Menuju konten utama

Tiga Faktor Pendorong Optimisme Pertumbuhan Ekonomi

Suasil menyatakan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan sekitar 5,4 persen itu bisa menjadi acuan untuk menentukan APBN.

Tiga Faktor Pendorong Optimisme Pertumbuhan Ekonomi
Menteri Keuangan Sri Mulyani (ketiga kanan), Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita (ketiga kiri), Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf (kedua kanan), Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi (kedua kiri), Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi (kiri), dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara (kanan). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar.

tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yakin pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2017 dapat mencapai 5,1 hingga 5,2 persen. Dengan begitu, maka pertumbuhan ekonomi pada 2018 bisa diproyeksikan sebesar 5,4 persen.

Angka proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2018 itu lebih tinggi dari hasil kajian International Monetary Fund (IMF) yang menilai kemampuan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 5,3 persen.

"Review IMF proyeksi 5,3 persen untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah gunakan 5,4 persen. Itu bisa kita pakai acuan untuk merumuskan APBN 2018," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara di Jakarta pada Selasa (21/11/2017).

Menurut dia, kenaikan tersebut harus memperhatikan tantangan di beberapa negara, seperti Cina, Amerika Serikat dan Eropa yang sedang melalukan normalisasi moneter. Di antara beberapa negara tersebut tentu juga terdapat ketidakpastian geopolitik yang harus dicermati.

Suahasil mengatakan untuk mengerek pertumbuhan ekonomi dalam negeri, kemampuan daya konsumsi masyarakat, ekspor, dan capaian investasi, harus menjadi konsentrasi pemerintah.

Ia mengaku optimistis melihat hasil pada kuartal III 2017. Dimana pertumbuhan ekonomi mencapai sebesar 5,06 persen dan pertumbuhan investasi sebesar 7,1 persen. Pertumbuhan investasi tersebut dinilai paling tinggi selama lima tahun terakhir.

Pertumbuhan investasi ini tidak lepas dari faktor-faktor kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EDB) yang diupayakan pemerintah. Data terakhir pada November 2017, EDB Indonesia berada di level 72, yang semula berada di level 91 dari 190 negara.

"EDB kita perbaiki di masing-masing elemen membuat ada kepercayaan berbisnis di Indonesia oleh para pengusaha, sehingga investasi masuk dan orang mau mulai melakukan ekspor dan impor," jelasnya.

Kemudian optimisme pertumbuhan ekonomi didorong oleh geliat pertumbuhan perdagangan, dengan capaian ekspor 17 persen dan impor 15 persen pada periode kuartal III.

Kemampuan ekspor ini dikatakan Suahasil akan terus didorong, kendati ada negara seperti Amerika Serikat yang melakukan proteksionisme terhadap produk biodisel Indonesia. Ia menyatakan, salah satu upaya yang harus diambil adalah dengan cara menciptakan iklim usaha yang kondusif, sehingga bisa mencapai efisiensi produksi dan eksportir yang memiliki daya saing kelas global.

"Ekspor dan impor mulai jalan, investasi mulai jalan, tinggal menunggu daya konsumsi. Kita punya keyakinan kuartal IV lebih baik dan 2018 lebih baik dengan segala risiko yang ada," ujarnya.

Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat bahwa daya beli masyarakat Indonesia melemah, yaitu sebesar 4,93 persen secara year on year (yoy). Namun, porsinya terhadap pertumbuhan masih mencapai 55,68 persen.

Untuk mengatrol daya beli masyarakat, Suahasil menyebutkan dapat dilakukan melalui kegiatan perdagangan ekspor impor yang memberikan multiplayer effect ke pendapatan hingga daya beli.

"Yang penting utama kegiatan ekonomi digerakkan terus. Kalau itu jalan terus nanti memiliki multiplayer effect. Ada ekspor-impor itu kan menunjukkan kegiatan ekonomi," sebutnya.

Sementara pengamat Ekonomi dan Politik Muhammad Chatib Basri mengatakan bahwa pertumbuhan target pertumbuhan 5,4 persen untuk 2018 tidaklah realistis. "Angka 5,2 dan 5,3 ekonom enggak bisa bedain. Bicara 0,1 dari 5,4 dan 5,3 itu sense of humor aja," celetuknya.

Basri menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya tidak bisa selalu berada di level lima persen karena beban fiskal akan semakin besar terhadap masyarakat. Seperti yang terjadi di Korea Selatan, Jepang, Australia. Bedanya, jika di negara tersebut penghasilan per kapita pada 2020, misalnya mampu Rp40 ribu, di Indonesia hanya Rp20 ribu.

"Kita enggak bisa lima persen terus karena 2050 ada resiko kalau tumbuh lima persen kita tua sebelum kaya," tambahnya.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto