tirto.id - Para pengusaha rental sepeda motor di Bali saat ini pusing tujuh keliling. Pasalnya, mereka merasa pendapatannya menurun setelah melihat banyaknya warga negara asing (WNA) yang belakangan berbisnis rental sepeda motor.
Salah satu yang merasakan adalah Ketut Dewa. Ia menilai para WNA bisa dengan mudah mengambil pelanggan rental sepeda motor milik orang asli Bali karena akses sesama WNA yang lebih mudah. Tak hanya itu, harganya pun di bawah rata-rata.
Sejumlah pengusaha rental sepeda motor asli Bali menduga, para WNA tersebut tidak dikenai pajak karena hanya menggunakan visa liburan selama di Bali. Itu artinya, bisnis mereka ilegal.
“Jeleknya, dia pakai visa, ke Bali bisa liburan sambil cari uang, itu keuntungan banget bagi dia. Seharusnya pemerintah mulai bergerak menangani itu supaya rental-rental bisnis lokal kayak kami enggak kena dampaknya,” kata Ketut dalam video yang dilansir detik.com pada 5 Maret 2023.
Fenomena WNA yang melakukan praktik bisnis secara ilegal di Bali—salah satu pulau destinasi wisata paling dicari di dunia—bukan hal baru. Di banyak sektor pekerjaan, sudah banyak kasus di mana WNA yang awal hanya memiliki visa liburan, namun ternyata mencari nafkah.
Bulan lalu, misalnya, ada WNA asal Rusia bernama Sergey Zanimonets harus dideportasi oleh Kementerian Hukum dan HAM karena membuka jasa fotografer di Bali. Padahal, visanya sebagai investor. Kasus ini menjadi sorotan masif salah satunya karena kritik keras dari salah satu tokoh Bali, Niluh Djelantik.
Tak hanya itu, ramai juga di media sosial bagaimana modus operandi para WNA yang mencoba menyewa kontrakan di Bali dan meminta pemiliknya untuk merenovasi ulang kontrakannya. Dengan dalih akan jarang ditempati, para WNA meminta izin agar diperbolehkan disewakan ke teman-temannya jika sedang tidak ditempati.
Namun, ternyata itu semua hanya modus para WNA agar bisa disewakan kembali dengan harga yang lebih mahal dari harga sewa ke pemilik aslinya.
Praktik para WNA di Bali untuk berbisnis bukan hanya perkara legal atau ilegal. Ada juga perkara lain, yang terkadang tak masuk akal. Semisal pada Mei dua tahun lalu, ada seorang WNA asal Kanada yang harus dideportasi dari Bali karena membuka kelas yoga orgasme.
Belakangan, apalagi setelah pandemi, kelakuan para WNA di Bali memang jadi buah bibir oleh publik Bali sendiri. Tahun lalu, publik Bali digegerkan karena kelakukan WNA yang naik ke atas pelinggih—tempat suci umat Hindu. Kelakuan tersebut dianggap melecehkan tempat suci orang Bali.
Tak berhenti di situ, beberapa hari lalu, sepuluh WNA di Jimbaran, Kuta Selatan, Bali, membikin petisi untuk protes karena merasa terganggu dengan suara ayam milik warga Bali. Para WNA itu meminta pemilik ayam untuk memindahkan kandang ayam, namun ditolak. Mediasi yang dilakukan tak membuahkan hasil apa pun.
Pisau Bermata Dua Pariwisata di Bali
I Wayan Willyana (33 tahun) yang merupakan seorang pemandu wisata asal Bali pun mengeluhkan hal serupa. Menurutnya, para WNA yang awalnya datang untuk berlibur, tapi berakhir untuk bekerja bukan praktik yang baru. Kasus seperti ini menjadi masalah yang tak kunjung selesai karena memang sejak awal cetak biru industri pariwisata di Bali diperuntukan secara massal.
“Ini memang semacam bom waktu berantai yang akan terus memperburuk situasi. Orang-orang kulit putih, kan, memang selalu merasa memiliki previlese ketika memiliki peluang yang sama di Bali,” kata Wayan saat dihubungi reporter Tirto pada Senin (6/3/2023).
“Dan saya rasa, ini masalah struktural sekali,” tambahnya.
Dalam sebuah siniar—atau yang kerap disebut podcast—berjudul “Pariwisata Kini & Konsekuensinya untuk Masyarakat Lokal dan Adat” pada akhir Januari lalu, Wayan bercerita bagaimana industri pariwisata di Bali memang sejak awal bukan merupakan pilihan warga Bali secara sadar. Ia dibentuk dan dikonstruksi oleh rezim Orde Baru.
Kata Wayan, sejak dulu warga Bali sudah diindoktrinasi soal keramahan dalam pelayanan—atau hospitality—merupakan pintu masuk dari industri pariwisata. Hal tersebut bisa dilihat bagaimana menjamurnya sekolah dan kampus di bidang pariwisata dan perhotelan di Bali.
“Diksinya yang dipakai adalah ‘tuan’ atau ‘nyonya,’ itu artinya sudah bukan tamu lagi, tapi pihak yang punya kuasa. Ada kekuasaan di sana,” kata Wayan dalam siniar tersebut.
“Orang tua kita memang tinggal di masa keemasan pariwisata,” tambahnya di siniar itu. “Tapi sekarang, kita lahir saat orang asing bebas pakai motor Nmax, enggak pakai baju, mencuri, dan lain-lain.”
Kepada wartawan Tirto, Wayan mendesak Pemerintah Daerah Bali untuk menyelesaikan masalah seperti ini karena tak mungkin diselesaikan sendiri oleh masyarakat. Selama ini, Wayan menilai, pemerintah hanya berfokus pada kuantitas para turis WNA tanpa memikirkan kualitasnya.
“Tinggal dibikin saja sistem untuk menyaring turis ke Bali. Jadi bisa masuk Bali yang memiliki standar kualitas. Intinya, kita ‘menjual’ Bali lebih mahal,” kata dia. “Jumlah turis [berkualitas] akan membuat Bali lebih baik dan praktik-praktik industrinya lebih sehat untuk kami.”
Ia juga mendesak pemerintah daerah untuk segera mengambil kebijakan jangka pendek lainnya mengingat kasus-kasus para WNA yang semena-semena bisa teratasi segera. Menurutnya, saat ini pemerintah Bali harus tegas.
“Itu memang kewajiban dan kewenangan pemerintah. Masa masyarakat yang harus berkonflik di lapangan? Enggak mungkin,” katanya.
Saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Gubernur Bali, I Wayan Koster mengaku, pihaknya akan segera menggelar rapat gabungan dengan seluruh pihak pada Rabu (8/3/2023) siang. Kata dia, rapat itu akan membahas rumusan kebijakan terbaru yang lebih tegas soal beberapa masalah WNA yang berada di Bali hari ini.
Bersama sejumlah jajaran di bawahnya, seperti Sekretaris Daerah, Satpol PP Bali, Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata, dan Dinas Penanaman Modal dan PTSP, Wayan juga menyebut pihaknya akan mengundang Polda Bali, Kanwil Kemenkumham Bali, Kantor Imigrasi Bali, dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali.
"Semua diundang," kata Wayan kepada wartawan Tirto, Rabu pagi. "Akan dirumuskan kebijakan tindakan tegas."
Jangan Gantungkan Ekonomi ke Pariwisata
Saat kursi menteri pariwisata masih dijabat Arief Yahya, Presiden Joko Widodo memang punya ambisi besar untuk memasifkan industri pariwisata di Indonesia. Sejak saat itu, rezim Jokowi berambisi membangun 10 destinasi wisata prioritas yang tersebar di 10 daerah: Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Bromo-Tengger-Semeru, Kepulauan Seribu, Danau Toba, Tanjung Lesung, Morotai, Tanjung Kelayang, dan Wakatobi. 10 destinasi wisata ini disebut-sebut akan menjadi “10 Bali baru.”
Contohnya di Danau Toba. Kaldera yang digadang-gadang menjadi salah satu warisan dunia itu memang ingin dijadikan destinasi bertaraf internasional, kata Menteri Arief lima tahun lalu. Dari sebelumnya hanya mentok di 270.000 wisatawan, pemerintah ingin menargetkan satu juta orang dengan pemasukan mencapai satu miliar dolar Amerika Serikat.
Kendati sudah lima tahun berlalu, tak ada perkembangan signifikan dari mimpi Presiden Jokowi mewujudkan angan-angan itu di Danau Toba. Belakangan, justru proyek pembangunan destinasi pariwisata itu getol ditolak karena dituding menggusur kebun sumber penghasilan milik masyarakat adat.
Dalam siniar yang sama dengan Wayan, dosen kajian pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) Sarani Pitor Pakan menilai, seharusnya negara tidak menggantungkan ekonomi dari sektor pariwisata. Dengan demikian, ada paradigma yang tertanam ke masyarakat setempat untuk menggantungkan hidup mereka ke sektor itu. Akhirnya, hal tersebut rentan bikin masyarakat tak memikirkan sumber penghidupan yang lain.
Menurutnya, negara jangan hanya memandang pariwisata dengan tolak ukur ekonomi semata, tapi juga sebagai ruang pertemuan antar budaya. Kata Pitor, sudah banyak teks-teks yang menjelaskan bahwa pariwisata bukan hanya perkara ekonomi, tapi juga pembelajaran soal komunitas antar sesama warga.
Semisal di Paris, yang banyak terdapat migrant tour bikin para imigran dan akademisi yang sejak awal dijadikan tempat untuk pembelajaran soal pengungsi di Prancis. Kata Pitor, kebanyakan pesertanya justru warga lokal Paris itu sendiri.
Di sisi lain, Pitor juga menilai praktik bisnis-bisnis pariwisata dilakukan dan dimiliki oleh komunitas warga di lokasi itu sendiri.
“Locally-owned. Memang ada pariwisata berbasis komunitas. Namun seharusnya community-owned tourism,” kata dia.
“Jangan sampai warga lokal ditindas karena pariwisata,” tambahnya.
Menurut Pitor, jika faktor-faktor tersebut tak jadi fokus pembenahan negara, bukan tak mungkin masalah-masalah struktural akibat masifnya industri pariwisata di Bali akan berulang di “10 Bali baru” impian Jokowi tersebut.
“Ketika ada 10 Bali baru, apa berarti kita mau membawa semua masalah itu ke 10 tempat baru lainnya?” tanya Pitor tegas.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz