tirto.id - “Saya sempat mau bunuh diri,” ujar Utari, bukan nama sebenarnya, warga Ponorogo yang menjadi korban perdagangan manusia. Ia berniat melompat dari lantai tujuh apartemen saat tahu disuruh melayani tamu di tempat karaoke.
Apartemen itu terletak di dekat Stasiun Utama Taipei, pusat kota Taiwan. Ia terdampar di salah satu unit di lantai tujuh, di dalamnya ada tiga kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, dan satu ruang tamu, bersama empat belas perempuan lain. Utari hanya tahu belasan perempuan itu berasal dari Kalimantan dan sudah lebih dulu berada di “tempat penampungan” tersebut. Kantor agen yang merekrut mereka berada di lantai satu apartemen.
Utara tiba di sana setelah menjalani seluruh proses yang sangat cepat. Lima belas tahun lalu, seorang kenalannya mengajak dia bekerja di Taiwan. Ia percaya begitu saja karena tiga tahun sebelumnya, pengalaman dia pertama kali sebagai buruh migran, juga diajak temannya yang menikah dengan pria asal Jepang. Utari bekerja di salah perusahaan di Jepang dan harus pulang ke Indonesia karena izin kerjanya selama tiga tahun sudah habis.
Berbekal ajakan temannya pula ia berangkat ke Jakarta. Hanya beberapa hari menginap di penampungan, dijanjikan bakal bekerja di rumah tangga tapi tanpa pelatihan bahasa Mandarin, Utari berangkat ke Taiwan. Ia bahkan sama sekali tak curiga ketika pihak agen—yang kemungkinan ilegal—meminta dia membawa pakaian model terbuka.
“Saya enggak mikir aneh-aneh saat itu,” katanya. Tapi ia tak menuruti permintaan itu karena ia tak punya baju seksi. Pihak agen memberikan ponsel untuknya.
Sampai di penampungan di Taipei, Utari yang saat itu berusia 24 tahun baru mengetahui pekerjaannya adalah pemandu karaoke sekaligus harus bersedia menemani tamu melakukan aktivitas seksual.
Para pekerja migran asal Kalimantan, yang jadi teman satu penampungan, yang memberitahunya. “Kok kamu mau kerja begitu?” kata mereka. Utari takut. Ia juga takut atas nasib yang sama dengan mereka, yang kemungkinan juga adalah korban perdagangan orang. Mereka tak cuma jadi pemandu karaoke, tapi ada yang dipaksa kawin kontrak.
Utari menolak. Ia minta ke agen di Taipei untuk pindah pekerjaan. Agen menyuruhnya bekerja di perkebunan kelengkeng.
Bekerja di perkebunan sangat melelahkan, kata Utari. Ia harus menyemprot tanaman kelengkeng setiap hari. Ia hanya bertahan beberapa hari. Agen menjemputnya dan memaksanya kembali bekerja di karaoke. “Kalau saya menolak,” katanya, “Saya didenda Rp11 juta.”
Saat itulah, dalam situasi putus asa, Utari berniat bunuh diri.
Namun, niat itu dicegah oleh teman-teman satu penampungan. Mereka menyarankan Utari menghubungi kenalan atau orang terdekat, yang mungkin mau membayar uang tebusan. Salah satunya menenangkan Utari jika dia bunuh diri, situasinya bakal lebih ribet. Mereka semua pekerja ilegal, yang kemungkinan lebih buruk lagi: mati tanpa diketahui keluarganya di kampung, jasad tanpa nama.
Membayangkan kengerian itu, Utari menelepon seorang kenalannya, yang kelak menjadi suaminya. Berbekal bantuan dari temannya, Utari melarikan diri. Lalu, menyerahkan diri ke polisi. Di kantor polisi itu ia ditahan selama 14 hari. Utari dipulangkan setelah temannya membayar tebusan. Belakangan, Utari baru mengetahui visa dia yang diberikan oleh pihak agen adalah visa turis tiga minggu, bukan visa izin bekerja.
Puluhan ribu Buruh Migran
Setiap tahun, puluhan ribu buruh migran perempuan mendatangi negara-negara tujuan, berbekal impian ingin mengubah ekonomi keluarga di kampung halaman. Menurut data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, ada 8.925 buruh migran perempuan dari total 10.395 tenaga kerja Indonesia pada periode November 2020. Jumlah ini menurun ketimbang periode November 2019 (15.371 pekerja migran perempuan), kemungkinan karena dunia saat ini menghadapi pandemi COVID-19.
Jumlah itu adalah hitungan resmi terdaftar, artinya mereka bekerja ke luar negeri dengan prosedur legal. Setiap tahun, lalu lintas perdagangan orang terekam oleh otoritas resmi. Tahun lalu saja, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengidentifikasi ada 259 kasus perdagangan orang.
Kabupaten asal Utari adalah satu dari lima penyumbang terbesar tenaga kerja Indonesia. Tercatat, ada 570 buruh migran dari Ponorogo pada November 2020.
Kendati setiap tahun ribuan masyarakatnya mencari peruntungan ekonomi ke luar negeri, pemerintah daerah Ponorogo belum memiliki peraturan khusus yang mengatur pekerja migran.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Ponorogo, Bedianto, berkata perda itu “sedang digodok”. Namun, apa yang dimaksud Bedianto sebetulnya Rancangan Perda Nomor 9 tentang larangan bercerai bagi pekerja migran.
Anggota parlemen daerah Ponorogo di Komisi Kesejahteraan Sosial, Eka Miftakhul Huda, berkata perda tentang perlindungan pekerja migran “masih sedang proses”. Pemda Ponorogo belum punya aturan khusus yang melindungi buruh migran asal daerahnya. Mereka sempat membahasnya tapi “tidak sampai selesai karena waktu itu sudah ada Undang-Undang Nomor 18, akhirnya tidak jadi diteruskan,” kata Miftakhul.
UU No. 18 Tahun 2017 memuat perlindungan pekerja migran, yang menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia, sekaligus perlindungan hukum, ekonomi, dan sosial buruh migran Indonesia dan keluarganya.
Belajar dari Desa Bringinan
Kendati di tingkat daerah belum ada payung hukumnya, justru di tingkat desa ada yang menerapkan peraturan khusus melindungi buruh migran. Desa ini bernama Bringinan, sekitar dua puluh menit berkendara dari pusat Kota Ponorogo. Perdes Nomor 6 Tahun 2019 ini berisi 21 pasal, yang mengatur pelayanan administrasi di tingkat desa kepada calon pekerja migran dan perlindungan pekerja migran asal Desa Bringinan.
Sampai saat ini, Bringinan menjadi satu-satunya desa di Ponorogo yang memiliki peraturan desa tentang perlindungan pekerja migran.
Mayoritas warga Bringinan bekerja sebagai buruh tani, selain buruh migran. Ada yang sudah ngaso, ada yang masih bekerja di luar negeri. Hitungan “sukses” bagi mereka adalah bisa memperbaiki rumah. Rumah-rumah mereka dibangun dengan gaya modern, berlantai keramik, dan tembok dicat warna cerah.
Kepala Desa Bringinan, Barno, yang eks buruh migran, bercerita kepada saya bahwa Perdes Perlindungan Pekerja Migran ini tak cuma bertujuan melindungi tapi juga memastikan siapa saja dan berapa warga desa yang bekerja ke luar negeri.
Barno mengisahkan masa lalunya yang menjadi calo dari sistem perdagangan orang.
Ia kerap pergi ke Malaysia untuk mengantarkan ratusan calon pekerja migran tanpa dokumen resmi. Ratusan orang itu kemudian dipekerjakan di lokasi-lokasi hiburan hingga perkebunan. Ia melakukannya sejak 2000, lalu berhenti pada 2009 saat kesehatannya memburuk dan terlilit utang, juga saat orang terdekatnya justru menjadi korban trafficking. Mengakhiri petualangannya. Ia kembali ke desanya. Pada 2013, ia terpilih menjadi kepala desa sampai sekarang.
Barno mengamati ada ratusan warga desa yang pergi ke Malaysia masih tanpa dokumen resmi. Dari situ, ia membuat perdes yang mengatur wewenang desa. Pada 2018, didampingi oleh lembaga nirlaba bernama LSM Infest yang peduli masalah-masalah pekerja migran, mulailah pembahasan mengenai Perdes Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Salah satu fokus yang diatur adalah jumlah pekerja migran di desa itu,” ujar Ridwan Wahyudi, Manajer Program Pusat Sumber Daya Buruh Migran Infest, kepada saya di Yogyakarta, November 2020.
Perdes itu misalnya mencatat negara tujuan calon pekerja migran, termasuk perusahaan atau agen yang merekrut mereka.
Bila dulu warga tinggal datang ke lurah dan minta stempel tanda tangan, “tetapi, setelah ada perdes itu, perwakilan perusahaan yang akan memberangkatkan pekerja migran juga wajib datang ke Bringinan,” terang Barno. Mendata agen perusahaan TKI ini juga memudahkan pihak desa menuntut tanggung jawab bila ada warga desa yang bernasib buruk di negara tujuannya.
Sampai Agustus 2020, ada 100-an warga Bringinan yang tercatat sebagai buruh migran.
Menurut Barno, perdes itu bukan untuk membatasi tekad warga Bringinan memperbaiki ekonominya dengan bekerja ke luar negeri, tetapi demi mencegah mereka dari sindikat perdagangan orang.
“Memang masih terbatas yang kita lakukan,” kata Barno. “Kita belum bisa melakukan perjanjian dengan negara tujuan buruh migran, dengan majikan, tapi paling tidak desa sudah bisa mencatat, menertibkan masyarakat.”
Rentan Jadi Korban Sindikat Perdagangan Orang
Per November 2020, dari 10.395 buruh migran Indonesia yang pergi ke puluhan negara tujuan, di antaranya ke Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi, terdapat 98 pengaduan, menurut Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Kasus-kasus pengaduannya meliputi gaji tidak dibayar, penipuan peluang kerja, deportasi, tidak dipulangkan meski kontrak kerja selesai, pekerja ingin dipulangkan, di antara puluhan kasus lain. Terdapat dua kasus perdagangan orang per November 2020, menurut data resmi pemerintah.
Berdasarkan pantauan tren pendampingan kasus buruh migran oleh Migrant CARE, organisasi nirlaba yang membuka hotline pengaduan, indikasi perdagangan manusia masih jadi masalah besar dalam mewujudkan migrasi aman bagi pekerja migran Indonesia.
Pada 2019, Migrant CARE mendapatkan 272 aduan kasus indikasi trafficking, pada 2018 ada 215 kasus.
Sebetulnya Indonesia memiliki preseden baik dalam penegakan hukum atas kasus perdagangan orang, menurut Migrant CARE.
Pada awal Desember 2019, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis penjara 11 tahun plus denda Rp200 juta kepada pelaku perdagangan orang. Pelaku juga diwajibkan membayar restitusi kepada korban sebesar Rp138 juta. Korban adalah perempuan yang dipekerjakan di daerah konflik setelah terjebak iming-iming upah tinggi.
Migrant CARE juga masih mendampingi kasus kriminalisasi secara masif terhadap pekerja migran Indonesia yang mengalami pelanggaran hak dan diduga menjadi korban perdagangan orang oleh perusahaan di Malaysia. Penelusuran mereka, ada kesamaan alamat fisik kantor dan beberapa kasus serupa dalam beberapa waktu sebelumnya. Situasi ini menggambarkan masih ada ruang impunitas terhadap para pelaku perdagangan orang. Di sisi lain menunjukkan penegakan hukum masih setengah-setengah.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo berkata perempuan pekerja migran Indonesia masih sangat rentan menjadi korban perdagangan orang.
Hal itu karena mayoritas pekerja migran adalah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga, yang juga mendorong perempuan-perempuan muda direkrut meski belum cukup umur, menurut Wahyu.
Selain itu, pola migrasi di Indonesia adalah migrasi berbiaya tinggi sehingga bisa menjadi dorongan ada jebakan utang, ujarnya.
“Sementara di Malaysia dan Arab Saudi belum mengakui PRT sebagai pekerja formal. Sehingga tidak ada jaminan perlindungan,” tambahnya.
Meski Indonesia saat ini sudah punya regulasi, sayangnya, tidak dibarengi dengan penegakan hukum yang serius. Menurutnya, aparat penegak hukum terutama di daerah belum punya pengetahuan yang cukup dan memadai untuk mencegah terjadinya trafficking.
Wahyu mengapresiasi munculnya peraturan desa tentang perlindungan pekerja migran seperti di Desa Bringinan, karena bisa “cukup efektif” mencegah proses perekrutan ilegal di desa.
“Inisiatif ini sudah banyak dilakukan di berbagai desa, misalnya desbumi atau desmigratif,” katanya.
Ia menilai cara paling ampuh untuk memutus mata rantai sindikat perdagangan orang sebetulnya sudah punya dasarnya. Pemerintah Indonesia perlu serius menjalankan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Juga menerapkan secara serius UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Saya kembali teringat cerita Utari. Pengalamannya lima belas tahun lalu bagaimana ia jadi korban perdagangan orang dan terdampar di Taiwan masih ia simpan rapat. Hanya suaminya yang tahu. Orangtua, saudara, dan teman terdekatnya tak mengetahuinya.
Ia masih menyimpan rapat cerita itu karena menurutnya itu “aib terbesar dalam hidupnya”. Ia mau berbagi kisahnya kepada saya asalkan tidak membagikan detail yang bisa mengidentifikasi diri, termasuk namanya, saat kami bertemu di dekat rumahnya di Ponorogo pada awal Oktober 2020. Matanya berkaca-kaca, tanda hatinya masih luka, saat ia mengisahkan traumanya.
Saat ini ia dan suaminya sudah dikaruniai anak dan menjalankan usaha mandiri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Fahri Salam