunculkan pertanyaan perlukah kebijakan insentif pajak direvisi lagi?
Pemberian insentif pajak bak pisau bermata dua. Alasannya, apabila tidak dilakukan secara tepat, pemberian insentif pajak tersebut justru akan membuat negara kehilangan potensi penerimaan pajak yang tak sedikit.
Namun, di tengah kebutuhan investasi dan persaingan daya saing global yang semakin ketat, kehadiran insentif perpajakan sangat dibutuhkan. Untuk itu, harus dirancang lebih realistis sesuai dengan realitas dunia usaha, menarik, dan ada kepastian hukum.
“Tidak adanya investor yang berminat untuk mengambil fasilitas pajak perlu ditinjau secara hati-hati. Jangan sampai salah mengambil keputusan,” kata Darussalam, Managing Partner dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) kepada Tirto.
Selain itu, insentif pajak bukan menjadi faktor penentu bagi pelaku usaha untuk menanamkan modalnya. Ada banyak faktor lainnya yang ikut memengaruhi keputusan investor menanamkan modal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wika Arsanti Putri dari Universitas Airlangga Surabaya pada 2017 yang berjudul "Insentif Pajak Dalam Membentuk Keputusan Investasi" disebutkan bahwa kebijakan pajak cenderung tidak signifikan dalam memengaruhi investasi.
Baca juga: Kenaikan Peringkat Kemudahan Berbisnis Belum Menular ke Daerah
Dengan metode penelitian secara kualitatif, hasil penelitian itu mengungkapkan faktor-faktor lainnya yang memengaruhi keputusan investasi, seperti kemudahan perizinan, besarnya pasar domestik, akses pasar internasional, infrastruktur, kondisi sosial dan keamanan, termasuk ketersediaan SDM.
“Titik stabilitas kelembagaan, kredibilitas dan transparansi merupakan kunci untuk investor, sebelum insentif pajak. Sehingga hubungan tax holiday dengan investasi tidak begitu kuat,” jelas Wika.
Dari penelitian itu juga menegaskan insentif pajak justru membawa biaya bagi negara. Selain itu, apabila insentif tidak dirancang dan dilaksanakan dengan baik, bakal berpengaruh terhadap biaya kesejahteraan karena adanya alokasi modal yang tidak efisien.
Geliat investasi di Indonesia sebenarnya cukup positif. Pada Januari-September 2017, realisasi investasi Indonesia menembus Rp513,2 triliun, tumbuh 13,18 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp453,4 triliun.
Namun, pertumbuhan realisasi investasi Januari-September 2017 itu cenderung stagnan jika dibandingkan dengan kinerja Januari-September 2016 yang tumbuh 13,35 persen dari periode yang sama 2015 sebesar Rp400 triliun.
Beberapa catatan di atas barangkali bisa menjawab soal kebingungan Menteri Keuangan Sri Mulyani, bagaimana melempemnya insentif pajak yang dianggap tak konsisten dan banyak faktor lain yang jadi penentu dalam keputusan investor membenamkan uang.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra