tirto.id - Randi Maulana terhuyung lunglai dengan luka bacok di leher sebelum akhirnya jatuh bersimbah darah. Sabtu siang, awal Maret 2023 itu menjadi hari yang nahas bagi bocah berusia 12 tahun itu di Jalan Anwari, Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Berdasarkan kronologi dari Polres Sukabumi, siswa kelas 6 SD tersebut tengah berjalan kaki bersama kawan-kawannya di jalan yang biasa mereka lewati untuk pulang ke rumah. Hingga datang belasan pelajar SMP mengendarai motor dan membawa bendera. Tiba-tiba salah seorang pelajar turun dari motor dan menyabetkan senjata tajam ke leher Randi.
Bocah malang itu meninggal setelah kehabisan darah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Tiga orang pelaku Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) diciduk kurang dari 24 jam setelah kejadian. Semakin miris, sebab mereka mengaku salah sasaran dan mengira Randi adalah salah satu pelajar dari sekolah yang dianggap musuh oleh ketiganya.
Aparat kepolisian dan Dinas Pendidikan setempat disebut telah melakukan tindakan pencegahan berupa sosialisasi dan edukasi agar peristiwa serupa tidak terulang. Namun, kasus lain yang hampir serupa terus bermunculan di sejumlah daerah.
Kasus lain yang ramai diperbincangkan, seorang pelajar SMK di Bogor tewas dibacok tiga pelajar yang mengendarai motor sambil membawa senjata tajam. Disebutkan juga bahwa korban hanya hendak menyebrang jalan bersama dengan teman-temannya dan tak berniat untuk tawuran.
Maraknya kasus kekerasan di kalangan pelajar ini tentu tak bisa dianggap sepele yang dibiarkan terus berulang. Tindakan pencegahan dan penanganan yang sebatas sosialisasi dan imbauan saja tidak cukup membenahi permasalahan ini.
Tanpa adanya kesadaran kolektif untuk memahami akar kekerasan di kalangan pelajar, rasanya tak berlebihan jika kejadian semacam ini cepat atau lambat akan terulang.
Menengok Faktor Kekerasan Pelajar
Psikolog anak, Ratih Zulhaqqi mengatakan, anak pada masa remaja memang memiliki karakter yang cenderung impulsif. Sementara itu, memang banyak faktor yang dapat membuat seorang remaja – khususnya pelajar, melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain.
“Jika ada seseorang yang bisa melanggar sesuatu yang jelas dengan usia SMP seperti itu, faktornya bisa banyak sekali. Remaja itu bersifat impulsif dan perkembangan pemikirannya masih belum matang, terus kemudian mereka cenderung melakukan sesuatu yang berisiko, itu secara teoritis,” kata Ratih dihubungi Tirto, Senin (13/3/2023).
Menurut Ratih, faktor yang menyebabkan seorang remaja melakukan tindak kekerasan bisa dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Namun, ia menekankan bahwa lingkungan tumbuh menjadi hal paling penting yang dapat mempengaruhi tindakan seorang anak.
“Lingkungan berpengaruh besar, istilahnya children see children do, bukan hanya orang tua, bisa juga orang dewasa yang ada di sekelilingnya, tontonan, terus kemudian kebiasaan secara legacy atau genetiknya, bisa jadi ada penurunan sifat agresif, jadi ini multifaktor,” ungkap Ratih.
Ratih menyatakan, faktor eksternal melingkupi bagaimana seorang anak dibesarkan, pola asuh orang tuanya, konsistensi, pemenuhan tangki cinta dan bahkan peraturan yang berlaku.
“Jadi ada anak yang begitu mudah melakukan kekerasan terhadap orang lain di usia remaja dengan sengaja, kemungkinan dia memang juga kurang tangki cintanya itu, terisi kurang optimal,” kata Ratih.
Ratih menilai perlu ada sistem yang memutus tindakan kekerasan di kalangan pelajar. Seluruh pihak mulai dari keluarga, sekolah hingga pemerintah perlu ikut terlibat.
“Ini memang harus dilakukan secara berkala, ada sistem reward-nya, ini akan jadi kerja semua pihak atau stakeholders ya,” jelas Ratih.
Sementara itu, Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Yogo Tri Hendiarto menyatakan, kasus kekerasan antar pelajar yang ditangani secara parsial hanya akan menimbulkan pola yang berulang.
“Sama dengan kasus kejahatan begal, KDRT, kekerasan lain ya penyerangan pelajar atau tawuran juga sangat berpotensi terjadi berulang-ulang,” kata Yogo dihubungi Tirto.
Menurut Yogo, para pelajar memang masih dalam masa pencarian aktualisasi diri. Ingin terlihat berani dan keren dengan melakukan pelanggaran, bahkan tak segan-segan melakukan kekerasan.
Perilaku kekerasan dan tindakan negatif ini hadir akibat peran agen sosial mangkir dari fungsinya yang seharusnya menjadi fasilitator para remaja mengekspresikan diri dengan positif.
“Komitmen agen sosial belum tercipta secara holistik. Seharusnya mereka mengawasi dan menyediakan ruang ekspresi yang positif. Emosi negatif seharusnya bisa diluapkan para pelajar menjadi prestasi. Ada olahraga dan semacamnya,” ujar Yogo.
Ia menekankan, agen sosial yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, aparat keamanan, sekolah hingga keluarga adalah titik-titik penting yang harus terhubung dalam mencegah seorang pelajar melakukan tindakan kekerasan.
Intervensi pemerintah daerah juga sangat diharapkan bergerak tak hanya sebatas formalitas Tindakan, namun juga menyeluruhnya pembenahan. Intervensi kebijakan yang melibatkan anak-anak dan remaja untuk ikut berpartisipasi, mampu membuat mereka merasa diperhatikan sebagai subjek – bukan sekadar objek yang diatur tindak-tanduknya.
Yogo menegaskan, yang penting untuk diperhatikan, bahwa pelajar yang akhirnya melakukan tindak kekerasan pada pelajar lain, merupakan korban dari ketidakpedulian agen sosial.
“Kesadaran kolektif harus dianggap serius. Pemerintah terutama pemerintah daerah, perlu menganggap serius kejadian seperti ini,” kata dia.
Karena itu, tindakan rehabilitasi dan penerapan hukum yang sesuai pada para pelaku Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) perlu juga dijalankan pemerintah dengan perencanaan matang. Salah penerapan justru menciptakan lingkaran setan tindak kejahatan yang kembali terulang di masa depan.
Regulasi yang Hadir Sebatas Macan Kertas
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bukan tak ada langkah preventif untuk menghalau kekerasan di lingkungan pendidikan. Melalui Permendikbud Ristek Nomor 82 Tahun 2015, sudah ada regulasi untuk pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan.
Namun, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai, implementasi aturan ini masih belum berefek nyata mencegah tindak kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar.
“Aturan ini menjadi macan kertas saja dalam implementasinya. Mulai dari dinas pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, bahkan siswa tidak memahami adanya aturan ini,” kata Satriwan kepada Tirto, Senin (13/3/2023).
Satriwan menyatakan, masyarakat kita makin permisif dan individualis sehingga kontrol sosial terhadap anak, terutama para pelajar, semakin menipis. “Guru, orang tua, dan masyarakat termasuk penegak hukum tidak melakukan peran dan fungsi secara kolaboratif,” sambungnya.
Agen sosial yang tidak melakukan tugasnya dengan baik, dengan begitu turut andil dalam membentuk perilaku kejahatan yang bisa dilakukan oleh anak – dalam hal ini para pelajar.
Maka intervensi holistik perlu digaungkan oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan, agar seluruh agen sosial merasa bertanggung jawab dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Terkait ini, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Muliana menyatakan, penanganan dan pencegahan kekerasan harus dilihat penyebabnya secara holistik dan komprehensif.
“Jika pelaku adalah anak-anak, maka faktor keluarga, orang tua dan lingkungan memiliki peran utama dalam menumbuhkan karakter anak yang baik,” kata Chatarina dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/3/2023).
Keluarga, menurut Chatarina, adalah faktor penting untuk mencegah kekerasan pada anak remaja. “Kemampuan orang tua dalam memberikan pendidikan budi pekerti kepada anaknya, sangat berperan dalam membentuk karakter yang baik bagi anak,” kata dia.
Terkait upaya Kemendikbudristek dalam menangani permasalahan ini, Chatarina mengaku, kebijakan yang sudah dibuat memang belum ada kejelasan peran dari para agen sosial yang seharusnya melakukan fungsinya secara kolaboratif.
Ia menyatakan sedang dilakukan revisi kebijakan terkait permasalahan ini. “Permendikbud 82 tahun 2015 sedang dalam proses revisi, yang inti perubahannya memperjelas peran guru, kepala sekolah, pemda dan masyarakat termasuk orang tua,” ungkap Chatarina.
Chatarina menyatakan, Kemendikbudristek telah berusaha dalam mengatasi masalah kekerasan di lingkup pelajar. Namun, memang masih terdapat kendala dalam pelaksanaanya.
“Pengawasan atas kepatuhan regulasi selalu kami lakukan berkoordinasi dengan dinas pendidikan dan inspektorat daerah. Kendalanya adalah penggantian pejabat di daerah yang sebelumnya tidak mengetahui ada regulasi tersebut,” terangnya.
Selain pembenahan tersebut, Kemendikbudristek juga perlu mengawasi potensi kekerasan yang muncul di wilayah siber. Belum lagi, sosial media kerap menjadi pisau bermata dua yang sewaktu-waktu menjadi pemicu kekerasan di kalangan remaja.
Perlu diperhatikan pula bahwa kekerasan yang dilakukan para remaja atau pelajar ini juga sering kali menyasar diri sendiri. Tren yang menyebar di kanal-kanal sosial media tak sedikit menginspirasi para pelajar bertindak gegabah dan merugikan diri sendiri.
Ruang Ekspresi yang Berubah Jadi Jebakan
Seperti kasus yang baru-baru ini menyita perhatian publik, yaitu fenomena di salah satu SMP di Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, di mana sebanyak 58 pelajar melukai tangan mereka sendiri karena terinspirasi tren di media sosial.
Media sosial yang semestinya digunakan sebagai wadah berekspresi serta tempat mencari jejaring pertemanan, justru dapat juga mengilhamkan tindakan yang membahayakan.
“Edukasi kepada anak terkait dampak positif dan negatif sosmed juga menjadi penting yang harus dilakukan disdik, sekolah bersama elemen masyarakat harus secara berkala dilakukan sehingga kekerasan secara daring dapat kita cegah,” tegas Chatarina soal potensi kekerasan di kalangan remaja yang dipicu sosial media.
Chatarina berharap, sinergi kolaborasi seluruh elemen masyarakat sipil bersama pemerintah daerah dan pemerintah pusat, bisa ditingkatkan untuk dapat menciptakan lingkungan dan sekolah yang aman bagi anak-anak.
Sementara itu, pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti menyatakan, peran orang tua dalam mengedukasi dan mengawasi putra-putrinya yang berusia remaja sangat penting. Usaha ini dinilai dapat mencegah tren yang dapat merugikan mereka.
Orang tua tak bisa lepas tangan dan melimpahkan tanggung jawab pendidikan dan pengawasan hanya pada pihak sekolah.
“Usia 13-15 tahun adalah masa di mana anak-anak tersebut memang sedang mencari jati diri, jika tidak didampingi akan mudah meniru apa yang dia lihat, dia dengar dan dia rasakan dari lingkungan dia diasuh dan dibesarkan,” ujar Retno dihubungi Tirto.
Retno menyatakan, kolaborasi antara guru dan orang tua akan membentuk pola asuh yang baik. Sebab, ketika para pelajar remaja bersekolah, mereka juga akan dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan di sekolah.
“Sekolah dapat melakukan kelas parenting, orang tua harus diberikan pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana melindungi anak-anak dari pengaruh buruk media sosial misalnya,” sambung Retno.
Dengan maraknya kasus kekerasan yang melibatkan para pelajar, baik pada diri sendiri atau pada pelajar lain – menjadi wanti-wanti bagi para agen sosial untuk mulai menganggap serius isu ini sebagai pembahasan yang menyeluruh dan komprehensif.
Bimbingan dan pengawasan perlu berjalan secara holistik, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Pemangku kebijakan yakni pemerintah – melalui Kemendikbudristek, juga diharapkan mampu membentuk peraturan yang efektif dan kolaboratif dalam mencegah kekerasan di kalangan pelajar.
Namun, jangan lupakan unsur penting partisipasi yang melibatkan pelajar – agar suara keresahan mereka bisa didengar dan tak terabaikan. Agar mereka tak sekadar berubah menjadi objek ketidakpedulian para agen sosial yang mogok dari peran vitalnya.
“Siswa dan guru hendaknya dapat mengangkat isu kekerasan pelajar ini untuk dijadikan projek yang bisa ditelaah, dicari solusinya yang berasal dari ide-ide otentik dan kreatif,” kata Satriwan yang juga Koordinator Nasional P2G.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz