tirto.id - Polda Metro Jaya membongkar sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) jaringan internasional di Bekasi, Jawa Barat, yang menjual organ ginjal ke Kamboja. Total ada 12 anggota sindikat yang ditetapkan tersangka dan ditahan.
"Tim telah menahan 12 tersangka," ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto, di Polda Metro Jaya, Kamis, (20/7/2023).
Sebelas tersangka merupakan sindikat dalam negeri yang berperan menampung korban, merintangi penyelidikan polisi dan meloloskan korban saat diberangkatkan dari bandara. Sementara satu tersangka berada di luar negeri yang menjadi mediator dengan pihak rumah sakit di Kamboja.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Hengki Haryadi mengungkapkan seorang polisi yang ikut dalam jaringan internasional ini berinisial Aipda M. Tugasnya membantu komplotannya agar tak terdeteksi kepolisian.
Aipda M berusaha merintangi pengusutan perkara dengan menyuruh pelaku lain buang ponsel atau pindah-pindah tempat. Hal itu dilakukan agar lolos dari pengejaran kepolisian. Bahkan Aipda M diduga menerima uang Rp612 juta.
Sedangkan pihak Imigrasi yang terlibat ialah AH, dia bekerja di Bandara Ngurah Rai. Tugasnya membantu meloloskan korban saat pemeriksaan di bandara. "AH mendapatkan imbalan uang Rp3,2 juta hingga Rp3,5 juta per orang," ujar Hengki.
Motif ekonomi jadi dalih perbuatan. Sembilan pelaku adalah mantan pendonor ginjal yang kemudian menjadi perekrutan. Komplotan ini memperoleh Rp200 juta usai menjual organ. Korban pun dijanjikan uang jika mau mendonorkan.
"Para pelaku memanfaatkan posisi rentan korban yang umumnya kesulitan keuangan, dan mengeksploitasi korban demi memperoleh keuntungan. Para korban dijanjikan imbalan Rp135 juta apabila bersedia menjadi pendonor ginjal," jelas Hengki.
Periode Mei-Juni 2023, sindikat tersebut telah memberangkatkan 31 korban ke Kamboja untuk menjual ginjal. Para sindikat mencari calon korban mulai dari mulut ke mulut hingga menggunakan komunitas Facebook "Donor Ginjal Indonesia" dan "Donor Ginjal Luar Negeri".
Pelaku beroperasi sejak tahun 2019. Mereka telah mendapatkan untung Rp2,4 miliar. Jumlah korban mencapai 122 orang. Semua ini merupakan buntut penggerebekan sebuah rumah kontrakan di Perumahan Villa Mutiara Gading, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, diduga sebagai tempat penampungan korban penjualan organ.
Pada 19 Juni 2023, polisi menggerebek tempat itu dan mengamankan korban. Para korban mengaku akan diberangkatkan ke Kamboja untuk operasi pengangkatan organ.
Kabiddokkes Polda Metro Jaya Kombes Pol Hery Wijatmoko mengatakan pihaknya juga bekerja sama dengan kepolisian daerah lain guna mendampingi pasien yang berada di luar wilayah hukum ibu kota.
"Kami juga akan mendampingi secara psikologis para pasien tersebut, akan bekerja sama dengan polda-polda lain untuk para pasien yang bertempat tinggal di luar wilayah hukum Polda Metro Jaya," kata Hery, Selasa, (25/7).
Pada perkara ini, para tersangka dijerat pasal berlapis. Untuk 10 tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau Pasal 4 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kemudian bagi Aipda M, ia dijerat Pasal 22 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juncto Pasal 221 ayat (1) ke-1 KUHP; dan untuk pegawai Imigrasi disangkakan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Nihil Lembaga Donor
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir berkata, berulangnya kasus donor organ ilegal akibat lambatnya implementasi ragam kebijakan pemerintah. Ketiadaan lembaga donor organ resmi membuat orang yang memang ingin mendonorkan organnya secara sukarela, menjadi kebingungan dan berhasil dimanfaatkan oleh pelaku.
"Kami mendesak pemerintah segera membentuk lembaga donor organ agar setiap orang yang mau mendonorkan organ memiliki tujuan yang tepat demi menyelamatkan ratusan ribu pasien di Indonesia,” kata Tony, Senin, (24/7).
Ia meminta agar pemerintah membuat sistem daftar tunggu pasien, registrasi donor, skala prioritas, dan kartu pendonor agar pendataan profesional seperti yang dilakukan negara maju.
Sisi lain, ia menilai penindakan ini bukanlah akhir dari kasus perdagangan manusia, dalam hal ini penjualan organ ginjal. Dalam beberapa tahun terakhir kejadian serupa terus saja berulang, ini menandakan kelemahan sistem negara dalam melindungi kepentingan kesehatan masyarakat.
Ginjal merupakan salah satu organ dalam yang paling diminati oleh banyak pihak lantaran bagi orang dengan penyakit ginjal kronik dan sedang menjalani terapi cuci darah (hemodialisis), transplantasi ginjal menjadi jalan keluar satu-satunya jika ingin memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Tidak hanya itu, sambung Tony, transplantasi ginjal juga memiliki keuntungan dari sisi pembiayaan jika dibandingkan dengan cuci darah yang bisa merogoh kocek ratusan juta per tahun.
Biaya satu kali transplantasi ginjal yang saat ini ditanggung oleh BPJS Kesehatan mencapai Rp420 juta. “Seharusnya ini bisa jadi jalan keluar bagi negara. Dari kasus ini publik belajar bahwa saatnya Indonesia memiliki lembaga khusus donor organ, sama halnya seperti donor darah. Mau donor darah sukarela, datangnya ke PMI. Begitu juga dengan donor ginjal, ada lembaga pengatur,” kata Tony.
Bila perkara ini tidak menjadi pembelajaran, Tony khawatir akan banyak orang yang ingin mendonorkan organ secara sukarela malah menjadi takut karena dicurigai bagian dari sindikat.
“Begitu juga rumah sakit dan dokter, akhirnya menolak calon resipien dan donor yang bukan dari keluarga. Padahal keselamatan pasien adalah hukum tertinggi di negeri ini."
Pelaku TPPO Gunakan Medsos
Ketua Communication & Information System Security Research Centre (Cissrec) Pratama Persadha mengungkapkan, media sosial seringkali dimanfaatkan untuk melakukan tindakan kejahatan, salah satunya adalah kejahatan perdagangan orang, termasuk perdagangan organ tubuh manusia.
Menurutnya, medsos dimanfaatkan pelaku kejahatan karena beberapa faktor, seperti bisa membuat akun palsu atau menggunakan identitas palsu.
"Media sosial juga menyediakan akses ke jutaan pengguna di seluruh dunia, sehingga pelaku kejahatan dapat dengan mudah mencari dan menargetkan calon korban, serta mencari peluang untuk melakukan tindakan kriminal," ujar Pratama kepada Tirto, Kamis, (27/7/2023)i.
"Pelaku kejahatan seringkali menggunakan media sosial untuk mendekati calon korban dengan lebih mudah. Mereka dapat menggunakan pesan pribadi, komentar, atau chat untuk membangun hubungan dengan target mereka, yang akhirnya memudahkan rekrutmen untuk tujuan tertentu seperti perdagangan manusia atau penipuan," sambung Pratama.
Para pelaku mencari orang yang terlihat rentan, dan kemudian berpura-pura menjadi teman atau pemberi bantuan yang berpikiran baik untuk menarik perhatian mereka. Lalu mengiming-imingi uang agar korban mau mendonor ginjal.
Selain itu, pelaku memanfaatkan medsos guna membuat iklan dan penawaran palsu tentang pekerjaan menarik atau kesempatan yang tampak menguntungkan, misalnya, pekerjaan di luar negeri, namun sebenarnya adalah jebakan untuk perdagangan manusia.
Pratama menambahkan, ketika masuk jebakan, para pelaku memaksa korban membuat atau berpartisipasi dalam konten seksual yang dieksploitasi untuk diperjualbelikan atau diancam akan dipublikasikan secara luas sebagai bentuk pemaksaan.
Lantaran cukup banyak korban serta bahaya akibat yang ditimbulkan dari TPPO, semua pihak harus bekerja sama memerangi tindak kejahatan ini.
"Pemerintah serta aparat penegakan hukum harus lebih mengoptimalkan mesin pengais serta analisis media sosial yang mereka miliki. Alat bantu ini biasanya digunakan untuk mencari dan menyaring informasi hoaks, pornografi serta perjudian daring, namun sekarang ditambah tugasnya untuk mencari informasi terkait TPPO dan perdagangan organ manusia,” ucapnya.
Tim yang mengoperasikan alat itu juga perlu penambahan SDM sejalan penambahan tugas baru. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga internasional yang berfokus pada pencegahan dan pemberantasan TPPO.
Lantas peran masyarakat juga penting dalam penanggulangan kasus-kasus ini dengan cara melaporkan kepada pihak yang berwajib jika menemukan informasi tentang tawaran atau ajakan dari pelaku.
“Informasi tersebut bisa dijadikan untuk investigasi dan pemberian hukum kepada pelaku. Informasi itu dapat digunakan untuk melakukan pemblokiran situs sehingga jerat korban bisa dihindari,” ungkapnya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Reja Hidayat