tirto.id - Di depan sekitar 600 peserta World Economic Forum 2015, Jakarta dari pelbagai perusahaan top dunia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bercuap-cuap mengajak para investor untuk investasi dan berbisnis di Indonesia. Acara yang dihelat akhir April itu hanya berselang beberapa bulan setelah Jokowi berkuasa dan mulai getol menarik investasi.
“Saya mengajak Anda bergabung dalam perjalanan yang luar biasa, petualangan yang luar biasa dan untuk memperoleh profit yang luar biasa pula. Dan jika Anda memiliki masalah, hubungi saya.”
Namun, saat itu Jokowi barangkali tak berkaca dari kenyataan bahwa kemudahan berbisnis di Indonesia masih sangat buruk, berada di peringkat 114 dari 189 negara. Indonesia persis di bawah satu peringkat Negara Palau, negeri kecil di Pasifik yang ada diperingkat 113. Indonesia juga di bawah Zambia yang berada di peringkat 111.
Berselang setahun, Jokowi menargetkan Indonesia harus ada di posisi minimal peringkat ke-40 dunia. Untuk mencapai itu memang tak mudah, karena harus didukung dari kebijakan pemerintah pusat hingga daerah. Persoalan kemudahan berbisnis di daerah ini lah yang menjadi persoalan, karena masih ada ketimpangan.
"Sudah saya sampaikan pada Kepala BKPM, saya minta ranking-nya di bawah 40. Caranya gimana, bukan urusan saya. Urusan para menteri dan urusan Kepala BKPM, urusan gubernur, urusan BUMN," kata Jokowi dalam Rapat Terbatas Masalah Ease of Doing Business di Kantor Presiden, Jakarta, 20 Januari 2016.
Baca juga: Tiga Faktor Pendorong Optimisme Pertumbuhan Ekonomi
Dari sisi pemerintah pusat, memang tak tinggal diam, beberapa upaya strategis untuk memberikan kemudahan berbisnis (ease of doing business/EODB) pun dilakukan. Salah satunya antara lain dengan mengeluarkan sejumlah paket kebijakan ekonomi.
Hingga saat ini, sedikitnya 16 paket kebijakan ekonomi sudah diterbitkan pemerintah. Isinya bermacam-macam, antara lain insentif perpajakan, ketahanan energi, perlindungan UMKM, percepatan pembangunan listrik, e-commerce, logistik dan lain sebagainya. Terlepas paket-paket itu efektif atau tidak, tapi kenyataannya indeks EODB Indonesia makin membaik.
Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia melompat dari peringkat 114 pada 2015 menjadi 72 pada indeks EODB 2018. Peringkat Indonesia memang mampu naik sebanyak 42 peringkat. Namun demikian, peringkat Indonesia saat ini masih di bawah Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Kenaikan peringkat ini memang dibarengi dengan realisasi investasi juga tumbuh. Pada semester I-2017, realisasi investasi Indonesia meningkat 13 persen menjadi Rp336,7 triliun. Total investasi yang diraup sejak 2015 hingga semester I-2017 mencapai Rp1.494,7 triliun. Kontribusi investasi terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pun juga mulai terkerek. Dari sebelumnya hanya menyumbang sekitar 31,7 persen pada 2013, naik menjadi 32,6 persen pada 2016.
Di balik capaian itu, apakah angka-angka yang indah itu sudah sesuai dengan harapan dari para investor terutama di daerah?
Asia Competitiveness Institute (ACI)—pusat penelitian di Lee Kuan Yew School of Public Policy (LKYSPP), National University of Singapore (NUS)—menilai indeks kemudahan berbisnis dari Bank Dunia tidak mencerminkan kondisi sebenarnya yang ada di Indonesia.
Mereka menilai indeks Bank Dunia hanya mengambil contoh Jakarta dan Surabaya saja, bukan secara keseluruhan. Selain itu, indeks dari Bank Dunia juga hanya menangkap dari sisi regulasi saja, sehingga tidak terlihat sentimen aktual dari pebisnis di lapangan.
“Bagi investor, reformasi peraturan saja tidak cukup. Untuk memutuskan tujuan investasi, mereka juga mempertimbangkan kondisi infrastruktur, SDM, potensi pasar dan efektivitas biaya,” kata Tan Kong Yam, Co-Director ACI kepada Tirto.
ACI menerbitkan indeks kemudahan berbisnis Indonesia pada 2017 (EDB-ABC), mengungkapkan bahwa bobot reformasi regulasi hanya menyumbang 20 persen dari skor indeks kemudahan berbisnis di Indonesia.
Baca juga: Bank Dunia: Investasi Asing di Indonesia Masih Rendah
Yang paling dicari pelaku bisnis—dari indeks EDB-ABC—adalah dari sisi daya tarik bagi investor (attractiveness to investor) dan keramahan bisnis (business friendliness), di mana masing-masing kedua sisi itu berbobot 40 persen.
Sebanyak 28 indikator yang menjadi penentu daya tarik investor tersebut di antaranya seperti pangsa pasar domestik, produktivitas tenaga kerja, dan ketersediaan infrastruktur transportasi logistik.
Sementara itu, dari keramahan bisnis, sedikitnya ada 24 indikator di antaranya seperti kemudahan mendapatkan tenaga kerja yang baik, minimnya tindakan korupsi, dan kemudahan membayar pajak korporasi.
Berkolaborasi dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), ACI menemukan sebanyak 16 provinsi dari total 34 provinsi masih memiliki indeks kemudahan berbisnis di bawah rata-rata nasional.
Sebanyak 16 provinsi itu adalah Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Papua, Kalimantan Barat, Maluku, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Nusa Tenggara Timur, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Kalimantan Utara, Bengkulu, dan Papua Barat.
Provinsi dengan skor indeks kemudahan berbisnis yang tertinggi masih didominasi dari Pulau Jawa. Pada peringkat pertama dihuni Jawa Timur. Kemudian disusul Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Yogyakarta.
“Bisa dibilang apabila sampelnya hanya Jakarta dan Surabaya, maka kurang mencerminkan kondisi kemudahan berbisnis di Indonesia. Kalau provinsi lainnya diambil, bisa jadi peringkat Indonesia di global turun,” kata Mulya Amri, Deputy Director ACI.
Baca juga: Jokowi Klaim Daya Beli Tidak Turun dan Investasi Makin Mudah
Catatan ACI ada lima provinsi teratas dengan kemudahan berbisnis di atas rata-rata nasional ada di Jawa. Sehingga tak mengherankan Jawa masih menjadi lokasi primadona investasi di Indonesia. Namun, faktor lain adalah pembangunan infrastruktur di Jawa jauh lebih maju dan berkembang dibandingkan wilayah lain.
Pulau Jawa meraup investasi sebesar Rp807,1 triliun, atau 54 persen dari total realisasi investasi yang masuk sejak 2015 hingga semester I-2017 sebesar Rp1.494,7 triliun. Sementara itu, Sumatera sebanyak Rp256,6 triliun (17 persen), Kalimantan Rp198 triliun (13 persen), Sulawesi Rp118,9 triliun (8 persen), Papua dan Maluku Rp66,1 triliun (4 persen dan Bali dan Nusa Tenggara Rp48,1 triliun (3 persen).
Indeks kemudahan berbisnis bisa menjadi cermin bagi pemerintah bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam kemudahan berbisnis, terutama di luar Jawa dan belum menular ke semua daerah.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra