tirto.id - Yulia Prastini, 62 tahun, terheran-heran saat mendapat informasi bahwa anak pertamanya mendapat tawaran pekerjaan dari Thailand, pada Oktober tahun lalu. Sejak dua bulan sebelumnya, anaknya Lia, Naldy—bukan nama sebenarnya, memang sedang gencar mencari peluang untuk kerja di luar negeri.
Ia mengincar dua negara: Australia dan Kanada. Namun, tawaran justru datang dari Negeri Gajah Putih.
“Kenapa ke Thailand, Nak? Itu bukan negara maju. Sama seperti Indonesia.”
"Enggak tahu. Ada lowong operator, megang komputer dan harus bisa bahasa Inggris."
Lia mencoba percaya. Thailand adalah negara yang relatif lebih dekat ketimbang dua negara tujuan awal Naldy. Pengalaman Naldy yang pernah bekerja di Jepang selama tiga tahun bikin Lia percaya bahwa setidaknya sang putra menguasai bahasa asing, dan itu akan mempermudah segala urusan.
“Mungkin itu dasarnya dia dapat tawaran posisi di Thailand,” cerita Lia kepada wartawan Tirto, Rabu (3/5/2023) siang. “Tapi saya masih heran, kenapa ke Thailand?”
Akhirnya, Naldy berangkat ke Thailand bersama beberapa temannya pada 21 Oktober 2022. Lia mengaku bahwa Naldy menolak diantar ke bandara. Sesampainya di Bangkok—ibu kota negara itu, Naldy sempat melakukan panggilan video dengan Lia. Saat itu, Naldy bilang bahwa dari Bangkok masih harus melakukan perjalanan darat selama 12 jam dan tak tahu di mana tujuan akhirnya.
“Dari situ, sudah enggak enak perasaan saya. Perasaan Thailand itu kecil, 12 jam harusnya jauh sekali.”
Naldy akhirnya memberi kabar bahwa dirinya sudah sampai di tempat perusahaan di mana dirinya akan bekerja. Lewat panggilan video, Lia mengetahui lokasi tempat kerja Naldy berada di wilayah yang cukup terpencil: sepi dan jauh dari pemukiman masyarakat. “Seperti enggak ada kehidupan,” katanya.
Naldy juga menceritakan satu hal ke ibunya: perjalanan ke lokasi tempat kerja juga sempat menggunakan perahu untuk menyeberang sebuah sungai—yang belakangan diketahui merupakan perbatasan antara Thailand dan Myanmar.
Kepada Lia, Naldy mengaku kerja dari jam tujuh malam hingga 12 siang. Awalnya, Naldy mengaku bahwa pekerjaannya adalah mencari nasabah dari mancanegara sehingga jam kerja mengikuti perbedaan waktu lintas benua.
Setelah satu bulan bekerja, Naldy akhirnya mengaku kalau pekerjaannya dan kawan-kawan lainnya adalah melakukan penipuan secara daring dengan menjebak orang untuk melakukan investasi.
Dari Indonesia, mereka total ada 20 orang. Jam kerjanya nyaris 17 jam per hari, dengan jumlah target yang sudah ditetapkan. Jika tidak sesuai target, mereka akan dihukum oleh pihak perusahaan.
Pengakuan Naldy tersebut dilakukan setelah Lia membaca beberapa berita soal perdagangan orang ke luar negeri yang disuruh bekerja tidak sesuai dengan perjanjian awal. Ia memaksa Naldy untuk jujur.
“Dia disuruh tipu-tipu, mencari orang siapa yang bisa dijebak. Saat itu, saya langsung nangis,” kata Lia.
Karena cukup fasih berbahasa Inggris ketimbang korban lainnya, Naldy diberi tugas oleh perusahaan untuk mengawasi sesama rekannya yang bekerja dan dikenai hukuman. Itu artinya, posisi Naldy relatif aman dari hukuman.
Posisi itu juga yang bikin Naldy lebih leluasa menghubungi ibunya. Sedangkan teman-teman lainnya, gawai mereka disita oleh perusahaan dan baru diberi akses sekali sepekan.
“Tapi itu hanya formalitas aja. Anak saya akhirnya banyak bantu ke temen-temennya, karena sesama temen kerja bareng enggak mungkin tega membiarkan begitu. Yang paling parah ketika hukumannya disetrum listrik. Ada praktik penyiksaan,” kata Lia.
Suatu saat, Naldy mengaku ke Lia kalau dia disuruh menyiksa teman-temannya sendiri yang kerjanya tak melampaui target.
“Aku disuruh nyetrum teman-teman.”
“Astaghfirullah. Terus kamu lakuin?”
“Iya, kalau enggak, aku yang akan disiksa.”
Kepada Lia, Naldy berjanji tak akan mau nyiksa teman-temannya. Naldy merasa dirinya tersudutkan, dijebak oleh pihak perusahaan, dan mentalnya tertekan. “Itu sekali saja aku merasa enggak enak hati,” kata Lia menirukan perkataan Naldy.
Karena posisi tempat kerja mereka tak jauh dari sungai, Naldy juga pernah bercerita ke Lia bahwa ia dan teman-temannya pernah menemukan seorang mayat beretnis Tionghoa yang hanyut di sungai tersebut. Belakangan, diketahui mayat tersebut adalah karyawan dari perusahaan lain yang sengaja dihanyutkan setelah disiksa hingga babak belur.
Pada Februari lalu, Lia bersama sejumlah keluarga lainnya berinisiatif untuk melaporkan dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ini ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Pelaporan itu dilakukan usai Lia dan beberapa keluarga lainnya mengumpulkan hingga total 17 keluarga mau bergerak bersama. Mereka meminta polisi untuk membawa pulang keluarga mereka yang ada di Myanmar.
“Terbentuklah satu grup. Kami lapor Bareskrim, bawa surat, bukti penyiksaan, hingga pesan yang mengarah ke hal-hal yang tidak manusiawi,” kata Lia.
Namun, saat itu Bareskrim Mabes Polri belum bisa menerima laporan karena mengingat penjemputan WNI di luar negeri adalah ranahnya Kementerian Luar Negeri. Polisi hanya bisa menindak oknum yang menjadi agen penyalur para WNI ketika berangkat. Akhirnya, laporan pada Februari itu bentuknya hanya pengaduan masyarakat.
WNI Terjebak di Wilayah Konflik
Pada Selasa (2/5/2023), para keluarga korban dugaan TPPO—didampingi oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Kementerian Luar Negeri—akhirnya kembali mendatangi Bareskrim Mabes Polri untuk melaporkan dua orang berinisial A dan P sebagai perekrut dan pihak yang bertanggung jawab menempatkan 20 orang WNI sebagai buruh migran.
“Melihat bahwa kasus ini sudah masuk dalam kejahatan internasional, sehingga harapan kami pihak Kepolisian dapat melihat dan menindak kasus ini dengan tegas kemudian dapat membongkar sindikat sehingga ke depannya tidak ada lagi korban-korban yang terjadi di negara manapun,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, usai pelaporan.
Para keluarga menduga A dan P menempatkan 20 orang WNI—termasuk Naldy—untuk bekerja di Myanmar melalui prosedur yang tidak benar. Modusnya adalah menawarkan pekerja sebagai operator komputer di salah satu perusahaan bursa saham di Thailand. Para korban dijanjikan upah 8-10 juta rupiah per bulan, waktu kerja 12 jam, hingga mendapatkan makan empat kali sehari serta mendapatkan fasilitas tempat tinggal secara gratis.
“Para perekrut membiayai akomodasi keberangkatan para korban seperti pembuatan paspor, tiket pesawat dan kebutuhan lainnya dengan ketentuan pinjaman dan pengembalian uang pinjaman tersebut dengan cara potong gaji setelah mereka sudah bekerja dan menerima gaji,” kata Hariyanto.
Sebelum diberangkatkan ke Thailand, para korban ditempatkan terlebih dahulu di sebuah apartemen di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Kemudian akhirnya para korban diberangkat ke Myanmar namun lewat jalur darat dan air Thailand.
“Para korban sesampainya di penempatan kerja, mereka disekap oleh perusahaan yang dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata dan berseragam militer, menyita gawai milik para korban, mempekerjakan para korban secara paksa untuk online scam selama 17 jam kerja per hari, memperlakukan para korban dengan kasar dan dengan tindakan kekerasan fisik dan psikis, bahkan terjadi pemukulan hingga penyetruman,” kata Hariyanto.
Dalam catatan lembaganya, Hariyanto menyebut kasus seperti itu sudah banyak terjadi sejak tahun 2017 mulai dari Kamboja, Myanmar, Filipina, dan Thailand. “Maka dapat dikatakan berbasis analisis SBMI ada berbagai aktor sindikat internasional yang sudah memenuhi unsur tindak pidana perdagangan manusia,” tambahnya.
Fungsional Diplomat Muda Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri yang ikut mendampingi dalam pelaporan itu, Rina Komaria, menyebut para korban saat ini berada di perbatasan Thailand dan Myanmar yang masih dikuasai oleh kelompok bersenjata. Kata Rina, bahkan otoritas di Myanmar melarang orang masuk ke wilayah tersebut karena wilayahnya sangat berbahaya.
“Kami ikut mendampingi kasus yang berasal dari aduan keluarga korban yang didampingi oleh SBMI yang saat ini berada di Myanmar. Upaya yang kami lakukan ke Bareskrim Polri ini merupakan langkah kerja sama yang telah kami lakukan sejak awal dan kami ingin menekankan pentingnya penegakan hukum kepada pihak-pihak yang masih melakukan perekrutan terhadap WNI untuk diberangkatkan ke Myanmar,” katanya.
Dijual 70 Juta Rupiah, Disekap & Tak Ada Kabar Sejak Lebaran
Tak hanya Naldy, nasib Asep—bukan nama sebenarnya—juga belum jelas hingga hari ini. Ia adalah satu dari 20 orang WNI yang diduga dijual untuk menjadi pekerja di perbatasan Thailand-Myanmar.
Kepada Tirto, istri Asep, Ema Ulfatul Hilmiah, 28 tahun, bercerita bahwa suaminya sudah berniat mencari kerja di luar negeri sejak 2021 lalu. Saat itu, Asep ingin bekerja di Arab Saudi sebagai barista lewat sebuah Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) swasta di Kota Sukabumi, Jawa Barat. Namun, dua tahun terakhir tak pernah ada kabar yang jelas bagi Asep.
Hingga pada Oktober tahun lalu, LPK tersebut menawari Asep untuk bekerja sebagai operator marketing di Thailand dengan upah 10 juta rupiah per bulan. LPK tersebut tak menjelaskan lebih rinci soal pekerjaan tersebut. Akhirnya, Asep dihubungkan dua orang agen yang ada di Bekasi, Jawa Barat. Dua orang itu adalah A dan P, yang akhirnya dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri.
“Suami saya di-interview oleh agen itu. Dan juga di-interview oleh perusahaan Thailand itu pakai Bahasa Inggris. Sangat meyakinkan sekali,” kata Ema, Rabu lalu.
Sama seperti Naldy, Asep juga menempuh perjalanan belasan jam untuk mencapai lokasi tempat kerja itu. Ia juga mengalami hal serupa: bekerja sesuai target dalam waktu 14-16 jam kerja.
“Doain saja, ya, semoga ayah bisa segera pulang,” kata Ema meniru perkataan Asep. Kata Ema, kalimat itu selalu diucapkan Asep ketika bisa mengakses gawainya di akhir pekan.
Akhirnya, pada pekan kedua sejak mulai bekerja di sana, Asep jujur kepada Ema: ia dan kawan-kawannya telah ditipu. Awalnya, perusahaan berjanji akan mengadakan pelatihan kepada para korban, dan jika tak ingin melanjutkan, para korban bisa pulang ke Indonesia. Namun, ternyata setelah pelatihan, para korban dipaksa untuk teken kontrak kerja berbahasa Mandarin.
“Kalau enggak mau teken kontrak, nanti disekap. Mereka dipaksa disuruh bikin video yang isinya kerja mereka tidak dalam keadaan terpaksa,” kata Ema.
Kepada Ema, Asep beberapa kali melakukan panggilan video dan menjelaskan bahwa tempat kerja dekat dengan sungai yang menjadi perbatasan Thailand dan Myanmar. Saat menyeberangi sungai tersebut, itu artinya posisi Asep dan 19 orang lainnya berada di Myanmar secara ilegal.
Setelah satu bulan bekerja di lokasi tersebut, akhirnya pihak perusahaan menjelaskan bahwa 20 orang tersebut memang sudah dijual oleh seorang agen dengan harga 70 juta rupiah per kepala. Sang agen tersebut minta uangnya dilunasi di awal. Kata Asep kepada Ema, manajer perusahaan tersebut memperlihatkan isi pesan antara dirinya dengan agen tersebut.
“Makan, minum, listrik semua bayar. Nanti dipotong dari gaji. Mereka malah terbelit utang di sana. Mereka akan dijebloskan ke utang-utang mereka. Gaji mereka dipotong untuk bayar diri mereka sendiri yang 70 juta itu,” kata Ema.
Hingga hari ini, Ema mengaku tak mendapat kabar lagi dari suaminya karena Asep dan beberapa orang korban lainnya disekap oleh perusahaan sejak 10 hari lalu—atau satu hari setelah lebaran. Mereka disekap karena mogok kerja sebagai bentuk protes adanya beberapa korban yang akan dijual ke perusahaan lain.
“Mereka, termasuk suami saya, bersolidaritas. Kalau mereka membiarkan begitu saja teman-temannya, mungkin masih pada kerja sekarang. Setelah mogok, malah disekap,” kata Ema lirih.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri