tirto.id - “Ngeeeng!”
Suara kereta yang melintasi pesisir Desa Ketanggan, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah terdengar samar-samar berjarak kurang-lebih 100 meter dari tempat saya berdiri. Suara itu menyadarkan saya dari lamunan. Siang itu, 29 Maret lalu, kaki saya berada di titik paling ujung bagian utara dari Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang.
Dari Semarang—kota yang saban tahun dihantam banjir, saya perlu menempuh jarak 65 kilometer ke arah barat menggunakan sepeda motor untuk tiba di lokasi itu. Terik matahari, debu beterbangan hingga asap hitam dari knalpot truk-truk besar jadi teman sepanjang perjalanan selama satu jam lebih sepuluh menit itu.
Di perjalanan itu, saya melewati Kabupaten Kendal yang juga sedang gencar pembangunan dan arus mobilitasnya karena ada Kawasan Industri Kendal (KIK) sebelum tiba di Kabupaten Batang. Setelah tiba, kacamata hitam dan jaket saya dipenuhi debu. Keringat di dahi saya seka hingga akhirnya melamun karena letih.
Lokasi yang saya datangi adalah proyek ambisius negara demi menciptakan salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia. Anggarannya tentu tak sedikit. Infrastruktur dasarnya memerlukan dana hingga tiga triliun rupiah. Luasnya mencapai 4.300 hektare.
Saat ini, proyek masih dalam tahap pembangunan klaster pertama yang luasnya sebesar 3.100 hektare. Klaster pertama tersebut dibagi menjadi dua fase. Fase pertama seluas 450 hektare yang rencananya akan dibangun 13 pabrik, salah satunya pabrik baterai kendaraan listrik. LG Energy Solution dari Korea Selatan digadang menjadi investor dengan nilai modal hingga Rp142 triliun. Rencananya perusahaan itu akan kerja sama dengan Indonesia Battery Corporation (IBC)—konsorsium baterai kendaraan listrik buatan negara.
Negara ini memang sedang gandrung kendaraan listrik—terutama sejak aturan tentang percepatan program kendaraan listrik berbasis baterai diteken Presiden Joko Widodo pada 2019. Saat perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali akhir tahun lalu, kendaran listrik mendapat tempat khusus: jadi kendaraan resmi serta jadi bahan kampanye ke negara-negara tamu.
Pada Juni tahun lalu, Jokowi sampai turun langsung menghadiri agenda peletakan batu pertama pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik di KIT Batang itu. Namun, saat saya tiba di lokasi peletakan batu pertama tersebut pada 29 Maret 2023, keadaan masih kosong. Belum ada alat berat masuk hingga tanah masih lowong tak ada aktivitas. Padahal, sudah sepuluh bulan setelah peletakan batu pertama.
Manajer Korporat Komunikasi KIT Batang, Tanya Liwail Chamdy, mengaku memang hingga saat ini belum ada kesepakatan lebih jauh antara pihak LG Energy Solution dengan IBC. “Seperti apa, bisa jadi KSO [kerja sama operasional], atau apa, kemudian apa mungkin bangun satu perusahaan sendiri di Batang,” kata Tanya saat saya temui hari itu.
“Dan itu [pembahasan] belum rampung, tapi lahan sudah kami siapkan di fase satu seluas 67 hektare.”
Ia melanjutkan bahwa industri kendaraan listrik di Batang hanya akan fokus ke tiga tahap. “Refinery [pemurnian], prekursor, dan katoda. Nikel dari PT Antam dibawa ke sini, diolah tiga tahap di atas, akhirnya jadi baterai sel. Baterai sel ini yang akan dibawa ke Karawang dan dirakit jadi baterai. Perakitan dan finalisasi di Karawang,” katanya.
Padahal, tujuan utama saya datang ke KIT Batang adalah untuk melihat proyek ambisius industri kendaraan listrik tersebut. Saya merasa perjalanan saya hari itu sia-sia.
Namun, saat itu saya langsung teringat cerita dari seorang karyawan KIT Batang yang bicara dengan saya hari itu. “Saya kerja di sini, tapi kosan saya di Semarang,” katanya kepada saya.
Ampun.
Taipan Batu Bara Tergoda Kendaraan Listrik
Kegandrungan negara terhadap kendaraan listrik tentu saja mencuri perhatian para pengusaha, termasuk pengusaha tambang batu bara. Redaksi Tirto melacak sejumlah taipan batu bara serta para keluarganya yang mulai berbisnis kendaraan listrik. Kendaraan listrik itu bisa muncul dari perusahaan induk langsung, anak perusahaan, maupun dari perusahaan yang terafiliasi kekeluargaan.
Tahun lalu, motor listrik bernama Electrum menjadi salah satu kendaraan resmi saat perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Ia dipromosikan menjadi salah satu kendaraan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan karena bisa menghemat emisi hingga kurang-lebih satu ton karbon dioksida (CO2). Hingga saat ini, motor listrik ini menjadi salah satu kendaraan resmi Gojek.
Electrum dibikin oleh PT Energi Kreasi Bersama, sebuah perusahaan patungan PT GoTo Gojek Tokopedia (GOTO) dan PT TBS Energi Utama (TOBA). PT GOTO adalah perusahaan Gojek, sedangkan PT TOBA adalah salah satu perusahaan batu bara terbesar di Indonesia. Perusahaan batu bara terbesar lainnya, PT Toba Sejahtera, punya saham sebesar 10 persen atas PT TOBA. Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, punya saham sebesar 99 persen di PT Toba Sejahtera.
Karena sempat ramai-ramai disorot oleh publik, Wakil Direktur Utama PT TOBA, Pandu Patria Sjahrir—yang juga keponakannya Luhut, sampai harus menjelaskan ke publik jika Luhut pemegang saham minoritas dan tak terlibat dalam pengambilan keputusan. Namun, di sisi lain, Luhut adalah salah satu pejabat yang menentukan kebijakan subdisi motor listrik sebanyak 250.000 unit, yang total angkanya mencapai Rp1,75 triliun pada awal Maret lalu.
Selain Electrum, ada juga Alva. Dengan membawa kampanye soal mobilitas yang lebih hijau dan berkelanjutan, Alva menjadi salah satu motor listrik yang membuka pameran di Indonesia International Motor Show (IIMS) pada pekan kedua dan ketiga Februari lalu.
Dalam pantauan reporter Tirto di lokasi pada 26 Februari lalu, Alva memiliki ruang pameran yang lebih luas ketimbang motor listrik lainnya. Dalam agenda itu, secara terbuka Alva memiliki agenda tes mengendarai motor listrik dan menyiapkan diskon hingga 25 persen untuk pembeli di lokasi. Saat ini, mereka punya ruang yang cukup besar Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan—tepat di samping Pacific Place Mall.
Alva dibikin oleh PT Ilectra Motor Group (IMG), yang merupakan anak perusahaan dari PT Solusi Mobilitas Indonesia (SMI). Sedangkan PT SMI adalah perusahaan yang dibuat oleh PT Indika Energy (INDY)—salah satu perusahaan batu bara terbesar di Indonesia. Pendiri PT INDY adalah Agus Lasmono—keponakan mantan Presiden Soeharto, yang hingga saat ini duduk di kursi Presiden Komisaris. Sedangkan kursi Presiden Direktur diduduki oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid.
“Sebagai perusahaan energi terdiversifikasi yang berkomitmen terhadap net zero emission 2050, Indika Energy Group terus berinovasi demi menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat,” kata Arsjad pada Agustus tahun lalu.
Pertengahan Maret lalu, PT Mayasari Bakti—salah satu armada bus tertua di wilayah Jabodetabek—mendapat sumbangan 22 unit bus listrik bernama VKTR-BYD. Sumbangan itu datang dari sebuah perusahaan bernama PT VKTR Teknologi Mobilitas. Perusahaan yang sama juga melakukan konversi sejumlah bus bermesin diesel menjadi bus listrik TransJakarta tahun lalu.
PT VKTR Teknologi Mobilitas adalah anak perusahaan dari PT Bakrie & Brothers (BNBR)—milik keluarga Bakrie—dengan saham 50 persen [PDF], yang berganti nama dari PT Bakrie Steel Industries. Dua kursi direksi PT BNBR diisi oleh dua anak Aburizal Bakrie (Ical): Anindra Ardiansyah Bakrie (Ardi) dan Anindya Novyan Bakrie (Anin). Anin, Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia, juga duduk di kursi komisaris PT VKTR Teknologi Mobilitas. Kursi komisaris lainnya diisi oleh Dino Patti Djalal, bekas Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pernah menjabat Wakil Menteri Luar Negeri.
Dalam semesta keluarga besar Bakrie, agaknya sulit untuk tidak mengaitkan PT BNBR dengan PT Bumi Resources (BUMI)—salah satu perusahaan batu bara terbesar di Indonesia. PT BUMI awalnya justru berada di bawah PT BNBR. Namun karena berbagai krisis, akhirnya saham dijual hingga keluarga Bakrie tak punya kendali lagi atas perusahaan batu bara itu.
Kendati demikian, sebenarnya keluarga Bakrie tak merta lenyap dari perusahaan itu. Saat ini, kursi komisaris dan direksi PT BUMI masih diisi oleh dua anak Nirwan Bakrie—adiknya Ical: Adhika Andrayudha Bakrie (Adhika) dan Adika Nuraga Bakrie (Aga).
Belakangan, PT VKTR Teknologi Mobilitas sedang gencar untuk mengakuisisi perusahaan tambang nikel—salah satu komoditas untuk baterai kendaraan listrik—di Sulawesi.
“Sinar Mas Land menghadirkan BSD Link Electric Bus yang ramah lingkungan sehingga dapat meminimalisir emisi karbon.”
Kalimat tersebut menjadi bahan kampanye Sinarmas Land—anak usaha dari Sinarmas Group yang bergerak di sektor properti—saat meluncurkan bus listrik buatan Tiongkok pada Oktober tahun lalu. Bus bernama BSD Link Electric Bus itu adalah hasil kerja sama dengan PT Eka Sari Lorena Transport Tbk—salah satu perusahaan transportasi bus terbesar di Indonesia.
Sinarmas Land kantor pusatnya ada di Singapura. Ia dikuasai oleh Muktar Widjaja, anak Eka Tjipta Widjaja—pendiri Sinarmas Group. Franky Oesman Widjaja, anak Eka yang lain, duduk di kursi komisaris perusahaan itu. Franky berkuasa dan jadi komisaris di PT Sinar Mas Agro Resources & Technology (SMART)—salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia.
Di Indonesia, Sinarmas Land menjadi induk perusahaan dari salah dua perusahaan properti terbesar di Indonesia: PT Bumi Serpong Damai dan PT Duta Pertiwi. Muktar menjadi komisaris di dua perusahaan itu.
Di bawah konglomerasi bisnis Sinarmas Group bikinan Eka, selain sektor properti dan sawit, ada juga tambang batu bara: PT Golden Energy Mines (GEMS), atau yang akrab disebut Sinarmas Mining Group. Ia adalah salah satu perusahaan batu bara terbesar di Indonesia. Perusahaan itu berada di bawah kontrol Golden Energy Resources (GEAR) Ltd., yang dikuasai oleh Fuganto Widjaja, cucu Eka serta keponakan Muktar dan Franky.
Sulitnya Menurunkan Produksi Batu Bara
Masalahnya beberapa perusahaan batu bara besar ini cenderung belum akan menurunkan produksi—dengan ragam cara, salah satunya dengan diversifikasi bisnis, misalnya—kendati perusahaan yang terafiliasi dengan mereka mulai berbisnis kendaraan listrik dan kampanye soal ramah lingkungan. Dengan kata lain, fenomena ini semacam paradoks.
Salah satunya PT BUMI dari keluarga Bakrie. Dalam paparan publik [PDF] tahunan mereka pada akhir November tahun lalu, perusahaan itu sama sekali tak ada rencana untuk penurunan produksi batu bara pada 2023 atau tahun-tahun mendatang. Bahkan, mereka menargetkan produksi batu bara pada 2023 naik 10 persen dari tahun lalu.
Memang, mereka memiliki rencana untuk melakukan diversifikasi bisnis non-batu bara, namun masih dalam tahap kajian.
Hal senada juga diungkapkan oleh PT GEMS dari keluarga Widjaja. Pada Februari lalu, mereka menyebut masih akan tetap berpegang dengan target yang dicanangkan perusahaan.
PT TOBA yang dipimpin oleh keponakan Luhut, Pandu Patria Sjahrir, juga mengaku belum ada rencana untuk menurunkan produksi batu bara setidaknya hingga 2027. Dalam paparan publik tahunan perusahaan pada awal Desember 2022, perusahaan masih akan tetap “mengedepankan operational excellence”—atau beroperasi seperti biasa.
Kendati, kata Pandu, sepanjang 2022 memang banyak penambang yang tidak membuka pertambangan baru. “Namun mencoba untuk berintegrasi dengan perusahaan tambang lain, melalui merger maupun akuisisi,” katanya dalam paparan yang sama.
Sedangkan PT INDY agak berbeda. Mereka memang tak menyebut ingin mengurangi produksi batu bara, namun berambisi untuk mencapai 50 persen pendapatan non-batu bara pada 2025 mendatang. [PDF]
“Indika Energy mempunyai target untuk melakukan diversifikasi bisnis yang pendapatan dari bisnis non-batu bara mencapai 50% pada 2025,” tulis mereka. “Untuk mencapai target ini, perusahaan telah memulai investasi baru di non-batu bara seperti penyimpanan bahan bakar, tambang emas, dan energi terbarukan termasuk kendaraan listrik. Selain investasi di non-batu bara, perusahaan juga melakukan divestasi aset yang berkaitan dengan batu bara untuk mengurangi eksposur batu bara.”
Respons Perusahaan
Komisaris PT TBS Energi Utama sekaligus mantan Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, menyebut bahwa produksi batu bara perusahaannya akan berakhir pada 2027-2028. Kata dia, perusahaan juga tak ada rencana akuisisi tambang baru.
"Selain itu juga tidak ada rencana menambah PLTU batu bara selain dua yang sudah beroperasi di Sulawesi Utara dan Gorontalo," kata Bambang saat dikonfirmasi Tirto pada 1 April 2023.
Bambang mengatakan bahwa perusahaan sedang mempelajari kemungkinan skema pensiun dini. "Istilah greenwashing seingat saya berlaku untuk perusahaan yang tetap ekspansi untuk brown energy, sambil berupaya involve di energy green," katanya.
Kata dia, perusahaan ke depan akan beralih ke kendaraan listrik, baterai, energi terbarukan (angin, solar, dan hidro), dan dagang karbon.
"Targetnya 2030 kami sudah jadi sustainable company," katanya.
Head of Corporate Communications PT Bakrie & Brothers, Bayu Nimpuno mengklaim, perusahaannya, termasuk PT Bumi Resources, sudah mengarah ke penghijauan. Kata dia, beberapa bekas site tambang batu bara yang sudah selesai ditambang sedang dalam proses penghijauan.
"Lingkungan dirawat, pohon dibiakkan jadi hutan, danau dijaga, hingga buat peternakan sapi," katanya kepada saya pada 2 April 2023. "Memang kalau ada audit karbon, belum nol. Tapi saya yakin defisitnya mengecil."
Ia juga mengklaim bahwa PT Bakrie & Brothers mulai serius beralih ke energi hijau. Mereka sedang mengarah ke PLTB dan PLTS yang sedang jalan lewat Bakrie Power.
"Lebih baik kalau perusahaan ada upaya industri yang sustainable daripada tidak sama sekali? Mending mana, BUMI jalan terus tanpa VKTR atau sekarang ada VKTR?" katanya.
Saat dimintai konfirmasi soal ini, Head of CEO Office, Corporate Communications, and Sustainability PT Indika Energy, Ricky Fernando, mengklaim bahwa perusahaannya telah melakukan diversifikasi ke sektor non-batubara sejak 2018.
"Dan telah berkomitmen untuk tidak menambah investasi baru di sektor batubara," kata dia, Senin siang, 3 April 2023.
Ricky menyebut perusahaannya ingin berkomitmen membantu program dekarbonisasi pemerintah dengan salah satunya investasi di sektor non-batubara, dekarbonisasi dalam kegiatan operasional, dan divestasi aset terkait batubara.
"Di antaranya dengan melepas kepemilikan di MBSS pada tahun 2021 dan Petrosea pada tahun 2022," katanya.
Sedangkan Head of External Affairs & Media Relations Sinar Mas Group, Stephanie Susanto, berjanji akan memberi jawaban pada Senin, 3 April.
Namun, keengganan para pengusaha batu bara untuk menurunkan produksinya bukan faktor tunggal. Ia berkaitan juga dengan negara yang cenderung tak berpegang teguh aturan yang ditekennya sendiri soal jumlah produksi batu bara.
Padahal, dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), tertulis bahwa salah satu target yang negara buat adalah membatasi produksi 400 juta ton tiap tahunnya per 2019 lalu. Namun, produksi batu bara 2019-2021 selalu jauh di atas angka batas itu.
Bahkan, Kementerian ESDM menargetkan angka yang tinggi—mungkin terbesar dalam sejarah—produksi batu bara pada 2023: 694 juta ton.
Greenwashing: Paradoks di Balik Kampanye Kendaraan Listrik
Peneliti Trend Asia—salah satu organisasi masyarakat sipil yang fokus pada riset dan kampanye soal transisi energi di Asia—Andri Prasetiyo menyebut, ada masalah besar ketika muncul sejumlah pebisnis batu bara yang mulai berbisnis kendaraan listrik di Indonesia.
Kata Andri, para pebisnis tersebut berkampanye soal kendaraan listrik yang menjadi solusi krisis iklim, namun di saat yang bersamaan bisnis utama mereka masih bertumpu dari tambang batu bara. Apalagi ketika tak ada niatan untuk mengurangi produksi batu baranya.
Dalam diskursus studi dan gerakan energi terbarukan, praktik seperti ini biasa disebut dengan greenwashing.
“Ini greenwashing. Mereka menyamarkan sesuatu hal yang baik, yang hijau, pada saat yang sama mereka melakukan praktik-praktik kotor yang lain,” katanya kepada saya, 31 Maret lalu. “Kalau kita mau fair, mereka belum serius untuk transisi energi.”
“Sayangnya, perusahaan-perusahaan seperti ini malah dapat insentif [subsidi kendaraan listrik], seakan didukung negara,” kata dia.
Andri menjelaskan, terdapat kampanye semu yang dilakukan oleh pebisnis batu bara yang sedang berbisnis kendaraan listrik. Kota-kota besar di Indonesia yang menjadi sasaran pasar kendaraan listrik tentu akan melihat sendiri bagaimana kendaraan tersebut ramah lingkungan karena tak mengeluarkan emisi. Namun, emisinya justru berpusat di wilayah pertambangan batu bara dan pembangkit listrik—yang minim dirasakan warga perkotaan.
Padahal, menurut Andri, proyek dekarbonisasi di Indonesia seharusnya berjalan sistematis dari hulu ke hilir. Hulunya termasuk memensiunkan dan menghentikan pembangunan PLTU batu bara. Itu artinya, juga mulai menurunkan produksi batu bara.
“Indonesia harus kontrol kuota produksi batu baranya. Bahaya sekali jika kuota produksi batu bara dilakukan secara tidak terkendali,” kata Andri. “Jika 694 juta ton pada 2023 benar disetujui, ini akan jadi yang tertinggi sepanjang sejarah.”
“Ini jika tidak terkontrol, logikanya pasti akan buat demand baru karena supply-nya ada.”
Masalahnya, untuk melakukan dekarbonisasi, negara justru mengambil langkah instan dengan memberikan subsidi kendaraan listrik. Apalagi, prioritas kendaraan listrik yang dilakukan negara ada di kendaraan sektor privat, bukan publik—transportasi massal, contohnya.
“Pembangkit listriknya belum didekarbonisasi secara baik dan memadai, kemudia mereka sudah kasih insentif untuk kendaraan listrik pribadi, yang akan demand listrik akan naik,” katanya. Hal tersebut belum bicara soal potensi kemacetan yang akan makin parah.
Padahal, menurut Andri, salah satu kebutuhan lainnya yang paling mendesak jika bicara dekarbonisasi adalah menambahkan pembangkit energi terbarukan yang saat ini masih sangat sedikit. Per Juli tahun lalu, bauran energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 12 persen dari target 23 persen untuk 2025 mendatang.
“Studi kami, rata-rata per tahunnya hanya nambah 0,8 persen. Enggak sampai 1 persen. Masih ada target sekitar 12 persennya dalam waktu dua tahun,” kata Andri.
“Ketika pembuatan untuk energi terbarukan itu masih berdarah-darah, struggling untuk dapat pendanaan, pemerintah saya lihat agak lompat, tiba-tiba kemudian yang diberikan subsidi adalah kendaraan listrik,” tambahnya. “Saya melihat ini memang tujuannya enggak demi dekarbonisasi.”
Catatan:Visualisasi interaktif dan riset dibantu oleh Fina Nailur Rohmah.
Adendum:
PT Indika Energy baru memberikan jawaban pada Senin siang, 3 April 2023.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz