tirto.id - Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencabut perlindungan fisik yang diberikan kepada Richard Eliezer, terpidana kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat menuai polemik. Apalagi wawancara Rosiana Silalahi dengan Eliezer sudah mendapat izin LPSK.
Keputusan LPSK ini setelah mereka menggelar sidang pada Kamis, 9 Maret 2023. “LPSK telah melaksanakan sidang Mahkamah Pimpinan LPSK dengan keputusan menghentikan perlindungan kepada saudara RE,” kata Tenaga Ahli LPSK, Syahrial di kantor LPSK, Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Syahrial menuturkan, penghapusan status Eliezer dilakukan setelah eks ajudan Kadiv Propam Mabes Polri, Irjen Ferdy Sambo itu melakukan wawancara dengan Rosiana Silalahi dan tayang di Kompas TV. Wawancara tersebut diunggah pada Kamis (9/3/2023).
Sebagai catatan, dalam video itu Eliezer bercerita banyak hal, mulai kehidupan di tahanan, sikap berterima kasihnya kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo karena masih bisa diterima sebagai anggota dengan modal kejujuran, serta pengakuan dosanya dalam kasus Yosua.
Pihak LPSK menilai, Eliezer telah melanggar Pasal 30 ayat 2 huruf c Undang-Undang 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta perjanjian kesediaan perlindungan yang ditandatangani Eliezer.
Dalam poin kesepakatan perlindungan, LPSK menyatakan pihak Eliezer harus mengikuti ketentuan perlindungan, salah satunya dengan tidak menanggapi isu ke publik selama perlindungan berlangsung.
Dalam konteks ini, LPSK memberikan 5 bentuk perlindungan sesuai UU LPSK selama perlindungan berlangsung. 5 bentuk program perlindungan itu, antara lain: perlindungan fisik yang dalam bentuk pengamanan dan pengawalan melekat termasuk dalam rumah tahanan; pemenuhan hak prosedural; pemenuhan hak saksi pelaku atau justice collaborator; perlindungan hukum; dan bantuan psikososial.
LPSK menginformasikan bahwa Eliezer menandatangani surat permohonan perlindungan dan persetujuan sebanyak 2 kali, yakni perlindungan pertama pada Agustus 2022 dan 16 Februari 2023. Perlindungan Eliezer berlaku hingga 16 Agustus 2023. LPSK juga menyatakan, ada perbedaan pandangan untuk mencabut status perlindungan Eliezer ini.
“Jadi sebagai informasi, dalam proses pengambilan keputusan dimaksud terdapat 2 dari 7 pimpinan LPSK menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion, yakni tetap mempertahankan perlindungan terhadap saudara RE,” kata Syahrial.
Pihak LPSK juga sempat mengirimkan peringatan kepada pimpinan redaksi Kompas TV agar tidak menayangkan wawancara tersebut. Mereka juga mengingatkan ada dampak pada perlindungan Eliezer jika tayangan tetap disiarkan ke publik. Pihak Kompas TV tetap menayangkan wawancara sehingga LPSK memutuskan mencabut perlindungan bagi Eliezer.
LPSK menyatakan, hak Eliezer yang hilang hanya perlindungan fisik. Perlindungan diberikan kepada pihak pemasyarakatan. Hak narapidana maupun hak justice collaborator tetap diterima Eliezer sebagai narapidana sesuai ketentuan berlaku.
“Jadi penghentian itu terhadap perlindungannya, penghargaan dan perlakuan khususnya tetap dijalankan dan tadi sudah disampaikan, sudah dimiliki kewenangan pembinaan oleh Dirjenpas, maka dalam konteks itu penghargaan terhadap RE tetap masih dilaksanakan,” kata Juru Bicara LPSK, Rully Novian di lokasi sama.
Ada Ego Sektoral & Mencederai Kebebasan Pers
Pengacara Richard Eliezer, Ronny Talapessy angkat bicara terkait dicabutnya status perlindungan bagi kliennya tersebut. Ronny menyebut ada nuansa ego sektoral dalam keputusan LPSK itu.
“Ada nuansa ego sektoral yang semestinya tidak perlu hadir kalau LPSK mau menahan diri dan membangun komunikasi yang lebih efektif," kata Ronny dalam konferensi persnya di Jakarta, Jumat, 10 Maret 2023.
Ronny menyayangkan keputusan LPSK yang dinilai mencederai kebebasan pers. Padahal, kata Ronny, partisipasi masyarakat termasuk pers berjasa mengenalkan status justice collaborator bagi pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum.
“Ini sangat membahayakan apabila ada lembaga negara yang mengancam kebebasan pers," kata Ronny.
“Partisipasi dari masyarakat luas dan insan pers ini yang membuat kita semua lebih mengenal makna justice collaborator," sambungnya.
Namun demikian, atas keputusan LPSK, Ronny menyebut pihaknya menghormati dan berterima kasih karena LPSK telah memberikan perlindungan kepada kliennya selama proses penyidikan hingga persidangan.
“Kami kuasa hukum dan keluarga berterima kasih kepada LPSK yang selama ini sudah menjaga Richard. Ke depan kita akan menyerahkan Richard kepada rumahnya, di Polri," kata Ronny.
Direktur Pemberitaan Kompas TV sekaligus pembawa acara program Rossi, Rosianna Silalahi menjawab soal sikap LPSK ini. Ia menegaskan bahwa Kompas TV sudah bersurat dengan LPSK soal wawancara dengan Eliezer.
“Kami sudah bersurat, kan, dengan LPSK. Semua izin sudah kami lalui dengan sesuai prosedur gitu," kata Rosi, sapaan Rosianna, kepada Tirto, Jumat (10/3/2023).
Rosi menilai, sikap LPSK seolah mengkambinghitamkan wawancaranya dengan Eliezer padahal mereka sudah melewati semua tahapan. Ia menilai wajar jika media mengambil momen langka bisa mendapatkan wawancara khusus. Ia pun sudah mendapat persetujuan dari Eliezer.
Rosi mengaku sudah meminta izin ke berbagai pihak sebelum wawancara seperti dengan kuasa hukum, pihak keluarga, dan Ditjen Pemasyarakatan. Ia menambahkan, pihak LPSK mendampingi Eliezer dan berpesan agar menanyakan soal justice collaborator kepada eks ajudan Sambo itu.
"Saya sudah menulis surat dengan lampiran ke LPSK. Sudah dilakukan semua. H-1 pengacara sudah berkomunikasi dengan LPSK. Oke katanya. Jalan saja sepanjang Richard setuju," tutur Rosi.
"Pada waktu wawancara, LPSK ada di situ, ikut mendampingi bahkan menitipkan pertanyaan soal justice collaborator melalui pengacara,” kata Rosi.
Rosi menilai, Eliezer tidak seharusnya mengalami dampak buruk. Ia juga berpendapat LPSK tidak seharusnya seperti organisasi orde baru yang melarang karya jurnalistik.
“Ini preseden buruk untuk karya jurnalistik ke depan,” kata Rosi.
Harus Dilihat dalam Dimensi Kepentingan Publik
Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin mengingatkan, kasus pemberitaan yang berdampak pada narasumber seperti Eliezer dalam tayangan Kompas TV harus dilihat dalam dimensi kepentingan publik. Ia menilai, kepentingan publik harus dikedepankan daripada sekadar eksklusivitas.
“Pertama harus dilihat dulu sejauh mana dimensi kepentingan publik dari sebuah karya jurnalistik. Pertanyaannya apakah ini untuk kepentingan publik yang lebih besar nilainya ataukah memang hanya soal misalkan contoh eksklusivitas," kata Ade.
“Ketika kita melihat ini, oh kepentingan umumnya lebih besar, kalau nggak dibongkar misalkan akan berakibat ABCD nya itu besar. Artinya itu harusnya di atas segalanya, tetapi kalau sebaliknya dalam hal ini saya pikir dia harus tunduk terhadap peraturan yang telah diatur," tutur Ade.
Dalam kasus Eliezer, Ade mengacu pada pernyataan LPSK soal kronologi kejadian. Jika sesuai rilis LPSK, kata Ade, pers seharusnya paham ada konsekuensi kepada narasumber tersebut, dalam hal ini Eliezer.
“Dalam hal ini saya pikir seorang jurnalis atau media, dia harus bijak melihat jangan sampai ini merugikan sumbernya. Dia harus mementingkan keselamatan korban," kata Ade.
Ade mencontohkan kenapa LPSK memberikan perlindungan mereka, karena pihak LPSK menduga Eliezer masih dalam kondisi rentan. Ia yakin LPSK punya pertimbangan alasan perlindungan melekat. Meskipun Eliezer dapat dikategorikan melanggar perjanjian dengan melanggar kesepakatan LPSK, jurnalis seharusnya lebih peka.
“Artinya dalam hal ini seharusnya teman-teman media juga bijak melihat itu. Jangan sampai ada orang yang kemudian terbebani karena liputan yang kita keluarkan," kata Ade.
Ade juga menilai, media sebisa mungkin tidak melanggar aturan sebagaimana disampaikan LPSK. Akan tetapi, saat diminta tanggapan bahwa LPSK mendampingi Eliezer saat wawancara, Ade mendorong agar ada klarifikasi dari LPSK.
“Saya pikir itu penting untuk diklarifikasi ke LPSK. Kenapa? Kalau nggak diizinkan, tapi didampingi wawancara itu perlu diklarifikasi oleh LPSK, tapi yang saya tahu misalkan di rilis itu disebutkan bahkan ada video tiktok yang Rosi membacakan surat LPSK untuk tidak menayangkan wawancara itu, yang terupdate LPSK sudah mengirimkan surat, wah ini ada asesmen keselamatan, ya harusnya pertimbangan penayangan itu harus dipertimbangkan lagi kalau misalkan memang dianggap oleh LPSK menjadi sebuah pelanggaran kesepakatan," kata Ade.
“Tapi Kuncinya saya pikir ini di LPSK. Kenapa LPSK? Kalau misalkan dia nggak mengizinkan, tapi tetap mendampingi atau misalkan kenapa di Kamis itu mereka kirim surat untuk ditayangkan, tapi kenapa wawancara didampingi? Harusnya dari awal nggak boleh kalau misalkan konsisten," tegas Ade.
Sikap LPSK Dinilai Berlebihan
Sementara itu, ahli pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menilai, langkah LPSK menghentikan perlindungan karena tayangan Rosi berlebihan. Ia menilai LPSK harus bertindak demi kepentingan umum.
“Sikap LPSK berlebihan, tidak menjaga keseimbangan antara cara dan tujuan dari suatu undang-undang, undang-undang atau isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, nilai kemanusiaan atau melanggar pula prinsip-prinsip kejujuran,” kata Azmi kepada Tirto.
“Jadi sejatinya aturan hukum itu menolak hal yang bertentangan atau hal -hal yang tidak mungkin dioperasionalkan demi nilai martabat kemanusiaan,” kata Azmi.
Azmi mengingatkan bahwa Bharada E menyampaikan fakta dan kebenaran di acara Rosi. Ia juga menyampaikan seperti di persidangan dengan secara terbuka untuk umum.
“Apa yang dilakukan dan disampaikan Bharada E adalah fakta yang sebenarnya terjadi dan tampak ia mengutamakan kejujuran dan karenanya keterangannya haruslah diumumkan dan didengarkan orang banyak,” kata Azmi.
Azmi menekankan informasi Bharada E ini fakta dan keadaan yang sebenarnya dan sah, bukan rahasia. Ia juga mengingatkan bahwa proses persidangan sudah selesai sehingga aksi LPSK sudah tidak tepat dengan penghapusan JC.
“Jadi pencabutan status JC Bharada E oleh LPSK tidak tepat, tidak ada alasan atau urgensinya pengambilan keputusan atau keberatan LPSK tersebut dengan berdalih bahwa Bharada E berhubungan dengan orang lain tanpa persetujuan, ini mengada-ada,” kata Azmi.
Azmi menambahkan, “Jadi dalam melihat peristiwa ini harus kembali pada esensinya, apa yang dicari dan yang dituju dari kesaksiannya, apalagi mengingat kasus ini adalah perhatian publik, kasusnya pun sudah berkekuatan hukum tetap sehingga demi keadilan semestinya LPSK harus berani meletakkan kembali status JC pada Bharada E.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz